MOTIVASI HIDUP ISLAM

Visit Namina Blog

Wednesday, 7 January 2015

Antara Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah

Antara Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah

Antara Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah
Dalam Islam ada yang namanya fiqh hukum dan ada fiqh dakwah, dan pendekatan keduanya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adapun fiqh hukum itu hanya ada hitam-putih dan jelas, bila terkait hukum benda maka hukumnya halal atau haram, bila terkait amal perbuatan maka hukumnya ada 5 (ahkamu-khamsah) yaitu wajib-sunnah-mubah-makruh-haram.
Lain lagi dengan fiqh dakwah, dia lebih fleksibel karena mengajak manusia menuju kebaikan, dan sebagaiman yang kita pahami, dakwah itu memerlukan proses dan waktu yang tidak singkat.
Keduanya, baik pendekatan fiqh maupun pendekatan dakwah tetap harus dilandaskan pada dalil Islam yang disepakati oleh para ulama, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas
Misalnya ketika ada seorang Muslimah bertanya “Apa hukumnya melepas hijab karena pekerjaan?”, maka pendekatan fiqh dan dakwah bisa berbeda untuk menjawab pertanyaan ini.
Secara pendekatan fiqh hukum, jawabannya jelas “haram” bagi wanita tidak berhiijab atau melepas hijab selain kepada mahramnya, namun pendekatan dakwahnya bisa dijawab dengan menyemangati dan diajak pelan-pelan untuk memahami kewajiban berhijab. Secara dakwah kita sampaikan tentang “meyakini bahwa rezeki adalah dari Allah bukan dari bos” atau “bahwa Allah pasti membantu hambanya yang taat” misalnya.
Pendekatan secara dakwah ini intinya menguatkan, memotivasi dan memberikan harapan agar pelaku maksiat tak lari dari pendakwah, mau terus belajar agar pemahamannya meningkat, dan bila pemahamannya sudah meningkat, insyaAllah kemaksiatannya akan ditinggalkan.
Tapi bagaimanapun juga tidak boleh bagi kita melegitimasi kesalahan seseorang hanya dengan alasan itu adalah bagian dari fiqh dakwah, apalagi memberikan kalimat bercabang sehingga membuat bias hukum suatu hal yang sudah jelas, dengan dalih dilakukan untuk menyampaikan dakwah
Misalnya ada yang berkata “Saya mau ikut kajian, tapi masih pacaran, boleh nggak?”
kita tak bisa menjawab, “ah nggak papa” ikut aja dulu, karena merasa tak enak atau karena ingin dia ikut pada kita terlebih dahulu, karena kita justru melegitimasi pacaran yang maksiat tanpa menjelaskan hukumnya padanya. akan tetapi kita harus jelaskan haramnya pacaran, sambil tetap mengajaknya ikut kajian, itu baru fiqh hukum dan fiqh dakwah yang benar.
Jadi saat ditanya “Apa hukum membuka hijab bagi wanita?”, jawabannya harus tegas “ya haram”, tidak boleh dibiaskan, karena itu sangat berbahaya. Apalagi menjawab dengan kalimat multi intepretasi seperti “Hijab itu kan pilihan, seperti iman atau kafir itu pilihan”. Jawaban semisal ini hanya akan membingungkan ummat
Islam memang tak memaksa dan memberi pilihan untuk menjadi seorang Muslim atau tidak, menjadi beriman atau malah kufur ingkar, namun bila seseorang sudah memilih menjadi seorang Muslim, maka ia wajib terikat hukum Islam. Analoginya, “saya tidak memaksa anda masuk rumah saya, tapi bila anda sudah memilih masuk, ya harus ikut aturan saya”. Logis.
Karena itulah selepas Rasul wafat ada kaum yang menolak melaksanakan kewajiban zakat. Maka Khalifah Abu Bakar nan lembut itu lalu memerangi mereka agar mereka mau melaksanakan kewajibannya. Mereka tidak dipaksa masuk Islam, namun bila sudah memilih Islam ya kewajibannya membayar zakat.
Maka dalam Islam, harus ditegaskan betul bahwa hukum berhijab itu adalah suatu keharusan – “hukumnya wajib” bukan pilihan – “hukumnya mubah” adapun cara dakwah, bisa banyak macam dan gaya yang bisa digunakan. Ada yang dengan menyentuh logika, ada yang menyentuh emosional, sah-sah saja. Namun hukum fiqhnya harus disampaikan bahwa hijab itu wajib. Jangan sampai kita mengubah status hukum karena ingin manusia ridha dengan ucapan kita, lalu menyesatkan banyak orang dari hukum Allah
Santun berdakwah, halus tutur bahasa, memikat amalnya, itulah fiqh dakwah, yakni sampaikan kebenaran dengan cara yang lebih baik
Juga saat ditanya “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng kepribadian?”, maka kita harusnya meneliti kalimat pertanyaan sebelum menjawab, karena pertanyaan semisal ini bukan pertanyaan biasa melainkan pertanyaan menjebak, yang menuntun penjawab agar sesuai kehendak penanya
Maka tak elok bila kita menjawab, “Oh iya, sekarang banyak orang menggunakan simbol agama untuk mencapai popularitas, uang, dsb..” Sangat-sangat tak elok
Lalu bagaimana kesimpulan pendengar saat mendengar jawaban semisal itu? Kira-kira begini “Ohh orang berhijab banyak parah ya? mendingan hijab hati deh” atau “Iya bener, mendingan kita nggak usah simbol-simbol agama deh, yang penting baik”
Lalu makin banyaklah orang beralasan saat ditanya kenapa belum tunaikan kewajiban hijab? “Ah itu si fulanah aja berhijab, tapi ancur”
Seharusnya pertanyaan “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng kepribadian” yang menjebak itu dijawab dengan kalimat, “Muslimah berhijab memang belum tentu baik, tapi yang baik tentulah berhijab”. Ini jawaban yang menguatkan, dan insyaAllah jadi kebaikan berterusan
Betul bahwa kemauan dari dalam itu lebih kuat dibanding paksaan, namun bukan berarti selama menunggu kemauan, kewajiban jadi hilang. Jadi tidak berarti ketika seorang Muslimah belum memiliki kemauan diri, lantas dosanya tidak berhijab menjadi hilang. Karena ada manusia yang mendapat hidayah dari paksaan, terpaksa lalu biasa, dan biasa jadi istimewa. Awalnya terpaksa dan akhirnya ikhlas
Terkait paksaan ini, simak hadits Rasulullah saw
“Menangislah kamu semua, dan bila kamu tidak dapat menangis maka paksakan menangis!” (HR Ibnu Majah)
Perintah paksaan menangis ini terkait banyaknya perintah dari Allah dan Rasul, agar kita menangis karena takut akan Allah, karena airmata yang jatuh dari mata yang menangis karena takut Allah, insyaAllah diharamkan dari api neraka.
Maka Muslimah yang belum bisa berhijab pun seharusnya “memaksakan” diri dalam ketaatan, pasti Allah mudahkan dalam jalan taatnya. Bukan malah beralasan “tidak mau memaksakan” lantas menunda kewajiban, padahal hanya bagian kemalasan dan kelalaian saja.
Sampaikan kebenaran pada ummat agar mereka mengetahuinya dan sampaikan dengan cara yang baik pula, setelah itu tuntaslah tugas sebagai penyampai peringatan dan kabar gembira lalu semuanya sempurnakan dengan tawakal
Buat yang sudah berhijab, semoga istqamah dalam kewajiban, dan menikmatinya. Bagi yang belum, selamat “memaksakan” diri untuk taat. Allah mendekat pada orang yang mendekat pada-Nya. Allah selalu memudahkan orang yang mau taat pada-Nya
akhukum,
@felixsiauw
Share:

Imperialisme Barat dan Khilafah Islam

Ghazwul Fikri, Imperialisme Barat dan Khilafah Islam

Ghazwul Fikri, Imperialisme Barat dan Khilafah Islam
Bagi kaum Muslim, konsep nasionalisme sebagai pemersatu antarmanusia sebenarnya konsep yang baru karena baru diperkenalkan kurang dari 100 tahun yang lalu. Karena sebelumnya kaum Muslim hanya mengenal konsep ukhuwah Islam, yaitu ikatan yang muncul dari aqidah yang sama diantara kaum Muslim
Dengan ikatan ukhuwah yang lahir dari aqidah ini Islam menyatukan baik etnis, bahasa, bangsa, kelompok. Kesemuanya semua diikat oleh Islam tanpa melihat lagi perbedaan pada manusia, karena sudah sama aqidahnya. Dalam konsep ukhuwah Islamiyyah, tidak ada kaum yang dianggap lebih mulia dari yang lain, apakah dia Arab atau Ajam (selain Arab), maka semua sama dihadapan Allah, yang membedakan hanya ukuran takwanya.
Sebagaimana hadits Rasulullah,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb kalian satu, bapak kalian juga satu. Sesungguhnya tidak ada kelebihan pada orang Arab atas orang Ajam, tidak pula orang Ajam atas orang Arab, atau orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit putih; kecuali karena ketakwaannya.”
(HR Ahmad)
Berbeda dengan konsep nasionalisme yang muncul dari ikatan persamaan ancaman dan persamaan tempat hidup. Munculnya ikatan nasionalisme ini didasarkan atas kekauman dan kebangsaan, dan ikatannya biasanya disatukan oleh kesamaan etnis, bahasa atau bangsa. Maka sentimen kesamaan nasib adalah yang paling menonjol, begitu pula dengan kesamaan tempat tinggal, kesamaan asal, kesamaan bentuk fisik dan lain-lainnya. Karenanya banyak konflik muncul karena nasionalisme ini padahal agamanya sama, bahkan etnis dan bangsanya sama. Begitulah yang kita lihat pada Indonesia-Malaysia, Indonesia-Timor Timur dan perpecahan yang terjadi pada negara-negara Arab saat ini yang notabene atas nama nasionalisme dan kekauman
Dalam Islam, ikatan-ikatan selain aqidah Islam, yang dimuliakan lebih daripada aqidah Islam adalah ashabiyah (fanatisme) jahiliyyah.
Rasulullah bersabda, “Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah” (HR Abu Dawud)
Mengomentari hadits ini, Dr. Yusuf Qardhawi menulis dalam kitabnya “Halal dan Haram dalam Islam”
“Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta’asshub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain. Dan tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena ta’asshub baik dalam kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan”
Dr. Yusuf Qardhawi menyimpulkan setelah pembahasan beberapa hadits yang senada dalam kitabnya “Halal dan Haram dalam Islam”
“Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di kalangan kaum muslimin kepada fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan untuk fanatik kepada golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda jahiliah yang samasekali tidak diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh Al-Quran”
Sangat jauh berbeda nasionalisme dengan ikatan ukhwah Islam yang lahir dari aqidah, yang dulu pernah menyatukan ratusan juta kaum Muslim dalam 1 kekuatan kepemimpinan; Khilafah. Selama 1300 tahun semenjak dimulai Rasulullah di Madinah, ukhuwah Islam telah sukses menjadikan ummat satu tubuh, satu pemikiran dan satu perasaan yaitu Islam. Dengan ukhuwah Islam mereka bersatu karena sama-sama menyembah pada Tuhan yang satu, membaca kitab yang satu, meneladani Muhammad yang satu, shalat menghadap kiblat yang satu, bersatu dalam satu kepemimpinan dengan pemimpin yang satu.
Lalu bagaimana kaum Muslim yang awalnya disatukan ukhuwah atas aqidah dalam satu kepemimpinan Khilafah lalu terpecah jadi lebih 58 negara (nations) layaknya sekarang?
Semua dimulai pada 1683 saat Khilafah Utsmani menderita kekalahan di gerbang Vienna-Austria, kekalahan itu menandai jihad yang terakhir yang dilancarkan oleh kaum Muslim sekaligus sebagai simbol daripada akhir masa-masa kejayaan kaum Muslim di dunia, dan selanjutnya memasuki babak baru yaitu keruntuhannya.
Puncak masa keemasan Islam dimulai sejak masa Sultan Muhammad Al-Fatih yang ditandai dengan penaklukkan Konstantinopel pada 1453, sampai pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman Al-Qanuni yang membawa kekuasaan Khilafah Utsmaniyyah sampai pada luasan yang paling besar pada 1566. Adapun kaum Muslim yang memimpin setelahnya kurang memperhatikan Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah dan lebih tergiur pada nikmatnya dunia hingga melupakan tujuan hidup mereka yaitu mengabdi pada Allah, dan lebih suka harta dan kemewahan yang berlimpah.
Kelemahan internal itu pun diikuti serangan eksternal. Di sebelah Barat Khilafah Utsmani, bangsa Eropa yang mulai bangkit pemikirannya pasca Rennaisance meninggalkan abad gelap dan melancarkan perang babak baru kepada kaum Muslim dengan serangan pemikiran (ghazwul fikri) dan di sebelah Timur, Kerajaan Rusia menjajah wilayah Utara Khilafah yang berdekatan dengan Laut Hitam dengan serangan fisik dan menaklukkan sebagian besar wilayah-wilayah kaum Muslim.
Inti daripada perang pemikiran kaum Eropa yang dikepalai Inggris pada masanya bukanlah ingin memurtadkan kaum Muslim, tapi bertujuan agar kaum Muslim tetap berada dalam agamanya, namun dengan isi kepala yang berbeda, dengan pemikiran yangjauh dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Karenanya mereka menyebarkan pemikiran semisal nasionalisme dan demokrasi, untuk menggantikan ukhuwah Islam dan aqidahnya.
Dengan itu Inggris berhasil menguasai Mesir pada 1888 dan India pada 1857. Sementara lewat perang fisik, Rusia juga membantu Bulgaria, Rumania, Serbia dan Montenegro memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyyah, juga dengan menyuntikkan pemikiran semisal nasionalisme, hingga rakyat-rakyatnya menuntut pemisahan diri dari Khilafah.
Begitulah wilayah Khilafah Islam Utsmaniyyah menyusut secara drastis, karena secara internal Islam ditinggalkan dan diserang secara eksternal
Keadaan semakin parah saat di internal Khilafah sendiri, gerakan-gerakan nasionalis-liberalis-sekuler pun bermunculan. Dimulai dari sekolah-sekolah misionaris di Libanon dan juga cendekiawan-cendekiawan muda yang mulai silau dengan kemajuan Barat, gerakan ini berubah menjadi Revolusi “Young Turk” pada 1908
