MOTIVASI HIDUP ISLAM

Visit Namina Blog

Monday 19 June 2017

Adab-Adab Membaca al-Qur’an

Adab-Adab Membaca al-Qur’an
Selasa, 12 Juli 05

Mukaddimah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang memiliki kedudukan tersendiri di hati setiap Muslim. Ia merupakan kalamullah dan sebagai sumber hukum pertama bagi umat Islam.

Sebagai sebuah kitab suci yang memiliki keistimewaan, tentu patutlah bagi seorang Muslim untuk memuliakan dan menghormatinya, termasuk dalam sikap kita ketika ingin membacanya.
Nah, apakah adab-adabnya? Silahkan menyimak!!

Banyak sekali adab-adab yang harus diperhatikan ketika membaca al-Qur’an, di antaranya:

1. Ikhlash atau menuluskan niat karena Allah semata. Ini merupakan adab yang paling penting di mana suatu amal selalu terkait dengan niat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya semua amalan itu tergantung niat-niatnya dan setiap orang tergantung pada apa yang diniatkannya…” (HR.al-Bukhari, kitab Bad’ul Wahyi, Jld.I, hal.9)

Karena itu, wajib mengikhlashkan niat dan memperbaiki tujuan serta menjadikan hafalan dan perhatian terhadap al-Qur’an demi-Nya, menggapai surga-Nya dan mendapat ridla-Nya.

Siapa saja yang menghafal al-Qur’an atau membacanya karena riya’, maka ia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa.
Nabi SAW bersabda, “Tiga orang yang pertama kali menjalani penyidangan pada hari Kiamat nanti…[Rasulullah SAW kemudian menyebutkan di antaranya]…dan seorang laki-laki yang belajar ilmu lalu mengajarkannya, membaca al-Qur’an lalu ia dibawa menghadap, lalu Allah mengenalkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, maka ia pun mengetahuinya, lalu Dia SWT berkata, ‘Untuk apa kamu amalkan itu.?” Ia menjawab, ‘Aku belajar ilmu untuk-Mu, mengajarkannya dan membaca al-Qur’an.’ Lalu Allah berkata, ‘Kamu telah berbohong akan tetapi hal itu karena ingin dikatakan, ‘ia seorang Qari (pembaca ayat al-Qur’an).’ Dan memang ia dikatakan demikian. Kemudian ia dibawa lalu wajahnya ditarik hingga dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR.Muslim, Jld.VI, hal.47)

Manakala seorang Muslim menghafal dan membaca al-Qur’an semata karena mengharapkan keridlaan Allah, maka ia akan merasakan kebahagian yang tidak dapat ditandingi oleh kebahagiaan apa pun di dunia.

2. Menghadirkan hati (konsentrasi penuh) ketika membaca dan berupaya menghalau bisikan-bisikan syetan dan kata hati, tidak sibuk dengan memain-mainkan tangan, menoleh ke kanan dan ke kiri dan menyibukkan pandangan dengan selain al-Qur’an.

3. Mentadabburi (merenungi) dan memahami apa yang dibaca, merasakan bahwa setiap pesan di dalam al-Qur’an itu ditujukan kepadanya dan merenungi makna-makna Asma Allah dan sifat-Nya.

4. Tersentuh dengan bacaan. Imam as-Suyuthi RAH berkata, “Dianjurkan menangis ketika membaca al-Qur’an dan berupaya untuk menangis bagi yang tidak mampu (melakukan yang pertama-red.,), merasa sedih dan khusyu’.” (al-Itqan, Jld.I, hal.302)

5. Bersuci. Maksudnya dari hadats besar, yaitu jinabah dan haidh atau nifas bagi wanita.
Al-Qur’an merupakan zikir paling utama. Ia adalah kalam Rabb Ta’ala. Karena itu, di antara adab membacanya, si pembaca harus suci dari hadats besar dan kecil. Ia dianjurkan untuk berwudhu sebelum membaca. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (Shahih al-Jaami’, no.7657)

Perlu diketahui, bahwa seseorang boleh membaca al-Qur’an asalkan tidak sedang berhadats besar, demikian pula disunnahkan baginya untuk mencuci mulut (menggosok gigi-red.,) dengan siwak sebab ia membersihkan mulut sedangkan mulut merupakan ‘jalan’ al-Qur’an.

