MOTIVASI HIDUP ISLAM

Visit Namina Blog

Monday 19 June 2017

Adab-Adab Membaca al-Qur’an

Adab-Adab Membaca al-Qur’an
Selasa, 12 Juli 05

Mukaddimah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang memiliki kedudukan tersendiri di hati setiap Muslim. Ia merupakan kalamullah dan sebagai sumber hukum pertama bagi umat Islam.

Sebagai sebuah kitab suci yang memiliki keistimewaan, tentu patutlah bagi seorang Muslim untuk memuliakan dan menghormatinya, termasuk dalam sikap kita ketika ingin membacanya.
Nah, apakah adab-adabnya? Silahkan menyimak!!

Banyak sekali adab-adab yang harus diperhatikan ketika membaca al-Qur’an, di antaranya:

1. Ikhlash atau menuluskan niat karena Allah semata. Ini merupakan adab yang paling penting di mana suatu amal selalu terkait dengan niat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya semua amalan itu tergantung niat-niatnya dan setiap orang tergantung pada apa yang diniatkannya…” (HR.al-Bukhari, kitab Bad’ul Wahyi, Jld.I, hal.9)

Karena itu, wajib mengikhlashkan niat dan memperbaiki tujuan serta menjadikan hafalan dan perhatian terhadap al-Qur’an demi-Nya, menggapai surga-Nya dan mendapat ridla-Nya.

Siapa saja yang menghafal al-Qur’an atau membacanya karena riya’, maka ia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa.
Nabi SAW bersabda, “Tiga orang yang pertama kali menjalani penyidangan pada hari Kiamat nanti…[Rasulullah SAW kemudian menyebutkan di antaranya]…dan seorang laki-laki yang belajar ilmu lalu mengajarkannya, membaca al-Qur’an lalu ia dibawa menghadap, lalu Allah mengenalkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, maka ia pun mengetahuinya, lalu Dia SWT berkata, ‘Untuk apa kamu amalkan itu.?” Ia menjawab, ‘Aku belajar ilmu untuk-Mu, mengajarkannya dan membaca al-Qur’an.’ Lalu Allah berkata, ‘Kamu telah berbohong akan tetapi hal itu karena ingin dikatakan, ‘ia seorang Qari (pembaca ayat al-Qur’an).’ Dan memang ia dikatakan demikian. Kemudian ia dibawa lalu wajahnya ditarik hingga dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR.Muslim, Jld.VI, hal.47)

Manakala seorang Muslim menghafal dan membaca al-Qur’an semata karena mengharapkan keridlaan Allah, maka ia akan merasakan kebahagian yang tidak dapat ditandingi oleh kebahagiaan apa pun di dunia.

2. Menghadirkan hati (konsentrasi penuh) ketika membaca dan berupaya menghalau bisikan-bisikan syetan dan kata hati, tidak sibuk dengan memain-mainkan tangan, menoleh ke kanan dan ke kiri dan menyibukkan pandangan dengan selain al-Qur’an.

3. Mentadabburi (merenungi) dan memahami apa yang dibaca, merasakan bahwa setiap pesan di dalam al-Qur’an itu ditujukan kepadanya dan merenungi makna-makna Asma Allah dan sifat-Nya.

4. Tersentuh dengan bacaan. Imam as-Suyuthi RAH berkata, “Dianjurkan menangis ketika membaca al-Qur’an dan berupaya untuk menangis bagi yang tidak mampu (melakukan yang pertama-red.,), merasa sedih dan khusyu’.” (al-Itqan, Jld.I, hal.302)

5. Bersuci. Maksudnya dari hadats besar, yaitu jinabah dan haidh atau nifas bagi wanita.
Al-Qur’an merupakan zikir paling utama. Ia adalah kalam Rabb Ta’ala. Karena itu, di antara adab membacanya, si pembaca harus suci dari hadats besar dan kecil. Ia dianjurkan untuk berwudhu sebelum membaca. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (Shahih al-Jaami’, no.7657)

Perlu diketahui, bahwa seseorang boleh membaca al-Qur’an asalkan tidak sedang berhadats besar, demikian pula disunnahkan baginya untuk mencuci mulut (menggosok gigi-red.,) dengan siwak sebab ia membersihkan mulut sedangkan mulut merupakan ‘jalan’ al-Qur’an.

6. Sebaiknya, ketika membaca al-Qur’an, menghadap Qiblat sebab ia merupakan arah yang paling mulia, apalagi sedang berada di masjid atau di rumah. Tetapi bila tidak memungkinkan, baik karena ia berada di kios, mobil atau sedang bekerja, maka tidak apa membaca al-Qur’an sakali pun tidak menghadap Qiblat.

7. Disunnahkan bagi seseorang untuk ber-ta’awwudz (berlindung) kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila kamu membaca al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (an-Nahl:98)

8. Memperindah suaranya ketika membaca al-Qur’an sedapat mungkin. Rasulullah SAW bersabda, “Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara kamu sebab suara yang bagus membuatnya bertambah bagus.” (dinilai shahih oleh al-Albani, Shahih al-Jaami’, no.358)

“Disunnahkan memperbagus dan menghiasi suara dengan al-Qur’an… Terdapat banyak hadits yang shahih mengenai hal itu. Jika seseorang suaranya tidak bagus, maka ia boleh memperbagus semampunya asalkan jangan keluar hingga seperti karet (dilakukan secara tidak semestinya dan menyalahi kaidah tajwid-red.,).” (al-Itqaan, Jld.I, hal.302)

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak bersenandung dengan al-Qur’an (melantunkannya dengan bagus).” (Shahih al-Bukhari, Jld.XIII, hal.501, bab at-Tauhid, no.7527)
Hendaknya pembaca al-Qur’an membaca sesuai dengan karakternya, tidak menyusah-nyusahkan diri (dibuat-buat) dengan cara menaklid salah seorang Qari atau dengan intonasi-intonasi tertentu sebab hal itu dapat menyibukkan dirinya dari mentadabburi dan memahaminya serta menjadikan seluruh keinginannya hanya pada mengikuti orang lain (taqlid) saja.

9. Membaca dengan menggunakan mushaf. Hal ini dikatakan oleh as-Suyuthi, “Membaca dengan menggunakan mushaf lebih baik dari pada membaca dari hafalan sebab melihatnya merupakan suatu ibadah yang dituntut.” (al-Itqaan, Jld.I, hal.304)

Hanya saja, Imam an-Nawawi dalam hal ini melihat dari aspek kekhusyu’an; bila membaca dengan menggunakan mushaf dapat menambah kekhusyu’an si pembaca, maka itu lebih baik. Demikian pula, bila bagi seseorang yang tingkat kekhusyu’an dan tadabburnya sama dalam kondisi membaca dan menghafal; ia boleh memilih membaca dari hafalan bila hal itu menambah kekhusyu’annya.

Di antara hal yang perlu diperhatikan di sini, hendaknya seorang pembaca, khususnya bagi siapa saja yang ingin menghafal, untuk memilih satu jenis cetakan saja sehingga hafalannya lebih kuat dan mantap.