Gerakan “Young Turk” ini sesungguhnya tak lain adalah gerakan Freemasonry yang di-inisiasi di loji-loji Freemason di Italia dan Yunani, mendapatkan dukungan penuh dari Inggris dan Prancis, lalu menggulingkan Khalifah terakhir, Sultan Abdul Hamid II pada 1908. Gerakan sekulerisasi Khilafah Utsmani pun dimulai segera, “Young Turk” bekerjasama dengan majikannya Inggris untuk memulai rencana guna mengakhiri Khilafah. Utsmani
Pada 1914-1918 pecah Perang Dunia I. Inggris, Prancis dan Rusia menyatu sebagai Blok Sekutu melawan Blok Sentral yang disusun oleh Jerman, Austria dan Hungaria. Awalnya Khilafah Utsmani tak berniat ikut perang dan tetap netral, namun wilayahnya yang berada ditengah-tengah konflik antarnegara itu tak memungkinkan Khilafah Utsmani untuk tetap netral.
Setelah ditolak bergabung bersama Blok Sekutu, Khilafah Utsmani bergabung dengan Blok Sentral, dari sini tampak upaya konspirasi untuk meniadakan Utsmani dengan cara menjebak Khilafah agar turut serta dalam Perang Dunia I, padahal keadaan Khilafah Utsmani sedang dalam kondisi yang sangat lemah secara internal maupun eksternal, dengan hutang yang banyak, teknologi tertinggal dan banyak intrik politik.
Sebagai bagian dari pelaksanaan perang, Inggris yang sangat bernafsu menguasai dunia saat itu memulai menyusup ke negeri-negeri Muslim untuk memisahkannya dari Utsmani. Hasilnya, Syarif (Gubernur) Makkah Hussein bin Ali berkenan untuk mengadakan perjanjian dengan Inggris untuk memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyyah.
Selepas mendapatkan doktrin Barat tentang Nasionalisme dan dibakar semangat kekauman Arab, seolah-olah betapa mulia kaum Arab bila dibandingkan kaum Turki yang menjadi Khalifah. Hussein bin Ali menjanjikan akan memimpin pemberontakan terhadap Khilafah Utsmani sementara Inggris memasok senjata-senjata dan menjanjikan kemerdekaan negara Arab seusai Perang Dunia I. Inggris menjanjikan wilayah Arab-Iraq-Syam kepada Hussein bin Ali. Perjanjian mereka terkenal dengan korenspondensi “Hussein-McMahon”
Pemberontakan Hussein bin Ali dimulai pada 1916 atas bantuan Inggris mulai dari antuan senjata, informasi sampai informan “Lawrence of Arabia” yang ditugaskan mendampingi Hussein bin Ali. Inggris juga membekali bendera “Revolusi Arab” yang menjadi simbol ashabiyah (fanatisme) kepada pasukan-pasukan pemberontak ini. Pada gilirannya, bendera ini pula yang akan digunakan oleh negara-negara Arab di Timur Tengah pasca runtuhnya Khilafah Islam.
Khilafah Utsmani kewalahan menghadapi serangan luar dan dalam ini. Selama 1917-1918 Yerusalem dan Baghdad direbut Inggris, sementara Amman dan Damaskus direbut pasukan Revolusi Arab dibawah pimpinan Hussein bin Ali. Perang Dunia I ini pun diakhiri pada 1918 dengan kekalahan Blok Sentral, dan Khilafah Utsmani-lah yang paling menderita kerugian akibat perang ini, iapun dikuasai Inggris dan Perancis sebagai pemenang
Pengkhianat memang tak mendapat selain pengkhianatan. Seusai Perang Dunia I, Inggris pun mengkhianati perjanjiannya dengan Hussein bin Ali dengan perjanjian baru yang dibuat dengan sekutunya Prancis. Lewat perjanjian Sykes-Picot pada 1917, Inggris dan Perancis punya rencana sendiri membagi tanah Khilafah kaum Muslim. Dalam perjanjian ini Inggris mendapat Iraq, Kuwait dan Yordan, sementara Prancis mendapat Suriah, Libanon dan Turki Selatan. Sedangkan wilayah Palestina dan Gaza ditangguhkan Inggris dan Prancis, untuk diberikan pada Zionis Yahudi lewat Deklarasi Balfour yang disepakai Ratu Elizabeth di tahun 1917
Begitulah kemudian Inggris dan Perancis menaklukkan Khilafah Islam lalu membagi-baginya menjadi negara kecil yang terpisah-pisah. Inggris lalu mengajarkan nasionalisme dan memerdekakan Arab. Inggris memberikan wilyah Iraq dan Syria kepada Raja Faisal keturunan dari Hussein bin Ali, dan wilayah Yordan diberikan pada Raja Abdullah atas jasanya memihak pada Inggris
Lewat tangan agennya yang berketurunan yahudi, Mustafa Kemal, Inggris mengakhiri Khilafah dengan menjadikan Mustafa Kemal pahlawan Turki, yang berujung pada penghapusan Khilafah Islam pada 1923. Saat itu tidak ada lagi naungan dan pelindung bagi kaum Muslim diseluruh dunia.
Selanjutnya, setalah memastikan pemerintahan di negeri-negeri Muslim agar berdasarkan sekulerisme dan liberalisme, satu demi satu wilayah Islam dimerdekakan khususnya pasca Perang Dunia II. Mesir pada 1922, Iraq pada 1932, Libanon pada 1943, Pakistan pada 1947, Suriah pada 1946, India pada 1947 dan menyusul wilayah-wilayah Islam lainnya.
Wilayah yang dahulunya satu Khilafah Islam, terpecah belah menjadi 58 negara kecil, dan masing-masing bangga pada dirinya sendiri. Selepas Khilafah dibubarkan, tiada pula perlindungan bagi kaum Muslim, misalnya saat 1948 negara Israel didirikan oleh PBB dan US, dan sampai sekarang melakukan pembantaian-pembantaian tak beradab terhadap saudara kita di tanah Palestina. Sejak Khilafaj itu sirna, pembantaian nyawa, perusakan pemikiran dan aqidah, semua masuk tanpa terbendung kecuali oleh kelompok kecil dan individu.
Begitulah Allah dan Rasul mewajibkan pada seluruh kaum Muslim seorang pemimpin yang menerapkan Islam dan membela urusan mereka. Sabda Nabi saw berkaitan dengan ini,
“Imam (Khalifah) layaknya perisai, di belakangnya umat berperang, dan kepadanya umat berlindung” (HR Muslim)
Imam yang dimaksud bukan pemimpin sekelompok Muslim, tapi pemimpin seluruh Muslim yang menerapkan Islam, bukan yang lain. Yaitu Imam yang menyatukan seluruh Muslim atas dasar aqidah bukan nasionalisme dan menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah pada mereka
Amirul Mukminin Khalifah Umar Bin Khaththab ra berkata, “Tidak ada Islam tanpa persatuan, tiada persatuan tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan”
Karena bila pemimpin tidak menerapkan apa yang diperintah Allah, maka kita akan melihat dia pasti akan mengabaikan urusan ummat dan agama Islam. Karena itulah pemimpin yang amanah memang mutlak harus ada dalam Islam namun dia haruslah menerapkan sistem kepemimpinan yang amanah. Karena hanya dengan sistem amanah yaitu Khilafah maka ummat akan dipersatukan dan hanya dengan ukhuwah yang lahir dari akidah kita memiliki kekuatan
Untuk diskusi dan info lebih lanjut, silakan dapatkan di buku Khilafah* tulisan @felixsiauw atau follow akun @bukukhilafah
buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.comatau ke pages Facebook alfatihbookstore
Share:

Bukan Hanya Pemimpin Yang Amanah, Tapi Juga Sistem Kepemimpinan Yang Amanah

Bukan Hanya Pemimpin Yang Amanah, Tapi Juga Sistem Kepemimpinan Yang Amanah

Bukan Hanya Pemimpin Yang Amanah,  Tapi Juga Sistem Kepemimpinan Yang Amanah
Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh Al Qur’an –Utsman bin Affan
Islam berbeda dengan agama-agama yang lain yang pernah diturunkan oleh Allah Swt, karena Islam diturunkan sempurna dan menyeluruh, termasuk dalam hal megatur pemimpin dan sistem kepemimpinan.
Karena mengusung kesatuan kepemimpinan politik dan spiritual inilah maka Islam dapat tersebar dengan luasan yang fenomenal dalam tempo yang relatif singkat dibandingkan peradaban pendahulunya seperti Persia dan Romawi.
Karena itu pula Michael H. Hart dalam bukunya “The 100 – a Ranking of Most Influential People in History”, menilai Nabi Muhammad dengan kalimat “he was the only man in history who was supremely succesfull on both the religious and secular level“, dengan menuliskan dua alasan:
“Muhammad, however, was responsible for both the theology of Islam and its main ethical and moral principles”
“Furthermore, Muhammad (unlike Jesus) was a secular as well as a religious leader. In fact, as the driving force behind the Arabs conquest, he may well rank as the most influential political leaders of all time”
Pemimpin di dalam Islam sangatlah penting, bahkan diwajibkan dalam perkara agama. Rasul bersabda “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan mereka menunjuk seorang pemimpin di antara mereka.”(HR Ahmad)
Bila dalam safar saja diwajibkan adanya pemimpin, apalagi perkara yang lebih besar yaitu urusan ummat seluruhnya. Namun di dalam Islam, Allah tidak hanya mewajibkan pada kaum Muslim untuk sekedar memiliki pemimpin yang amanah, namun juga sistem yang amanah dimana pemimpin itu memimpin dengannya.
Rasul sendiri tatkala memimpin kaum Muslim bertindak sebagai kepala negara yang amanah, dengan mengatur sistem ekonomi, politik, pendidikan, peradilan dan keamanan dalam dan luar negeri, termasuk mengirim surat pada Kaisar Romawi dan Kisra Persia pada waktu itu, dan kesemuanya berdasarkan sistem syariah Islam.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS an-Nisaa [4]: 58-59)
Kedua ayat ini menunjukkan kewajiban yang sangat besar bagi kaum muslim untuk memiliki pemimpin dan kepemimpinan yang dengannya bisa diterapkan amanat hukum Allah dengan adil, dan menjadi penjamin atas dipakainya al-Qur’an dan as-Sunnah ketika ada perselisihan diantara kaum mukmin
Rasulullah pun telah memberikan batasan, bagaimana penguasa dan kepemimpinan ini diatur dalam Islam melalui lisannya yang mulia:
“كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ”
قَالُوا “فَمَا تَأْمُرُنَا” قَالَ “فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ. أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ” روه بخاري و مسلم
Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebankan kepada mereka” (HR Bukhari dan Muslim)
Demikianlah Rasulullah berpesan, bahwa yang kelak akan melanjutkan kepemimpinan dan pemeliharaan atas ummat adalah pemimpin yang disebut Khalifah, dan Khalifah inilah yang akan menjaga amanah untuk menerapkan sistem amanah berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana diperintahkan dalam QS An-Nisaa [4]: 59
Maka setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar menjabat sebagai Khalifah kaum Muslim, dilanjutkan dengan Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, keempatnya dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin, Para Khalifah yang ditunjuki Allah. Dan sistem kepemimpinan ini disebut dengan nama Khilafah.
Keberadaan Khalifah sebagai pemimpin yang satu bagi kaum Muslim dan Khilafah sebagai sistem kepemimpinan yang satu bagi kaum Muslim inilah yang selalu dijaga oleh kaum Muslim semenjak wafatnya Rasulullah sampai pada tahun 1924 saat Khilafah diruntuhkan di Turki dan Khalifah diturunkan dan diasingkan.
Dari dalil-dalil diatas kita lalu memahami bahwa seluruh kaum Muslim diwajibkan dalam Islam untuk memiliki pemimpin yang amanah, selain itu Islam juga mewajibkan adanya sistem yang amanah.
Dalam Islam, belum cukup ketika kaum Muslim memilih pemimpin yang amanah, namun dipilih untuk menjalankan sistem yang tidak amanah seperti sekulerisme, liberalisme dan demokrasi seperti saat ini. Tapi pemimpin Islam diwajibkan untuk menjalankan sistem amanah juga, yaitu yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Karenanya memilih pemimpin yang amanah tapi tidak sistem kepemimpinan yang amanah, hanya menjadikan pemimpin tersebut bermaksiat dalam sistem yang tidak amanah ini, dan merupakan sikap tak benar karena memilih dan memilah hukum Allah, setengah-setengah dalam ketaatan.
Seharusnya kaum Muslim menyadarkan dan mengingatkan satu sama lain bahwa sumber permasalahan besar ummat bukan hanya tentang pemimpin yang amanah, namun lebih karena ditinggalkannya hukum Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sistem kepemimpinan.
Jadi Islam mewajibkan bukan hanya pemimpin yang amanah, namun juga sistem kepemimpinan yang amanah.
Untuk diskusi dan info lebih lanjut, silakan dapatkan di buku Khilafah* tulisan@felixsiauw atau follow akun @bukukhilafah
buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.comatau ke pages Facebook alfatihbookstore
Share:

Khilafah Yang Menyatukan, Khalifah Yang Melindungi

Khilafah Yang Menyatukan, Khalifah Yang Melindungi

Khilafah Yang Menyatukan, Khalifah Yang Melindungi
Pernahkah kita membayangkan bahwa pada satu masa yang panjang, kaum Muslim di seluruh dunia pernah bersatu padu dalam satu ummat? Pada kenyataannya ummat Muslim memang pernah bersatu dalam kurun waktu sekitar 1300 tahun lamanya. Bermula dari kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw pada 622 M di Madinah dan berakhir pada Kekhilafahan Utsmaniyyah tahun 1924 M di Turki.
Terbayangkah kita bagaimana kekuatan ummat Muslim saat mereka bersatu? Allah limpahkan berkah pada mereka dan kebaikan dunia-akhirat, kekuatann yang tiada bandingannya dan kehormatan serta kemuliaan, disegani lawan dan disukai kawan. Dengan pemimpin yang satu, kepemimpinan yang satu, bendera yang satu | aturan yang satu, rasa yang satu, dan komando yang satu
Masa-masa bersatunya kaum Muslim itulah masanya Khilafah Islam mewujud, dengan Khalifah sebagai pemimpin yang melindungi ummat Muslim. Pada masa itu darah dan kehormatan kaum Muslim dilindungi oleh Khalifah, begitupun dengan darah dan harta kaum kafir dzimmi didalamnya (kaum kafir yang damai yang hidup di negara Islam, mereka membayar jizyah dan tunduk pada aturan syariah Islam)
Bahkan saat Khilafah sedang berada dalam kondisi lemah karena konflik internal-eksternal yang tak kunjung usai, tetap saja Khalifah yang saat itu dijuluki “Sick-Man of Europe” masih punya taji dan kekuatan. Misalnya, pada 1889 seorang penulis drama asal Prancis Henri de Bornier berencana mementaskan drama yang bertajuk “Muhammad atau Kefanatikan” yang isinya menghina Nabi Muhammad saw.
Saat berita itu sampai kepada Khalifah, maka Khalifah Abdul Hamid II melalui duta di Paris pada saat itu Es’at Pasha, segera meminta agar drama tendensius itu dibatalkan pementasannya karena hal itu menyakiti perasaan ummat Muslim. Setelah keberatan dan protes dari Khalifah diberitahukan, Perdana Menteru Prancis Charles de Freycinet melarang pementasan drama itu di Prancis pada 1890
Dilarang di Prancis, Henri de Bornier tidak kehabisan akal lalu berencana mementaskan drama yang sama di Inggris. Maka, sekali lagi Khalifah meminta pemerintah Inggris agar melarangnya, dan memberitahukan bahwa Prancis pun sudah melarang pementasan yang sama karena drama itu adalah penghinaan bagi Nabi Muhammad saw.
Diluar dugaan Khalifah, Inggris menolaknya dengan alasan tiket-tiket telah dijual dan pembatalan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi (freedom of act and speech) yang diyakininya
Mendengar jawaban itu Khalifah Abdul Hamid II lalu menyampaikan pada pemerintah Inggris bila tetap bersikeras atas pernyatannya. Khalifah Abdul Hamid II lalu berucap
“saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkankan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami! saya akan kobarkan Jihad Al-Akbar”
Dengan ancaman itu Inggris pun serta merta membatalkan niatnya mementaskan drama besutan Bornier. Begitulah kesatuan Muslim dalam Khilafah dapat menjaga kehormatan mereka.
Clifford Edmund Bosworth, seorang orientalis dan sejarawan asal Inggris pada 1970 berkomentar tentang hal ini dalam bukunya “A Dramatisation of the Prophet Muhammad’s Life: Henri de Bornier’s Mahomet’” halaman 116
“Since Bornier’s time, no major European dramatist seems to have essayed a play on the life of the Prophet”
Beginilah pemimpin seharusnya melindungi kehormatan ummat Muslim, tidak seperti sekarang saat pemimpin-pemimpin kaum Muslim banyak diam dan tak berbuat apapun saat penghinaan pada Nabi begitu marak
Khalifah Abdul Hamid II yang memimpin Khilafah adalah Khalifah terakhir, namun walaupun dalam kondisi yang sangat lemah, Khilafah tetap disegani bangsa Eropa. Ini membuktikan bahwa pemimpin yang amanah yaitu Khalifah, hanya akan bersinar dalam sistem yang amanah yaitu Khilafah.
Khalifah adalah pemimpin kaum Muslim yang bertindak berdasarkan Islam, seorang pemimpin bagi kaum Muslim seluruh dunia yang berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Kita pahami bahwa Rasulullah meninggalkan pada kita 2 hal yang kita takkan tersesat bila kita berpegang teguh pada keduanya, dan 2 hal itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka harusnya Al-Qur’an tidak hanya dijadikan panduan bagi pemimpin semata, tapi juga jadi panduan dalam sistem kepemimpinan kaum Muslim. Hanya dengan pemimpin amanah yaitu Khalifah dan sistem kepemimpinan amanah yakni Khilafah kehormatan kaum Muslim akan terjaga mulia
Kabar baiknya, Rasulullah mengabarkan bahwa Khilafah dan Khalifah yang berdasar manhaj kenabian ini akan bangkit sekali lagi
“adalah Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya.Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya.Lalu akan ada kekuasaan yang menggigit, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang memaksa (diktator), yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya, bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian. Kemudian beliau (Nabi) diam”