6. Sebaiknya, ketika membaca al-Qur’an, menghadap Qiblat sebab ia merupakan arah yang paling mulia, apalagi sedang berada di masjid atau di rumah. Tetapi bila tidak memungkinkan, baik karena ia berada di kios, mobil atau sedang bekerja, maka tidak apa membaca al-Qur’an sakali pun tidak menghadap Qiblat.

7. Disunnahkan bagi seseorang untuk ber-ta’awwudz (berlindung) kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila kamu membaca al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (an-Nahl:98)

8. Memperindah suaranya ketika membaca al-Qur’an sedapat mungkin. Rasulullah SAW bersabda, “Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara kamu sebab suara yang bagus membuatnya bertambah bagus.” (dinilai shahih oleh al-Albani, Shahih al-Jaami’, no.358)

“Disunnahkan memperbagus dan menghiasi suara dengan al-Qur’an… Terdapat banyak hadits yang shahih mengenai hal itu. Jika seseorang suaranya tidak bagus, maka ia boleh memperbagus semampunya asalkan jangan keluar hingga seperti karet (dilakukan secara tidak semestinya dan menyalahi kaidah tajwid-red.,).” (al-Itqaan, Jld.I, hal.302)

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak bersenandung dengan al-Qur’an (melantunkannya dengan bagus).” (Shahih al-Bukhari, Jld.XIII, hal.501, bab at-Tauhid, no.7527)
Hendaknya pembaca al-Qur’an membaca sesuai dengan karakternya, tidak menyusah-nyusahkan diri (dibuat-buat) dengan cara menaklid salah seorang Qari atau dengan intonasi-intonasi tertentu sebab hal itu dapat menyibukkan dirinya dari mentadabburi dan memahaminya serta menjadikan seluruh keinginannya hanya pada mengikuti orang lain (taqlid) saja.

9. Membaca dengan menggunakan mushaf. Hal ini dikatakan oleh as-Suyuthi, “Membaca dengan menggunakan mushaf lebih baik dari pada membaca dari hafalan sebab melihatnya merupakan suatu ibadah yang dituntut.” (al-Itqaan, Jld.I, hal.304)

Hanya saja, Imam an-Nawawi dalam hal ini melihat dari aspek kekhusyu’an; bila membaca dengan menggunakan mushaf dapat menambah kekhusyu’an si pembaca, maka itu lebih baik. Demikian pula, bila bagi seseorang yang tingkat kekhusyu’an dan tadabburnya sama dalam kondisi membaca dan menghafal; ia boleh memilih membaca dari hafalan bila hal itu menambah kekhusyu’annya.

Di antara hal yang perlu diperhatikan di sini, hendaknya seorang pembaca, khususnya bagi siapa saja yang ingin menghafal, untuk memilih satu jenis cetakan saja sehingga hafalannya lebih kuat dan mantap.

Demikian pula, hendaknya ia menghormati mushaf dan tidak meletakkannya di tanah/lantai, tidak pula dengan cara melempar kepada pemiliknya bila ingin memberinya. Tidak boleh menyentuhnya kecuali ia seorang yang suci.

10. Membaca di tempat yang layak (kondusif) seperti di masjid sebab ia merupakan tempat paling afdhal di muka bumi, atau di satu tempat di rumah yang jauh dari penghalang, kesibukan dan suara-suara yang dapat mengganggu untuk melakukan tadabbur dan memahaminya. Karena itu, ia tidak seharusnya membacakan al-Qur’an di komunitas yang tidak menghormati al-Qur’an.

(SUMBER: Silsilah Manaahij Dauraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah –fi’ah an-Naasyi’ah- al-Hadits karya Dr Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil, hal.21-25)

Share:

Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-12 (Tafsir FATHUL QADIR, IMAM ASY-SYAWKANI)

Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-12 (Tafsir FATHUL QADIR, IMAM ASY-SYAWKANI)
Senin, 03 Oktober 05

Nama Mufassir

Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syawkani, ash-Shan’ani, al-Qadhi.