Demikian pula, hendaknya ia menghormati mushaf dan tidak meletakkannya di tanah/lantai, tidak pula dengan cara melempar kepada pemiliknya bila ingin memberinya. Tidak boleh menyentuhnya kecuali ia seorang yang suci.

10. Membaca di tempat yang layak (kondusif) seperti di masjid sebab ia merupakan tempat paling afdhal di muka bumi, atau di satu tempat di rumah yang jauh dari penghalang, kesibukan dan suara-suara yang dapat mengganggu untuk melakukan tadabbur dan memahaminya. Karena itu, ia tidak seharusnya membacakan al-Qur’an di komunitas yang tidak menghormati al-Qur’an.

(SUMBER: Silsilah Manaahij Dauraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah –fi’ah an-Naasyi’ah- al-Hadits karya Dr Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil, hal.21-25)

Share:

Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-12 (Tafsir FATHUL QADIR, IMAM ASY-SYAWKANI)

Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-12 (Tafsir FATHUL QADIR, IMAM ASY-SYAWKANI)
Senin, 03 Oktober 05

Nama Mufassir

Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syawkani, ash-Shan’ani, al-Qadhi.

Nama Kitab

Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir.

’Aqidahnya

Ia memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf. Di dalam kitabnya ini, ia mencela habis-habisan ahli kalam (kaum teolog) dan cara mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash-nash al-Qur’an dan Hadits serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya terhadap madzhab Salaf tampak dari penafsirannya terhadap firman Allah, Laysa Kamitslihi Syai-un. Di antara yang ia katakan, bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (memisalkan segala sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat Allah) dan menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik manusia) ketika Allah menyifati diri-Nya dengan mendengar, melihat dan ketika menyebut sifat mendengar, melihat, tangan, istiwa’ dan lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut tetapi tidak dengan cara Mumaatsalah atau pun Musyabahah (menyerupai) dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif; yang berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam menetapkan sifat tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’ dan yang sangat berlebihan dalam menafikannya sehingga menyebabkan timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan sifat tersebut, membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang Maha Tahu sebab Dia lah yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un, Wa Huwas Samii’ul Bashiir”

Imam asy-Syawkani juga telah menetapkan sifat istiwa’ berdasarkan madzhab Salaf.

Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih disebabkan faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama lainnya.

Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, ia membantah pendapat az-Zamakhsyari, tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan ahlussunnah wal jama’ah.

Spesifikasi Umum

Dalam permulaan tafsirnya, pengarang (asy-Syawkani) menyebutkan bahwa biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit banyak. Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”

Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari kitab-kitab tafsir…”

Kitab tafsir asy-Syawkani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta.

Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.

Sikapnya Terhadap Sanad

Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam kitab tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadits yang lemah sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadits lain yang bisa menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan hadits yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir, as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya. Rasanya sangat jauh (tidak mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadits lalu tidak menjelaskannya.! Dan tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab bisa jadi mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya juga. Inilah yang menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab andai kata mereka mengungkapkan hal itu lalu keshahihannya valid menurut mereka, maka tidak mungkin mereka membiarkannya tanpa penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka; menjelaskan keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir mereka, maka hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya tersebut agar mendapatkan taufiq atas hal itu, insya Allah….”

Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang disinggungnya dan menjelaskan kondisinya.

Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap beliau, di antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di dalam beberapa tempat namun tidak mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak sekali menukil dari kitab ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

Beliau menyinggung madzhab ulama fiqih, baik empat imam madzhab atau pun ulama selain mereka, perbedaan pendapat serta dalil-dalil mereka. Beliau menguatkan salah satunya dan mengambil kesimpulan hukum darinya.

Pantaslah beliau sebagai seorang imam yang mumpuni ilmunya, mujtahid dalam fiqih. Banyak karya-karya tulis yang beliau telorkan, seperti kitab yang sangat terkenal lainnya, Naylul Awthaar Syarhu Muntaqal Akhyaar; as-Saylul Jiraar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaa’iqil Azhaar; ad-Durar al-Bahiyyah berikut syarahnya, dan kitab-kitab lainnya.

Sikapnya Terhadap Qiraa`aat

Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ (tujuh bacaan) dan mengarahkan yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang didasarkan pada riwayat Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan qiraa’aat yang janggal.

Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat

Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi terkadang menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.

Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil keputusannya dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad, Abu ‘Ubaidah, al-Farra’, Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.

Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat) dari sisi Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi dengan mengetengahkan sya’ir-sya’ir.

CATATAN

Mengenai biografi Imam asy-Syawkani, lihat: al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran karya Dr.Muhammad Hasan al-Ghumari.

SUMBER:
al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.50-53.

Share:

Apa Itu Israiliyat??

Apa Itu Israiliyat??
Senin, 14 Nopember 05

Israiliyat adalah berita-berita yang diambil dari Bani Israil, Yahudi (kebanyakannya) atau dari kalangan orang-orang Nashrani.

Berita-berita ini terbagi menjadi 3 kategori:

Pertama, Berita Yang Diakui Islam Dan Dibenarkannya (Ini adalah haq)

Contohnya, seperti yang diriwayatkan al-Bukhari dan periwayat selainnya, dari Ibn Mas’ud RA, ia berkata, “Seorang rabi Yahudi datang menemui Nabi SAW seraya berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menemukan bahwa Allah SWT menjadikan seluruh langit di atas satu jari, seluruh bumi di atas satu jari, pepohonan di atas satu jari, air dan tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, lalu Dia berfirman, ‘Akulah al-Malik (Raja Diraja).’ Rasulullah SAW tertawa mendengar hal itu hingga tampak gigi taringnya membenarkan ucapan sang rabi tersebut, kemudian beliau membaca ayat, “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS.az-Zumar:67)

Kedua, Berita Yang Diingkari Islam Dan Didustakannya (Ini adalah bathil)

Contohnya, seperti yang diriwayatkan al-Bukhari, dari Jabir RA, ia berkata, “Orang-orang Yahudi mengatakan, ‘bila suami menyetubuhi isterinya dari arah belakang, maka anaknya akan lahir bermata juling.’ Lalu turunlah firman Allah SWT, “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS.al-Baqarah:223)

Ketiga, Berita Yang Tidak Diakui Islam dan Tidak Pula Diingkarinya (Ini wajib untuk berhenti membicarakannya)

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Ahli Kitab biasanya membaca taurat dengan bahasa Ibrani lalu menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat Islam. Maka Rasulullah SAW berkata, ‘Janganlah kalian benarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya tapi katakanlah (firman Allah SWT), ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.’” (QS.al-‘Ankabut:46)

Tetapi berbicara mengenai jenis ini dibolehkan bila tidak khawatir membuahkan larangan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku, sekali pun satu ayat, dan berbicaralah mengenai Bani Israil sesukamu. Barangsiapa yang mendustakanku secara sengaja, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.al-Bukhari)

Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari mereka tersebut tidak banyak manfa’atnya bagi kepentingan agama seperti penentuan apa warna anjing Ashaabul Kahfi dan sebagainya.