(HR Ahmad)
Maka bagi kitalah diamanahkan dan diberikan kehormatan perjuangan ini, yaitu akan kembalinya Khilafah yang menaungi ummat Muslim. Khilafah adalah sistem kepemimpinan Islam yang amanah, yang hanya membolehkan pemimpin beriman amanah yang memimpin, tidak selainnya. Dengan sistem kepemimpinan Khilafah inilah, Khalifah akan menerapkan syariah bagi seluruh ummat. Dengan itu insyaAllah keberkahan bagi semuanya.
Untuk diskusi dan info lebih lanjut, silakan dapatkan di buku Khilafah* tulisan @felixsiauw atau follow akun @bukukhilafah
buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.com atau ke pages Facebook alfatihbookstore
akhukum,
@felixsiauw
Share:

Bahaya Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme

Bahaya Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme

Bahaya Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme
Wacana Pluralisme dan temen-temennya ini tak pernah habis menghantui dan merusak kaum Muslim. Walaupun MUI telah mengeluarkan fatwaharamnya paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun 2005,  tetap saja pluralisme melenggang kangkung diusung media.
Walhasil, umat Islam pun menjadi bingung, semua yang pro dan kontra dengan sepilis (sekulerisme-pluralisme-liberalisme) ini semua mengatasnamakan Islam, mana yang harus dipercaya, yang mana yang harus diikuti menjadi samar. Banyak diantara kaum muslim akhirnya yang memilih untuk tidak perduli. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk meletakkan sebuah pemahaman yang benar tentang faham Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme.
Secularism means:
• in philosophy, the belief that life can be best lived by applying ethics, and the universe best understood, by processes of reasoning, without reference to a god or gods or other supernatural concepts.
• in society, any of a range of situations where a society less automatically assumes religious beliefs to be either widely shared or a basis for conflict in various forms, than in recent generations of the same society.
• in government, a policy of avoiding entanglement between government and religion (ranging from reducing ties to a state church to promoting secularism in society), of non-discrimination among religions (providing they don’t deny primacy of civil laws), and of guaranteeing human rights of all citizens, regardless of the creed (and, if conflicting with certain religious rules, by imposing priority of the universal human rights).
Secularism can also mean the practice of working to promote any of those three forms of secularism.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Secularism• Secara filosofi, pandangan yang menganggap bahwa kehidupan dapat dijalani paling baik dengan menggunakan etika, dan pengertian paling baik dari alam semesta, melalui proses argumentatif, tanpa merujuk kepada tuhan atau (banyak) tuhan atau konsep supernatural.
• Pada masyarakat, semua dari kisaran situasi dimana suatu masyarakat lebih sedikit yang secara otomatis mengasumsikan kepercayaan agama sebagai andil besar atau dasar daripada masalah dalam berbagai bentuk daripada generasi belakangan di masyarakat yang sama.
• Pada pemerintahan, kebijaksanaan yang menghindari keterkaitan antara pemerintahan dan agama (berkisar dari mengurangi keterikatan pada negara-gereja sampai mempromosikan sekularisme pada masyarakat), non-diskriminasi pada agama (memaksa mereka untuk tidak mengingkari keutamaan dari hukum sipil), dan menjamin HAM semua warganegara (dan, bila bermasalah dengan aturan agama tertentu, dengan memprioritaskan hukum hak asasi universal)
Sekularisme juga bisa berarti mempraktekan atau berusaha untuk mempromosikan/menyebarkan salah satu dari tiga bentuk sekularisme diatas. 
Liberalism is a political current embracing several historical and present-day ideologies that claim defense of individual liberty and private property as the purpose of government. It typically favors the right to dissent from orthodox tenets or established authorities in political or religious matters. In this respect, it is sometimes held in contrast to conservatism. Since liberalism also focuses on the ability of individuals to structure their own society, it is almost always opposed to totalitarianism and collectivist ideologies, particularly communism.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Liberalism
Liberalisme adalah gerakan politik mencakup pandangan kuno dan modern yang menjamin kebebasan individual dan kepemilikan privat sebagai tujuan dari pemerintahan. Cirinya melindungi hak untuk bertentangan dari dalil/pengajaran agama atau menetapkan kewenangan dalam masalah politik atau agama. Dalam pembahasan ini, liberalisme terkadang kontras dengan konservatisme. Karena liberalisme memfokuskan kepada kemampuan individual dalam membentuk struktur masyarakat, maka hampir selalu bertentangan dengan totaliterisme dan ideologi kolektif (sosialis), khususnya komunisme