Nama Kitab

Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir.

’Aqidahnya

Ia memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf. Di dalam kitabnya ini, ia mencela habis-habisan ahli kalam (kaum teolog) dan cara mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash-nash al-Qur’an dan Hadits serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya terhadap madzhab Salaf tampak dari penafsirannya terhadap firman Allah, Laysa Kamitslihi Syai-un. Di antara yang ia katakan, bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (memisalkan segala sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat Allah) dan menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik manusia) ketika Allah menyifati diri-Nya dengan mendengar, melihat dan ketika menyebut sifat mendengar, melihat, tangan, istiwa’ dan lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut tetapi tidak dengan cara Mumaatsalah atau pun Musyabahah (menyerupai) dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif; yang berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam menetapkan sifat tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’ dan yang sangat berlebihan dalam menafikannya sehingga menyebabkan timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan sifat tersebut, membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang Maha Tahu sebab Dia lah yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un, Wa Huwas Samii’ul Bashiir”

Imam asy-Syawkani juga telah menetapkan sifat istiwa’ berdasarkan madzhab Salaf.

Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih disebabkan faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama lainnya.

Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, ia membantah pendapat az-Zamakhsyari, tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan ahlussunnah wal jama’ah.

Spesifikasi Umum

Dalam permulaan tafsirnya, pengarang (asy-Syawkani) menyebutkan bahwa biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit banyak. Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”

Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari kitab-kitab tafsir…”

Kitab tafsir asy-Syawkani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta.

Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.

Sikapnya Terhadap Sanad

Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam kitab tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadits yang lemah sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadits lain yang bisa menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan hadits yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir, as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya. Rasanya sangat jauh (tidak mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadits lalu tidak menjelaskannya.! Dan tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab bisa jadi mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya juga. Inilah yang menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab andai kata mereka mengungkapkan hal itu lalu keshahihannya valid menurut mereka, maka tidak mungkin mereka membiarkannya tanpa penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka; menjelaskan keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir mereka, maka hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya tersebut agar mendapatkan taufiq atas hal itu, insya Allah….”

Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang disinggungnya dan menjelaskan kondisinya.

Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap beliau, di antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di dalam beberapa tempat namun tidak mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak sekali menukil dari kitab ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

Beliau menyinggung madzhab ulama fiqih, baik empat imam madzhab atau pun ulama selain mereka, perbedaan pendapat serta dalil-dalil mereka. Beliau menguatkan salah satunya dan mengambil kesimpulan hukum darinya.

Pantaslah beliau sebagai seorang imam yang mumpuni ilmunya, mujtahid dalam fiqih. Banyak karya-karya tulis yang beliau telorkan, seperti kitab yang sangat terkenal lainnya, Naylul Awthaar Syarhu Muntaqal Akhyaar; as-Saylul Jiraar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaa’iqil Azhaar; ad-Durar al-Bahiyyah berikut syarahnya, dan kitab-kitab lainnya.

Sikapnya Terhadap Qiraa`aat

Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ (tujuh bacaan) dan mengarahkan yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang didasarkan pada riwayat Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan qiraa’aat yang janggal.

Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat

Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi terkadang menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.

Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil keputusannya dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad, Abu ‘Ubaidah, al-Farra’, Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.

Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat) dari sisi Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi dengan mengetengahkan sya’ir-sya’ir.

CATATAN

Mengenai biografi Imam asy-Syawkani, lihat: al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran karya Dr.Muhammad Hasan al-Ghumari.

SUMBER:
al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.50-53.

Share:

Apa Itu Israiliyat??

Apa Itu Israiliyat??
Senin, 14 Nopember 05

Israiliyat adalah berita-berita yang diambil dari Bani Israil, Yahudi (kebanyakannya) atau dari kalangan orang-orang Nashrani.