Ada pun bertanya kepada ahli kitab mengenai sesuatu dari ajaran agama kita, maka hal itu haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdullah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian tanyakan kepada ahli kitab mengenai sesuatu pun sebab mereka tidak bisa memberi hidayah kepada kalian sementara mereka sendiri telah sesat. Jika kalian lakukan itu, berarti (antara dua kemungkinan-red.,) kalian telah membenarkan kebatilan atau mendustakan kebenaran. Sesungguhnya, andaikata Musa masih hidup di tengah kalian, pastilah ia akan mengikutiku.’”

Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA, bahwasanya ia berkata, “Wahai kaum muslimin, bagaimana mungkin kalian bertanya kepada ahli kitab padahal kitab yang Allah turunkan kepada nabi kalian itu adalah semata-mata informasi paling baru mengenai Allah yang tidak pernah lekang. Allah telah menceritakan kepada kalian bahwa ahli kitab telah mengganti kitabullah dan merubahnya lalu menulisnya dengan tangan mereka sendiri. Lalu mereka mengatakan, ‘Ia berasal dari Allah agar mereka membeli dengannya harga yang sedikit. Tidakkah melalui ilmu yang dibawa-Nya, Dia melarang kalian untuk bertanya kepada mereka (ahli kitab)? Demi Allah, kami sama sekali tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian mengenai apa yang telah diturunkan kepada kalian.”

Sikap Ulama Terhadap Israiliyat

Para ulama, khususnya ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sikap terhadap Israiliyat ini:

1. Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dengan dirangkai dengan sanad-sanadnya. Pendapat ini berpandangan bahwa dengan menyebut sanadnya, berarti ia telah berlepas diri dari tanggung jawab atasnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir ath-Thabari.

2. Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dan biasanya menanggalkan sama sekali sanad-sanadnya. Ini seperti pencari kayu bakar di malam hari. Cara seperti ini dilakukan al-Baghawi di dalam tafsirnya yang dinilai oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah sebagai ringkasan dari tafsir ats-Tsa’alabi. Hanya saja, al-Baghawi memproteksinya dari dimuatnya hadits-hadits palsu dan pendapat-pendapat yang dibuat-buat. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menyebut ats-Tsa’alabi sebagai seorang pencari kayu bakar di malam hari di mana ia menukil apa saja yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir baik yang shahih, dha’if mau pun yang mawdhu’ (palsu).

3. Di antaranya mereka ada yang banyak sekali menyinggungnya dan mengomentari sebagiannya dengan menyebut kelemahannya atau mengingkarinya seperti yang dilakukan Ibn Katsir.

4. Di antara mereka ada yang berlebih-lebihan di dalam menolaknya dan tidak menyebut sesuatu pun darinya sebagai tafsir al-Qur’an seperti yang dilakukan Muhammad Rasyid Ridha.


(SUMBER: Ushuul Fit Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.53-55)

Share:

Urgensi Kisah Dalam al-Qur’an

Urgensi Kisah Dalam al-Qur’an
Selasa, 17 Januari 06

Mukaddimah

Membaca cerita atau kisah tentulah sangat mengasyikkan dan dapat menghilangkan rasa jenuh pembaca. Bilamana isinya otentik, valid, benar dan tidak direkayasa tentulah lebih mengasyikkan lagi. Al-Qur’an pun menggunakan metode ini dalam menggugah hati.
Nah, apa sebenarnya urgensi dari pemuatan kisah tersebut? Apa hikmahnya? Silahkan baca ulasan lengkapnya!

Definisi

Secara bahasa kata al-Qashash dan al-Qushsh maknanya mengikuti atsar (jejak/bekas). Sedangkan secara istilah maknanya adalah informasi mengenai suatu kejadian/perkara yang berperiodik di mana satu sama lainnya saling sambung-menyambung (berangkai).

Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan kisah paling benar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT, “Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.?” (QS.an-Nisa’/4:87). Hal ini, karena kesesuaiannya dengan realitas sangatlah sempurna.

Kisah al-Qur’an juga merupakan sebaik-baik kisah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT, “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu.” (QS.Yusuf/12:3). Hal ini, karena ia mencakup tingkatan kesempurnaan paling tinggi dalam capaian balaghah dan keagungan maknanya.

Kisah al-Qur’an juga merupakan kisah paling bermanfa’at sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS.Yusuf/12:111). Hal ini, karena pengaruhnya terhadap perbaikan hati, perbuatan dan akhlaq amat kuat.

Jenis-Jenis Kisah

Kisah al-Qur’an terbagi menjadi 3 jenis:

1. Kisah mengenai para nabi dan Rasul serta hal-hal yang terjadi antara mereka dan orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir.

2. Kisah mengenai individu-individu dan golongan-golongan tertentu yang mengandung pelajaran. Karenanya, Allah mengisahkan mereka seperti kisah Maryam, Luqman, orang yang melewati suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya (seperti tertera dalam surat al-Baqarah/2:259-red), Dzulqarnain, Qarun, Ash-habul Kahf, Ash-habul Fiil, Ash-habul Ukhdud dan lain sebagainya.

3. Kisah mengenai kejadian-kejadian dan kaum-kaum pada masa Nabi Muhammad SAW seperti kisah perang Badar, Uhud, Ahzab (Khandaq), Bani Quraizhah, Bani an-Nadhir, Zaid bin Haritsah, Abu Lahab dan sebagainya.

Beberapa Hikmah Penampilan Kisah

Hikmah yang dapat dipetik banyak sekali, di antaranya:

a. Penjelasan mengenai hikmah Allah SWT dalam kandungan kisah-kisah tersebut, sebagaimana firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmat yang sempurna, maka peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi mereka).” (al-Qamar/54:4-5)

b. Penjelasan keadilan Allah SWT melalui hukuman-Nya terhadap orang-orang yang mendustakan-Nya. Dalam hal ini, firman-Nya mengenai orang-orang yang mendustakan itu, “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfa’at sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan.” (QS. hud/11:101)

c. Penjelasan mengenai karunia-Nya berupa diberikannya pahala kepada orang-orang beriman. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing.” (QS. Al-qamar/54:34)

d. Hiburan bagi Nabi SAW atas sikap yang dilakukan orang-orang yang mendustakannya terhadapnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zubur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku azab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Kuu.” (QS.fathir/35:25-26)

e. Sugesti bagi kaum Mukminin dalam hal keimanan di mana dituntut agar tegar di atasnya bahkan menambah frekuensinya sebab mereka mengetahui bagaimana kaum Mukminin terdahulu selamat dan bagaimana mereka menang saat diperintahkan berjihad. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Maka Kami telah memperkenankan doanya dari menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikian itulah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS.al-Anbiya’/21:88) Dan firman-Nya yang lain, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS.ar-Rum/30:47)

f. Peringatan kepada orang-orang kafir akan akibat terus menerusnya mereka dalam kekufuran. Hal ini sebagaimana firman-Nyma, “Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereak dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS.muhammad/47:10)

g. Menetapkan risalah Nabi Muhammad SAW, sebab berita-berita tentang umat-umat terdahulu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang ghaib yang Kmai wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (QS.Hud/11:49) Dan firman-Nya, “”Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (Ibrahim/14:9)

Apa Faedah Pengulangan Kisah?