In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation
Pluralism also implies the right of individuals to determine universal truths for themselves.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Pluralism
Pada ilmu sosial, pluralisme adalah kerangka aktivitas interaksi dimana suatu kelompok menunjukkan rasa hormat yang baik dan toleransi satu samalain, mereka saling mengakui dan berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi.
Pluralisme juga bahwa individu-individu mempunyai hak untuk memutuskan “kebenaran universal” untuk mereka.
Pluralisme Agama

Dari pemaparan diatas telah sangat jelas sekali bahwa sesungguhnya sekularisme adalah cara memandang kehidupan tanpa agama (outside the religion), dalam definisi modern juga bisa dikatakan memisahkan agama dari kehidupan publik (negara). Awal munculnya pandangan ini adalah ketika terjadi konflik antara agama katolik dan para cendekiawan di eropa yang berlangsung pada abad pencerahan (enlightment ages) sekitar abad 16 sampai abad 17, yang sebelumnya dilalui oleh abad gelap (dark ages) yaitu sekitar abad ke 5 sampai dengan abad ke 15. Penyebutan abad gelap ini adalah karena begitu tak teraturnya masyarakat eropa pasca runtuhnya kekaisaran romawi (roman empire) pada tahun 410.
Keruntuhan romawi ini mengakibatkan banyak sekali tuan-tuan tanah (landlords) yang mempunyai wilayah memisahkan diri menjadi suatu masyarakat tertentu, yaitu masyarakat feodal dengan feodalisme sebagai pandangan hidupnya. Disini strata masyarakat biasanya terbagi 6 yaitu bangsawan (landlords), ksatria (knights), rahib (clerics), prajurit (troops) cendekiawan (scholars) dan rakyat (people). Abad gelap ini juga sering disebut abad agama (age of faith) dikarenakan katolik yang dilegalkan menjadi agama negara pada tahun 391 sebelum romawi runtuh.Dikatakan abad agama juga karena besarnya peranan rohaniwan dalam negara, termasuk melegalisir para tuan tanah untuk mengeksploitasi rakyatnya, dan anggapan tuan tanah adalah wakil dari tuhan adalah umum dalam masa ini. Gereja membentuk doktrin untuk terus melanggengkan hubungan antara penguasa-rohaniwan ini, misalnya St. Augustine seorang uskup di kota Hippo (sekarang Annaba, Algeria) dalam bukunya City of God (413-426) menyatakan bahwa “seharusnya umat kristiani tidak perlu peduli dengan kejadian di duia tetapi fokus kepada penyelamatan (salvation) dan hidup setelah mati di dalam kota surgawi” (Rosenwain, 2005). Doktrin-doktrin semacamnya juga diberlakukan pada sains, misalnya teori geosentris yang dikemukakan oleh gereja yang ditentang oleh Nicolaus Copernicus dengan teori heliosentrisnya akhirnya berujung pada dianiayanya cendekiawan ini, begitu pula yang terjadi pada Galileo Galilei dengan teori bumi bulatnya. Dalam kemasyarakatan doktrin gereja berhak menentukan ajaran mana yang sesat (heretics) dan ajaran mana yang baik menurut mereka sendiri sehingga kejadian ini menimbulkan banyak sekali protes bagi rakyat sipil dan para cendekiawan. Keadaan ini terus berlanjut hingga abad ke 16.
Pada abad ke 17 dan 18 terjadi abad pencerahan (enlightment age) yang diawali oleh banyaknya pemikir dan cendekiawan yang melihat bahwa alasan terjadinya abad gelap adalah karena campur tangannya agama (katolik) dalam urusan negara, karena mereka memandang justru kemunduran yang sangat besar terjadi pada masa pemerintahan agama ini. Para kaum protestan pun menulis bahwa periode abad gelap adalah periode katolik yang terkorupsi sehingga tidaklah murni lagi. Puncaknya terjadi pada masa renaissance (kelahiran kembali) dimana para pemikiran para cendekiawan dan rakyat biasa melawan kepada tuan tanah dan rahib, karena dinilai selama abad gelap agama dengan hak suci mereka (divine rights) telah menjadi sesuatu yang melegitimasi eksploitasi terhadap mereka oleh tuan tanah, dan menuntut agar agama tidak lagi dihubungkan dengan negara (sekular). Disinilah sekularisme lahir.
Setelah itu, para pemikir kemudian mengganti nilai-nilai serta standar-standar yang ada pada masyarakat agar jangan sampai mengambil kembali agama untuk diterapkan dalam masyarakat. Ide-ide derivat sekularisme inilah yang akhirnya mengejewantah dalam pemikiran yang lain yaitu liberalisme, pluralisme, kapitalisme dan akhirnya demokrasi.
Sama seperti Liberalisme, pemikiran ini pun dibangun atas dasar pemisahan agama dari negara. Para pemikir seperti John Locke (1632-1704)dan Baron de Montesquieu menyerukan hak dasar manusia yaitu “life, liberty and property” sebagai suatu yang sangat diperlukan dalam menciptakan suatu pemerintahan dan hidup yang stabil, sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, raja bukanlah figur suci yang mempunyai hak yang lebih di mata hukum dan lain-lain, serta dan pemikir seperti Voltaire dan Immanuel Kant yang sangat vokal terhadap pengekangan kebebasan atas nama tuhan oleh agama. Inilah yang akhirnya mendasari demokrasi, yaitu sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mereka memilih sendiri pemerintahan mereka, membuat sendiri hukum untuk mereka taati sendiri. Kedua pandangan ini (liberalisme dan demokrasi) oleh Adam Smith dan David Ricardo dituangkan dalam bentuk kebebasan ekonomi dimana keuntungan terbesar akan diperoleh apabila setiap individu dijamin haknya secara penuh oleh pemerintah untuk memiliki sesuatu, tanpa atau dengan campur tangan yang seminimal mungkin dari pemerintah yang saat ini kita kenal dengan sistem ekonomi kapitalisme. Didalam sistem pergaulan nilai-nilai ini akhirnya menyamar menjadi budaya individualisme serta hedonisme. Di dalam sistem politik berubah menjadi opportunisme dan didalam pendidikan menjadi materialisme. Intinya adalah bahwa setiap orang dilahirkan bebas (liberty) dan hanya ia yang berhak menentukan jalan hidupnya tanpa campur tangan atau dipengaruhi orang lain.