Berita-berita ini terbagi menjadi 3 kategori:

Pertama, Berita Yang Diakui Islam Dan Dibenarkannya (Ini adalah haq)

Contohnya, seperti yang diriwayatkan al-Bukhari dan periwayat selainnya, dari Ibn Mas’ud RA, ia berkata, “Seorang rabi Yahudi datang menemui Nabi SAW seraya berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menemukan bahwa Allah SWT menjadikan seluruh langit di atas satu jari, seluruh bumi di atas satu jari, pepohonan di atas satu jari, air dan tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, lalu Dia berfirman, ‘Akulah al-Malik (Raja Diraja).’ Rasulullah SAW tertawa mendengar hal itu hingga tampak gigi taringnya membenarkan ucapan sang rabi tersebut, kemudian beliau membaca ayat, “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS.az-Zumar:67)

Kedua, Berita Yang Diingkari Islam Dan Didustakannya (Ini adalah bathil)

Contohnya, seperti yang diriwayatkan al-Bukhari, dari Jabir RA, ia berkata, “Orang-orang Yahudi mengatakan, ‘bila suami menyetubuhi isterinya dari arah belakang, maka anaknya akan lahir bermata juling.’ Lalu turunlah firman Allah SWT, “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS.al-Baqarah:223)

Ketiga, Berita Yang Tidak Diakui Islam dan Tidak Pula Diingkarinya (Ini wajib untuk berhenti membicarakannya)

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Ahli Kitab biasanya membaca taurat dengan bahasa Ibrani lalu menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat Islam. Maka Rasulullah SAW berkata, ‘Janganlah kalian benarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya tapi katakanlah (firman Allah SWT), ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.’” (QS.al-‘Ankabut:46)

Tetapi berbicara mengenai jenis ini dibolehkan bila tidak khawatir membuahkan larangan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku, sekali pun satu ayat, dan berbicaralah mengenai Bani Israil sesukamu. Barangsiapa yang mendustakanku secara sengaja, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.al-Bukhari)

Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari mereka tersebut tidak banyak manfa’atnya bagi kepentingan agama seperti penentuan apa warna anjing Ashaabul Kahfi dan sebagainya.

Ada pun bertanya kepada ahli kitab mengenai sesuatu dari ajaran agama kita, maka hal itu haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdullah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian tanyakan kepada ahli kitab mengenai sesuatu pun sebab mereka tidak bisa memberi hidayah kepada kalian sementara mereka sendiri telah sesat. Jika kalian lakukan itu, berarti (antara dua kemungkinan-red.,) kalian telah membenarkan kebatilan atau mendustakan kebenaran. Sesungguhnya, andaikata Musa masih hidup di tengah kalian, pastilah ia akan mengikutiku.’”

Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA, bahwasanya ia berkata, “Wahai kaum muslimin, bagaimana mungkin kalian bertanya kepada ahli kitab padahal kitab yang Allah turunkan kepada nabi kalian itu adalah semata-mata informasi paling baru mengenai Allah yang tidak pernah lekang. Allah telah menceritakan kepada kalian bahwa ahli kitab telah mengganti kitabullah dan merubahnya lalu menulisnya dengan tangan mereka sendiri. Lalu mereka mengatakan, ‘Ia berasal dari Allah agar mereka membeli dengannya harga yang sedikit. Tidakkah melalui ilmu yang dibawa-Nya, Dia melarang kalian untuk bertanya kepada mereka (ahli kitab)? Demi Allah, kami sama sekali tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian mengenai apa yang telah diturunkan kepada kalian.”

Sikap Ulama Terhadap Israiliyat

Para ulama, khususnya ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sikap terhadap Israiliyat ini:

1. Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dengan dirangkai dengan sanad-sanadnya. Pendapat ini berpandangan bahwa dengan menyebut sanadnya, berarti ia telah berlepas diri dari tanggung jawab atasnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir ath-Thabari.

2. Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dan biasanya menanggalkan sama sekali sanad-sanadnya. Ini seperti pencari kayu bakar di malam hari. Cara seperti ini dilakukan al-Baghawi di dalam tafsirnya yang dinilai oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah sebagai ringkasan dari tafsir ats-Tsa’alabi. Hanya saja, al-Baghawi memproteksinya dari dimuatnya hadits-hadits palsu dan pendapat-pendapat yang dibuat-buat. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menyebut ats-Tsa’alabi sebagai seorang pencari kayu bakar di malam hari di mana ia menukil apa saja yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir baik yang shahih, dha’if mau pun yang mawdhu’ (palsu).