Ada di antara kisah-kisah al-Qur’an yang hanya disebutkan satu kali saja seperti kisah Luqman dan Ash-habul Kahf. Ada pula yang disebutkan berulang kali sesuai dengan kebutuhan dan mashlahat. Pengulangan ini pun tidak dalam satu aspek, tetapi berbeda dari aspek panjang dan pendek, lembut dan keras serta penyebutan sebagian aspek lain dari kisah itu di satu tempat namun tidak disebutkan di tempat lainnya.

Hikmah Pengulangan Kisah

Di antara hikmah pengulangan kisah ini adalah:

- Penjelasan betapa urgennya kisah sebab dengan pengulangannya menunjukkan adanya perhatian penuh terhadapnya.

- Menguatkan kisah itu sehingga tertanam kokoh di hati semua manusia
- Memperhatikan masa dan kondisi orang-orang yang diajak bicara. Karena itu, anda sering mendapatkan kisahnya begitu singkat dan biasanya keras bila berkenaan dengan kisah-kisah dalam surat-surat Makkiyyah, namun hal sebaliknya terjadi pada kisah-kisah dalam surat-surat Madaniyyah

- Penjelasan sisi balaghah al-Qur’an dalam pemunculan kisah-kisah tersebut dari sisi yang satu atau dari sisi yang lainnya sesuai dengan tuntutan kondisi

- Nampak terangnya kebenaran al-Qur’an dan bahwa ia berasal dari Allah SWT dimana sekali pun kisah-kisah tersebut dimuat dalam beragam jenis namun tidak satu pun terjadi kontradiksi.

(SUMBER: Ushuul Fi at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.48-51)

Share:

Pengertian al-Qur'an

Pengertian al-Qur'an
Jumat, 24 Maret 06

Secara Bahasa (Etimologi)

Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (ÞÑÃ) yang bermakna Talaa (ÊáÇ) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan (ÞÑà ÞÑÁÇ æÞÑÂäÇ) sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan (ÛÝÑ ÛÝÑÇ æÛÝÑÇäÇ). Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*

Secara Syari’at (Terminologi)

Adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad SAW, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)

Allah SWT telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia SWT telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesunggunya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)

Oleh karena itu, selama berabad-abad telah berlangsung namun tidak satu pun musuh-musuh Allah yang berupaya untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan membuka kedoknya.

Allah SWT menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya.

Allah SWT berfirman, “Dan sesunguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung.” (al-Hijr:87)

Dan firman-Nya, “Qaaf, Demi al-Quran yang sangat mulia.” (Qaaf:1)

Dan firman-Nya, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad:29)

Dan firman-Nya, “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka iktuilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (al-An’am:155)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.” (al-Waqi’ah:77)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan ) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang menjajakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang benar.” (al-Isra’:9)

Dan firman-Nya, “Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu kaan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-Hasyr:21)

Dan firman-Nya, “Dan apabila diturunkan suatu surat, mka di antara mereak (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini.? ‘ Adapun orang-orang yang berimana, maka surat ini menambah imannya sedang mereka merasa gembira # Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (at-Taubah:124-125)

Dan firman-Nya, “Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)…” (al-An’am:19)

Dan firman-Nya, “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang benar.” (al-Furqan:52)

Dan firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl:89)

Dan firman-Nya, “Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian* terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan…” (al-Maa’idah:48)

Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber syari’at Islam yang karenanya Muhammad SAW diutus kepada seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman,

Dan firman-Nya, “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).” (al-Furqaan:1)

Sedangkan Sunnah Nabi SAW juga merupakan sumber Tasyri’ (legislasi hukum Islam) sebagaimana yang dikukuhkan oleh al-Qur’an. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (an-Nisa’:80)

Dan firman-Nya, “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab:36)

Dan firman-Nya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” (al-Hasyr:7)

Dan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran:31)


CATATAN KAKI:

* Maksudnya, al-Qur’an adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab yang sebelumnya. (al-Qur’an dan terjemahannya, DEPAG RI)

(SUMBER: Ushuul Fii at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin, hal.9-11)

Share:

Thursday 18 February 2016

(Keutamaan² Amal)


MENGHAPUS BEBAN SEDEKAH DENGAN 2 RAKA'AT SHALAT DHUHA
Setiap hari kita masuk di waktu pagi, maka kita semua memiliki kewajiban untuk bersedekah sebanyak jumlah persendian kita, Sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan :
"يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ"
“Setiap pagi, pada setiap persendian tubuh kalian wajib atasnya sedekah”
Dalam hadits lain riwayat Abu Daud beliau bersabda :
"فِي الْإِنْسَانِ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ" قَالُوا: وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ؟
“Dalam tubuh manusia ada 360 persendian, maka wajib atas dirinya untuk bersedekah atas setiap persendian” para sahabat berkata : Siapa yang mampu melakukannya wahai Nabi Allah?
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan :
"فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى"
“Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah, setiap takbir sedekah, memerintahkan kepada kebaikan sedekah, mencegah dari kemungkaran sedekah, dan mencukupi seluruhnya dengan melaksanakan sholat 2 rakaat di waktu Dhuha.” [HR.Muslim]
Hadits-hadits tersebut menunjukkan kepada kita, bahwa ketika seseorang kurang ibadahnya, kurang dzikirnya, kurang bersyukur atas nikmat persendian, maka kita memproduksi lebih dari 300 dosa setiap harinya.
Namun, Allah dengan kasih sayang-Nya, memberikan kemudahan kepada para hamba-Nya, agar selamat dari dosa 360 persendian, tidak perlu bersedekah uang berkali-kali, tidak perlu was-was menghitung-hitung, cukup dengan shalat Dhuha 2 rakaat, maka tuntas beban pada hari itu.
Oleh karena itu, marilah kita laksanakan shalat Dhuha minimal 2 rakaat, Mudah-mudahan Allah menerima amal ibadah kita..
Aamiin Allahumma aamiin..
Share:

Apa itu ghibah?