Dalam hal kehidupan beragama, pluralisme atau sinkretisme adalah turunan dari sekularisme, dimana pandangan ini menyatakan pluralitas (beragamnya) manusia, pendapat atau agama adalah suatu fakta yang tidak dapat ditawar-tawar lagi sehingga agar tidak menimbulkan konflik dan masalah di dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak boleh ada manipulasi nilai-nilai kebenaran oleh suatu kelompok, agama atau individu manapun. Kebenaran itu relatif dari mana kita memandang. Dengan kata lain semua agama adalah sama.
Walhasil, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya kemunculan sekularisme ini sendiri adalah dikarenakan oleh pemikir dan cendekiawan serta rakyat jelata yang dikecewakan oleh sistem pemerintahan agama (katolik), dan pemikiran derivatnya yaitu liberalisme dan pluralisme, termasuk kapitalisme dan demokrasi adalah produk yang sengaja disiapkan untuk menjadi tameng agar masyarakat eropa tidak lagi terjerumus pada trauma masa lalu, bersatunya negara dan agama.
Berbeda dengan Islam, sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan islam justru tercapai ketika Islam tidak hanya diposisikan sebagai agama ritual tetapi juga sebagai aturan hidup yang mengatur seluruh aspek dalam kehidupan. Menarik bila mengutip pernyataan Michael H. Hart, dalam kata pengantar bukunya yang berjudul 100 Tokoh paling Berpengaruh di Dunia, bahwa dia menempatkan Muhammad Rasulullah saw. menjadi tokoh nomor satu adalah karena Muhammad mempunyai kekuasaan spritual dan politis yang tidak dipisahkan satu sama lain. Sejarah tidak bisa berbohong bahwa abad keemasan umat muslim (Islamic golden age) pada saat kekhilafahan abbasiyyah dan awal kekhilafahan utsmaniyyah (750 M – 1500 M) telah menyatukan lebih dari 1/3 dunia, kekuasaan membentang dari sebagian eropa (andalusia/spanyol) hingga dataran balkan yang kekuatan laut maupun daratnya ditakuti di dunia. Juga tertulis dengan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia karya besar pemikir dan saintis muslim seperti al-Khawarizmi dengan teori matematikanya, al-Kindi dengan pemikirannya, Ibnu Sina dengan ilmu kedokteran dan kesusasteraannya yang telah menulis Asas Pengobatan (Canons of Medicine) serta ilmu optik, Ibnu Khaldun dengan sejarahnya dan Ibnu Rusyd dengan fikihnya. Pada pendidikan pun tak kalah hebatnya Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 5 juta rupiah dengan kurs sekarang). Atau pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dimana tidaka ada warga negara yang miskin sehingga zakat bagi orang miskin tidak dibagikan.
Semua gambaran tersebut adalah fakta yang terjadi ketika Islam dan kehidupan tidak dipisahkan. Ini karena Islam adalah sebuah sistem hidup, sebuah ideologi yang tidak bisa diterapkan secara sebagian. Ia juga tidak bisa dicangkokkan dengan ideologi lain semacam sekularisme dan sosialisme, dikarenakan Islam adalah metode hidup yang khas. Dan untuk menerapkan Islam yang kaaffah maka sesungguhnya diperlukan suatu institusi yang harus ada untuk menjamin terlaksananya semua aturan-aturan Islam, institusi inipun haruslah khas yang terpancar dari Islam, tidak yang lain, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah.
Oleh karena itu, sebagai seorang yang berusaha untuk melaksanakan semua aturan yang telah dibebankan oleh Allah SWT kepada kita, hendaknya kita tidak mengambil pandangan-pandangan yang tidak berasal dari Islam maupun memperjuangkannya, apalagi pandangan itu telah terbukti mudharatnya bagi kehidupan kita, agar kita dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kita di akhirat nanti
Barangsiapa mencari agama (diin) selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi(TQS ali-Imran [3]: 85)
Aturan-aturan Islam dalam masalah publik (negara) sejatinya justru harus dikembalikan lagi kepada umat muslim, semua muslim di dunia ini harus faham bahwa sesunggunya akar permasalahan yang menyebabkan bangkitnya barat dan terpuruknya Islam adalah satu: sekular (memisahkan agama dari negara).
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maaidah [5]: 50)
Akhirul kalam, kita harus benar-benar waspada terhadap pemikiran orang-orang yang bertujuan ingin menjauhkan kita dari Islam, sunnah rasul-Nya dan aturan-aturan (syari’at-Nya), meskipun terkadang penganut sekularisme ini ”kelihatan” berdalil ataupun rasional, namun akhirnya kita diajak untuk mengikuti kepada nilai-nilai kufur. Semoga Allah SWT melindungi kita dari hal-hal yang seperti itu.
wallahua’lam bi ash-shawab
akhukum @felixsiauw
Share:

Total Pageviews