Ghibah itu termasuk DOSA BESAR.
Namun perlu dipahami artinya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?”
Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.”
Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?”
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).
Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129).
Dalam Al Adzkar (hal. 597), Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar dikhalayak ramai.
Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti ini hanyalah sedikit. Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk diperdengarkan pada orang lain.
Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan, agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan, wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya.
Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”
Bahkan dikatakan dalam Majma’ Al Anhar (2: 552), segala sesuatu yang ada maksud untuk mengghibah termasuk dalam ghibah dan hukumnya HARAM.
Hukum ghibah itu diharamkan berdasarkan kata sepakat ulama. Ghibah termasuk dosa besar.
Sebagian ulama membolehkan ghibah pada non muslim seperti Yahudi dan Nashrani sebagaimana diisyaratkan dalam Subulus Salam (4: 333), sebagiannya lagi tetap melarang ghibah pada kafir dzimmi.
Semoga bermanfaat.
Share:

Thursday 8 October 2015

# Doa Agar Memiliki Anak yang Shalih #

# Doa Agar Memiliki Anak yang Shalih #
Memiliki anak yang shalih adalah impian setiap orang tua. Disamping mendidik dengan benar juga harus kita iringi dengan doa.
Al-Quran Al-Karim telah mengajarkan pada kita satu doa yang dapat kita gunakan jika kita ingin meminta keturunan yang shalih. Doa itu adalah :
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Furqan: 74)
Semoga kita semua bisa mendapatkan keturunan yang shalih ataupun shalihah.
Share:

Wasiat untuk Suami dalam Memperlakukan Istri


بسم الله الرحمن الرحيم
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُم أَخَذتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاستَحلَلتُم فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ
“Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka (sebagai istri) dengan perjanjian Allah dan menghalalkan hubungan suami istri dengan kalimat Allah.” [HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu’anhu]
1) Dalam hadits yang mulia ini terdapat pelajaran tentang pentingnya memperhatikan hak para wanita, memberi nasihat dan mempergauli dengan baik. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
فِيهِ الْحَثّ عَلَى مُرَاعَاة حَقّ النِّسَاء وَالْوَصِيَّة بِهِنَّ وَمُعَاشَرَتهنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk memperhatikan hak para wanita, berwasiat kepada mereka dan mempergauli mereka dengan baik.” [Syarhu Muslim, 8/183]
2) Berlaku baik kepada istri adalah pemuliaan terhadap syari’at Allah ta’ala. Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata,
أي: لأنكم تزوجتم بهن بشرع الله، وهن أمانات عندكم، فعليكم أن تقوموا برعاية هذه الأمانة، وعدم الإضرار بهن، وعدم الإساءة إليهن، وإنما تحسنون إليهن، وتعاشرونهن بالمعروف، وتعاملونهن بالمعروف
“Maknanya: Karena kalian wahai para suami telah menikahi istri-istri kalian dengan syari’at Allah, maka mereka adalah amanah-amanah di pundak kalian, hendaklah kalian berusaha menjaga amanah ini, tidak boleh menyakiti istri-istri kalian, tidak boleh berlaku jelek kepada mereka, tapi hendaklah kalian berbuat baik kepada mereka, mempergauli dengan cara yang ma’ruf dan berinteraksi dengan cara yang ma’ruf.” [Syarhu Sunan Abi Daud, 10/112, Asy-Syaamilah
selengkapnya :
Share:

Manfaat Sutrah

Manfaat Sutrah
Syari’at menjadikan sutrah dalam shalat ini memiliki beberapa manfaat, di antaranya:
1. Melaksanakan perintah Nabi dan mengikuti petunjuk beliau yang merupakan kebaikan di dunia dan akhirat. Alloh berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِّنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا ﴿٦٦﴾
Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). (QS. An-Nisa’: 66)
2. Menjadikan pandangan seorang yang shalat terpusat padanya dan tidak melayang ke mana-mana, sehingga dia betul-betul menghadirkan hatinya dengan penuh kekhusyukan.
3. Menutupi kekurangan shalat seorang dan mencegah setan untuk lewat di depannya dan merusak shalatnya.
4. Sebagai tanda bagi manusia bahwa seorang sedang dalam shalat.
5. Menghindarkan manusia agar tidak terjatuh dalam larangan melewati orang yang sedang shalat.
6. Memperirit tempat shalat dan memberikan tempat selebihnya kepada yang lain. (Lihat Syarh Al-Mumti’ 3/275 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
Share:

SYUKURI APA YANG ADA


Syaikh Ali Mustafa Thanthawi -rahimahullah-mengatakan:
Tak seorangpun di dunia ini melainkan pernah bertemu dengan orang yang kondisinya lebih baik atau lebih buruk dirinya.
Bila engkau miskin, pasti ada yang jauh lebih miskin darimu. 
Bila engkau sakit, pasti ada yang sakitnya jauh lebih parah darimu. 
Lalu mengapa engkau lebih sering mengarahkan kepala ke atas untuk memandang orang-orang yang kondisinya lebih baik darimu, ketimbang mengarahkannya ke bawah, agar engkau melihat orang yang kondisinya jauh lebih sulit darimu..?

Bila engkau tau bahwa ada orang yang bisa meraih harta dan kedudukan yang belum bisa kau raih. Padahal bila ditinjau dari aspek kecerdasan, pengetahuan serta kepribadian, levelnya jauh berada dibawahmu. Mengapa engkau tidak mengingat bahwa ternyata ada orang yang levelnya berada di diatasmu atau semisal denganmu dalam hal kecerdasan dan pengetahuan namun dia tidak pernah bisa meraih sebagian dari apa yang sudah engkau raih...?
Falsafah rizki itu sangat sulit untuk dimengerti. Tengoklah kehidupan manusia. Diantara mereka ada para penyelam yang Allah jadikan roti (kehidupannya) berserta segenap keluarga tersimpan jauh di dasar lautan. Mereka takkan bisa meraihnya hingga mereka mau menyelam ke dasar lautan yang dalam.
Ada juga para pilot yang Allah jadikan roti (kehidupannya) berada di atas awan, sehingga mereka tidak mungkin mendapatkannya hingga mereka mau terbang tinggi ke angkasa.

Ada juga yang roti (kehidupannya) tersembunyi di dalam bebatuan yang sangat keras, dimana mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan memecah batu-batu itu.
Ada pula orang-orang yang rezeki mereka berada di bawah gorong-gorong air yang kotor, atau di tempat-tempat penambangan yang dalam, dimana wajah mentari dan cahaya siang tak dapat dilihat.
Ada orang yang mendapatkan bagian rezekinya dengan tangan, kaki, lisan dan otaknya. Ada juga yang tidak bisa meraihnya kecuali den mempertaruhkan nyawa dan menghadapkan diri kepada kematian, seperti halnya para pemain sirkus yang selalu saja diburu kematian. Kalau ia tidak mendapati rizkinya dengan cara jatuh bertumpuh di atas kepala, ia mendapatinya ketika berada di antara taring-taring singa atau di bawah kaki-kaki gajah.
Maka bersyukurlah kepada Allah, karena Dia telah menjadikan rezekimu berada di atas meja kerjamu. Kau bisa mendapatkannya sambil duduk di atas kursi. Bersyukurlah karena Dia tidak menjadikan rezekimu berada di puncak-puncak gunung yang tinggi, atau di dasar lautan yang dalam, juga tidak harus berhadapan dengan singa maupun macan.

Beliau juga mengatakan:
Dengan gaji yang sedikit engkau bisa menjadi orang yang paling bahagia, asalkan engkau cerdas mengelola keuanganmu dan ridho terhadap pembagian Robb-mu.
(Syekh Ali Musthafa Thanthawi dalam risalah Ma’a An-Naas hal: 78-79)

via : Ustadz Aan Chandra Thalib
Share:

- Perbuatan Baik Sejatinya Kembali ke Diri Sendiri -

- Perbuatan Baik Sejatinya Kembali ke Diri Sendiri -
Perbuatan baik yang kita lakukan, sejatinya adalah untuk diri kita sendiri. Kemudian Allah memberikan karuniaNya dengan membalas kebaikan yang kita lakukan untuk diri kita sendiri itu dengan sebaik-baik balasan. Maha Baik nya Allah.
Itulah janji Allah yang tak kan meleset:

وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّـهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا
Dan kebaikan yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh balasannya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. (al Muzammil: 20)
Share:

Gila Itu Macam Macam.

Gila Itu Macam Macam.
Ungkapan di atas adalah arti dari pepatah arab yang berbunyi: 
الجنون فنون
Ada orang gila yg terekspresi dengan bertelanjang ria, ada pula yang dengan memaki maki setiap orang yang dijumpai, ada pula yang dengan berbicara sendiri dan ada pula yang berbicara tanpa kenal aturan dan batasan.

Dan menurut para dokter jiwa, gila itu bertingkat tingkat, ada yang parah seperti yang tergambar pada sikap aneh di atas. Ada pula yang sedang, belum sampai telanjang namun hampir telanjang atau bahkan memakai baju tanpa pernah dicuci.
Ada pula yang ringan, diantaranya dengan berbicara ngelantur alias ngalor ngidul ndak karuan, seakan lupa arah timur dari barat, walaupun penampilannya masih necis bersih dan perlente.
Dari mereka ada yang berkata bahwa istri tetangga adalah istrinya juga, ada lagi yang berkata bahwa ia mengetahui hal gaib, dan ada lagi yang berkata dirinya adalah keturunan malaikat, ada pula yang mengaku sholat subuh di Makkah, Zhuhurnya di Istiqlal Jakarta sedangkan Asharnya di masjid kampungnya. Dan ada pula yang ngakunya baru selesai menunaikan ibadah haji, padahal bukan bulan haji, malah ada pula yang mengaku BISA BERHAJI DUA KALI setahun.

Lebih unik lagi, ada yang mengaku bahwa Ka'bah datang berkunjung ke rumahnya, bukannya ia yang thawaf mengelilingi Ka'bah namun Ka'abahlah yang mengelilingi dirinya.
Dan masih banyak lagi ekspresi penyakit mental alias gila.
Ketika melihat ulah atau mendengar ucapan mereka hanya ada satu sikap yang pantas anda lakukan, yaitu merasa iba kepada mereka dan bersyukur anda selamat dari petaka yang menimpa mereka.

الحمد لله الذي عافاني مما ابتلاك به وفضلني على كثير مما خلق تفضيلا
Segala puji hanyak milik Allah Yang telah menyelamatkan aku dari petaka yang menimpamu, dan benar benar telah memberiku banyak kelebihan dibanding kebanyakan makhluq ciptaan-Nya.
Share:

- Perayaan Idul Ghodir Perayaan Kekufuran dan Pengkafiran -


Ajaran Islam dan Ajaran agama Syi'ah tidak mungkin bersatu, karena kedua agama ini saling berlawanan dan bertolak belakang.
Agama Islam tidak mungkin tegak kecuali dengan meyakini bahwasanya para sahabat adalah umat terbaik, karena sumber dasar agama Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan tidak mungkin al-Qur'an dan As-Sunnah sampai kepada kita kecuali melalui jalan dan jalur periwayatan para sahabat. Jika para sahabat bukan umat terbaik dan tidak amanah maka gugurlah sumber agama Islam, dan selanjutnya gugurlah agama Islam.
Adapun agama Syi'ah…
Maka agama mereka tidak mungkin tegak kecuali dengan mengkafirkan para sahabat. Karena agama mereka dibangun di atas keimaman (yaitu meyakini dan mengimani para imam dua belas yang mereka akui). Dan imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu.
Sementara penunjukan Ali sebagai imam oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah tatkala di Ghodiir Khum (suatu tempat yang terletak antara kota Mekah dan Madinah). Penunjukan dan washiat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut disampaikan tatkala Nabi pulang dari haji Wadaa' dihadapan para sahabat. Lalu ternyata para sahabat kompak menyelisihi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah. Karenanya mereka mengkafirkan seluruh para sahabat yang setuju dengan pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah, yang berarti para sahabat telah bersepakat menolak aqidah keimaman mereka, maka kafirlah para sahabat. Jadi agama Syi'ah tidak mungkin tegak kecuali dengan mengkafirkan para sahabat.
Dari sini sangatlah wajar jika di mata kaum agama Syi'ah, perayaan 'Idul Ghodir lebih utama dari pada hari raya 'Idul Fitri dan 'Idul Adlha !!!
Idul Ghodir Perayaan Kekufuran
Sangatlah jelas bahwa Hari Perayaan Ghodir Khum adalah hari kekufuran, karena hari Ghodir Khum di mata penganut agama Syi'ah adalah hari menjadikan keimaman sebagai rukun Islam yang paling utama. Dari keyakinan inilah timbul berbagai bentuk kekufuran, daintaranya :
Pertama : Mengangkat para imam mereka hingga pada derajat yang berlebihan, seperti meyakini bahwa para imam mereka mengetahui ilmu ghaib bahkan seluruh yang tercatat di al-Lauh al-Mahfuz juga diketahui oleh para imam mereka. Dan ini jelas merupakan kekufuran, karena telah menyatakan ada makhluk yang statusnya sama dengan Allah dalam hal ilmu ghaib.
Kedua : Meyakini bahwa al-Qur'an telah terjadi padanya perubahan dan distorsi, karena menurut agama Syi'ah seharusnya di dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang tegas menunjukkan akan aqidah keimaman mereka, akan tetapi dirubah atau disembunyikan oleh para sahabat. Dan keyakinan bahwa Allah tidak menjaga al-Qur'an adalah kekufuran. Demikian juga meyakini al-Qur'an sudah mengalami perubahan dan tidak bisa dijaga keotentikannya juga merupakan kekufuran
Ketiga : Menyatakan bahwa para imam mereka maksum (tidak mungkin salah dalam perkataan dan perbuatan). Ini merupakan kekufuran !!!. Sebab :
- Meyakini ada tokoh yang maksum setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hakekatnya adalah mencoreng dan merusak fungsi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Nabi terakhir. Sebab jika ada yang maksum setelah Nabi maka perkataan dan perbuatan orang tersebut juga merupakan syari'at yang merupakan sumber hukum baru, karena orang tersebut maksum (terjaga dari kesalahan oleh Allah).
- Oleh karenanya coba kita tanyakan kepada kaum Syi'ah, apa perbedaan antara imam dan Nabi??. Mereka tidak akan bisa menemukan perbedaan, bahkan pernyataan-pernyataan dalam kitab-kitab mereka menunjukkan bahwa imam-imam mereka lebih afdhol daripada para nabi ??!!
- Mencoreng kesempurnaan agama Islam yang telah Allah sempurnakan di akhir hayat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Karena dengan meyakini bahwasanya kedua belas imam mereka maksum, maka ini melazimkan syari'at agama Islam masih belum sempurna, sehingga akan datang syari'at-syari'at baru yang diambil dari perkataan dan perbuatan para imam maksum Syi'ah.
- Oleh karenanya, kalau agama Islam rujukan dasar hukumnya selain al-Qur'an adalah hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, adapun kaum agama Syi'ah maka rujukan mereka yang paling utama adalah perkataan-perkataan para imam mereka. Perkataan-perkataan para imam mereka menduduki kedudukan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Keempat : Bahkan sebagian Syi'ah ada yang berani menyatakan bahwa :
- Jibril salah dalam menurunkan wahyu, yang seharusnya kepada Ali namun Jibril 'alaihis salam menurunkannya kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Keyakinan kufur ini berangkat dari aqidah pengkultusan para imam mereka
- Nabi Muhammad telah salah karena tidak menjelaskan secara gamblang kepada para sahabat bahwa keimaman akan diwariskan kepada Ali bin Abi Tholib.

Idul Ghodir Perayaan Pengkafiran
Dari aqidah keimaman inilah lahirlah bentuk-bentuk pengkafiran yang membabi buta. Diantaranya :
Pertama : Pengkafiran seluruh para sahabat, kecuali hanya empat orang. Hal ini dikarenakan para sahabat telah berkhianat terhadap wasiat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di Ghodir Khum yang menyatakan bahwa Ali adalah imam penerus Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
Kedua : Pengkafiran seluruh muslim yang tidak beriman kepada imam-imam mereka. Karena barang siapa yang tidak beriman kepada imam mereka maka berarti telah meninggalkan rukun Islam yang paling utama, yaitu keimaman.
Dari sini maka ikut merayakan perayaan 'Idul Ghodir, atau ikut membenarkan atau membela 'Idul Ghodir, demikian juga ikut mempromosikan 'idul Ghodir merupakan bentuk ikut serta mensukseskan dan melariskan kekufuran !!!.
Membenarkan diadakannya perayaan 'Idul Ghodir di tanah air adalah bentuk pengkhianatan dan penipuan serta penyesatan kepada rakyat muslim Indonesia !!!
Sebaliknya menolak perayaan 'Idul Ghodir merupakan bukti keimanan, dan pembelaan terhadap agama Islam, pembelaan terhadap al-Qur'an, pembelaan terhadap Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, juga pembelaan terhadap para sahabat yang mulia !!!
via : firanda.com

Share:

Penjelasan yang menarik tentang akhlak terpuji dari Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Abbad hafizhahullah :

Penjelasan yang menarik tentang akhlak terpuji dari Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Abbad hafizhahullah :
Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
إنَّ الله تعالى قَسَمَ بينكم أخلاقكم، كما قسم بينكم أرزاقكم
“Sesungguhnya Allah Ta’ala membagi akhlak (yang terpuji) kepada kalian, sebagaimana Allah membagi rezeki kepada kalian” (H.R Bukhari dalamAdabul Mufrad).
Akhlak (yang terpuji) adalah anugerah dari Allah dan merupakan pembagian dari Allah, serta merupakan bentuk keutamaan yang Allah berikan untuk hamba. Allah yang menganugerahi rezeki, Dia pulalah yang menganugerahi akhlak yang terpuji. Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata,
فإنَّ الأخلاق مواهب يهب الله منها ما يشاء لمن يشاء
“Sesungguhnya akhlak yang terpuji adalah anugerah yang Allah berikan kepada para hamba sesuai dengan kehendak-Nya”.
Dalam masalah mendapatkan rezeki, dua perkara yang harus ada yaitu bersandarnya hati seorang hamba kepada Allah dan menyerahkan urusan seluruhnya kepada Allah tentang rezekinya serta berusaha mencari rezeki tersebut dengan usaha yang diperbolehkan oleh syariat. Maka demikian pula dalam masalah akhlak yang terpuji, seseorang hendaknya bersandar kepada Allah dalam mendapatkan akhlak dan adab yang terpuj disertai dengan usaha melawan dan menundukkan hawa nafsu untuk mendapatkannya.
Hanya Allah-lah satu-satunya Dzat yang bisa memberi petunjuk
Share:

BAGAIMANA RUQYAH SYARIAH?

BAGAIMANA RUQYAH SYARIAH?
Oleh Ustadz Abu Yahya Badrussalam Lc
Pertanyaan : Jaman sekarang banyak orang yang sedikit-sedikit merasa diganggu oleh jin. Sehingga dia mencari orang-orang yang bisa meruqyah. Nah seperti apakah ruqyah syar’iyah itu ustadz? Dan bagaimanakah dengan seseorang yang membuka konsultasi serta praktek ruqyah . dan sekarang juga sedang rame bagaimana dengan fenomena ruqyah via sosmed yang mana peruqyah berdialog dengan jin yang ada di dalam tubuh pasiennya??
Jawaban :
Tentunya segala sesuatunya harus di lihat apakah perbuatan itu sesuai dgn perbuatan Rasulullah atau tidak
Pertama: Para ulama menyebutkan tentang syarat2 ruqyah sebagaimana yg disebutkan Al hafidz ibnu Hajar dalam Fatuhl Bari
1. Menggunakan Kalamullah atau nama-nama dan sifat-Nya.
2. Menggunakan lisan (bahasa) Arab atau yang selainnya, selama maknanya diketahui.
3. Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, namun dengan sebab Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Fathul Bari, 10/237)

Kalau kita melihat bagaimana Rasululllah meruqyah orang yang kemasukan jin, disebutkan dalam salah satu riwayat yang shahih bahwa ada seseorang yang di datangkan kepada Rasulullah dan dia kemasukan jin. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengambil pelepah kurma lalu dipukulkan pelepah itu ke punggung orang tsb sambil dikatakan “keluarlah kamu wahai musuh Allah”
Rasulullah tidak mengajak berdialog, dan Rasulullah sama sekali disitu tidak bertanya dulu kepada jin kamu siapa, kenapa kamu masuk, kenapa begini kenapa begitu.. akan tetapi Rasulullah langsung mengatakan “keluarlah wahai musuh Allah”
Apalagi jin mereka adalah bangsa yang pandai berdusta, bagaimana kita hendak mengajak mereka berdialog sementara ucapannya sendiri tidak bisa dipercayai. Dan sebagian ulama mengingkarinya, bahwa perbuatan sebagian peruqyah yang mengajak dialog dulu karena itu tidak pernah di lakukan rasulullah, tidak pula sahabat tidak pula tabiin tidak pula imam-imam para ulama setelahnya

Hal itu dilakukan oleh para ulama, adapun dijaman sekarang ruqyah yang dilakukan melalui media social kemudian terjadi dialog dengan jin.. Ini semua perkara yang BATHIL ya akhi.. yang tidak pernah di tunjukan oleh dalilnya, dialog-dialog seperti itu tidak dilakukan oleh shalafus shaleh . Terlebih kita bangsa jin adalah bangsa yang ingin menguasai bangsa manusia. Mereka akan melakukan segala macam tipu daya untuk menipu manusia. Dusta pun akan mereka lakukan
Kita tidak melihat kepada hasil, tp yang kita lihat adalah cara. Banyak orang yang berkata “tapi kan berhasil?” sekali lagi kita tidak melihat hasil tapi caranya sesuai tidak dgn cara Rasulullah sshalallahu alaihi wasallam
“ada yang berkata peruqyah ini berhasil mengislamkan beberapa jin”

Yang namanya jin kita tidak bisa percaya masalahnya, betulkah dia masuk islam ataukah hanya berbohong saja?
Bukankah para jin itu diantara mereka juga ada yang berdakwah? Adapun kemudian menjadikan sebagai sarana dengan alasan itu bisa untuk mendakwahinya, Kalau seperti itu Rasulullah mau lakukan pastilah Rasulullah akan lakukan, begitu juga denga para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin.
Share:

# Intropeksi Bersama: Musibah Bencana Bukan SEMATA HANYA Karena Ekploitasi Alam dan Salah Managemen Pemerintah


-Ingatkah kita Banjir di zaman Nabi Nuh alaihissalam? Eksplotasi alam penyebab bencana belum parah, tetapi banjir hampir menenggelamkan dunia karena dosa dan kesyirikan manusia
-Benar memang sebabnya itu, akan tetapi sebab lainnya juga, yaitu karena maksiat dan dosa manusia, istigfar, memperbaiki diri, memperbaiki akhlak dan taubat, semoga bisa dicabut musibah tersebut
-Ingatkah kita Bani Israil? Pemimpin mereka adalah orang-orang hebat, bahkan Nabi dan Rasul, tetapi mereka banyak mendapatkan musibah dan kesusahan di muka bumi.
-Ini menunjukkan bahwa suatu negara/bangsa yang lemah dan tidak sejahtera bukan hanya salah pemerintah/pemimpin saja. Tapi rakyat juga intropeksi diri
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama:
كما تكونوا يولى عليكم
"Sebagaimana keadaan kalian, itulah keadaan pemimpin yang diberikan kepada kalian"

-Memang benar pemerintah/pemimpin yang harus segera bertindak dan kita berusaha untuk mendorong pemerintah agar segera bertindak,
tetapi sikap hanya menyalah saja tanpa memberi solusi nyata, tentu kurang bijaksana

-Semoga negara kita makmur dan berkah dengan iman, takwa dan tauhid, mari kita perbaiki diri kita sendiri dan keluarga serta masyarakat
Musibah karena akibat perbuatan kita sendiri
Allah Ta’ala berfirman,

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)
Dalam hadits:
Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan KEDZALIMAN PEMERINTAH kehidupan yang susah, dan paceklik.”[1]
Baca selengkapnya ا:
-Raehanul Bahraen-
Share:

- Rantai Fitnah -


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Mari kita simak hadis dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) setelahku yang lebih berat bagi lelaki melebihi ujian wanita. (HR. Bukhari 5096 & Muslim 7121).

Kemudian dalam hadis lain dari Ka’ab bin Iyadh Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِى الْمَالُ
Setiap umat memiliki ujian terbesar. Dan ujian terbesar bagi umatku adalah harta. (HR. Ahmad 17934, Turmudzi 2507, Ibn Hibban 3223 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Anda bisa perhatikan karakter umumnya lelaki dan wanita. Selanjutnya mari kita perhatikan korelasi implikasi berikut,
Premis 1: Lelaki mengejar wanita
Premis 2: Wanita mengejar dunia
Konklusi: Lelaki mengejar dunia untuk berebut wanita.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُضِلَّاتِ الفِتَنِ
Share:

~Hukum Mengaminkan Do'a Khotib dan Mengucapkan Shalawat Apabila Sang Khotib Meyebut Nama Rasulullah~


Pertanyaan:
Bolehkah mengaminkan do'a Khotib pada saat khutbah jum'at dan mengucapkan sholawat apabila sang khotib menyebut nama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-..?

Jawaban:
Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad sebanyak 3 kali pada 3 kesempatan yang berbeda. Beliau menjawab, " Tidak apa-apa mengaminkan do'a Khatib dan Mengucapkan sholawat kepada Rasulullah apabila khotib menyebut nama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, bahkan demikianlah seharusnya. Adapun hadits yang melarang berbicara pada saat khutbah, ini berlaku apabila pembicaraan tersebut diluar konteks khutbah, seperti membicarakan urusan duniawi dll. Maksudnya perkataan tersebut tidak ada kaitannya dengan khutbah.

Wallahu a'lam
Share:

Wednesday 7 October 2015

# Jangan Lalai dalam Shalat #


Bersikap lalai dalam shalat telah dinyatakan sebagai dosa besar, berdasarkan firman Allah ta’ala dalam surat Al-Ma’un,
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4–5).
Para ulama menerangkan bahwa yang dimaksud “lalai” dalam ayat di atas mencakup tiga bentuk perbuatan, yaitu:
1. Menunda-nunda shalat hingga baru dikerjakan ketika waktu shalat hampir berakhir.
2. Mengerjakan shalat tanpa memperhatikan syarat dan rukunnya sebagaimana yang diperintahkan.
3. Mengerjakan shalat tanpa disertai kekhusyukan dan tanpa merenungi makna bacaan shalat.

Adapun siksa kubur, yang akan dialami oleh orang yang lalai dalam shalatnya, disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdari sahabat Samurah bin Jundab. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat siksa bagi orang yang lalai dalam shalatnya, yaitu kepalanya akan dipecahkan dengan sebuah batu besar dan hal itu dilakukan berulang kali. (HR. Bukhari)
Share:

# Majelis Ilmu


Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَارِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ
.
“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman surga, maka perbanyaklah berdzikir.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu)”. 
(HR. At-Tirmidzi, Ahmad dan lainnya dari sahabat Anas bin Malik radiyallaahu ‘anhu)

Atha’ bin Abi Rabah-rahimahullah- berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, menikah, cerai, melakukan haji, dan yang sepertinya.”
Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar menurut pemahaman salafussaalih, ibadah yang sesuai sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya.
[Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas –hafizahullah-]
Share:

# Bisa Jadi Dakwah Rusak Karena Ulah Pelaku Dakwah Itu Sendiri


-Terkadang dakwah rusak karena pelaku dakwah sendiri yang kurang tahu ilmu dan cara berdakwah
-Keras, kaku, mau menang sendiri, suka debat, tidak tahu prioritas, biasanya karena tidak ikhlas dan mau menunjukkan yang berdakwah tu hebat dan berilmu
Semoga kita dihindarkan dari hal ini
hukum asal bedakwah adalah dengan lemah lembut, menenangkan, membuat hati lapang dan tidak membuat manusia lari
berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” (HR. Bukhari)
Fir’aun saja, manusia yang paling rudak dan mengaku bahwa ia adalah tuhan. Maka Allah memerintahkan Musa dan Harun agar berdakwah dengan lembut kepada Fir’aun.
“Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thaha :44)
Contoh kesalahan metode berdakwah:
– Seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata ,“ini haram”, itu bid’ah, ini syirik”.
Tentunya saja kakeknya akan berkata,
“Kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya ganti popokmu, sudah berani ceramahi saya?”.
– Seorang Wanita muslimah yang ingin mendakwahkan temannya yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema tentang cadar, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini sesat dan sebagainya . Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.
Share:

Total Pageviews