3. Di antaranya mereka ada yang banyak sekali menyinggungnya dan mengomentari sebagiannya dengan menyebut kelemahannya atau mengingkarinya seperti yang dilakukan Ibn Katsir.

4. Di antara mereka ada yang berlebih-lebihan di dalam menolaknya dan tidak menyebut sesuatu pun darinya sebagai tafsir al-Qur’an seperti yang dilakukan Muhammad Rasyid Ridha.


(SUMBER: Ushuul Fit Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.53-55)

Share:

Urgensi Kisah Dalam al-Qur’an

Urgensi Kisah Dalam al-Qur’an
Selasa, 17 Januari 06

Mukaddimah

Membaca cerita atau kisah tentulah sangat mengasyikkan dan dapat menghilangkan rasa jenuh pembaca. Bilamana isinya otentik, valid, benar dan tidak direkayasa tentulah lebih mengasyikkan lagi. Al-Qur’an pun menggunakan metode ini dalam menggugah hati.
Nah, apa sebenarnya urgensi dari pemuatan kisah tersebut? Apa hikmahnya? Silahkan baca ulasan lengkapnya!

Definisi

Secara bahasa kata al-Qashash dan al-Qushsh maknanya mengikuti atsar (jejak/bekas). Sedangkan secara istilah maknanya adalah informasi mengenai suatu kejadian/perkara yang berperiodik di mana satu sama lainnya saling sambung-menyambung (berangkai).

Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan kisah paling benar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT, “Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.?” (QS.an-Nisa’/4:87). Hal ini, karena kesesuaiannya dengan realitas sangatlah sempurna.

Kisah al-Qur’an juga merupakan sebaik-baik kisah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT, “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu.” (QS.Yusuf/12:3). Hal ini, karena ia mencakup tingkatan kesempurnaan paling tinggi dalam capaian balaghah dan keagungan maknanya.

Kisah al-Qur’an juga merupakan kisah paling bermanfa’at sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS.Yusuf/12:111). Hal ini, karena pengaruhnya terhadap perbaikan hati, perbuatan dan akhlaq amat kuat.

Jenis-Jenis Kisah

Kisah al-Qur’an terbagi menjadi 3 jenis:

1. Kisah mengenai para nabi dan Rasul serta hal-hal yang terjadi antara mereka dan orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir.

2. Kisah mengenai individu-individu dan golongan-golongan tertentu yang mengandung pelajaran. Karenanya, Allah mengisahkan mereka seperti kisah Maryam, Luqman, orang yang melewati suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya (seperti tertera dalam surat al-Baqarah/2:259-red), Dzulqarnain, Qarun, Ash-habul Kahf, Ash-habul Fiil, Ash-habul Ukhdud dan lain sebagainya.

3. Kisah mengenai kejadian-kejadian dan kaum-kaum pada masa Nabi Muhammad SAW seperti kisah perang Badar, Uhud, Ahzab (Khandaq), Bani Quraizhah, Bani an-Nadhir, Zaid bin Haritsah, Abu Lahab dan sebagainya.

Beberapa Hikmah Penampilan Kisah

Hikmah yang dapat dipetik banyak sekali, di antaranya:

a. Penjelasan mengenai hikmah Allah SWT dalam kandungan kisah-kisah tersebut, sebagaimana firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmat yang sempurna, maka peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi mereka).” (al-Qamar/54:4-5)

b. Penjelasan keadilan Allah SWT melalui hukuman-Nya terhadap orang-orang yang mendustakan-Nya. Dalam hal ini, firman-Nya mengenai orang-orang yang mendustakan itu, “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfa’at sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan.” (QS. hud/11:101)

c. Penjelasan mengenai karunia-Nya berupa diberikannya pahala kepada orang-orang beriman. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing.” (QS. Al-qamar/54:34)

d. Hiburan bagi Nabi SAW atas sikap yang dilakukan orang-orang yang mendustakannya terhadapnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zubur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku azab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Kuu.” (QS.fathir/35:25-26)

e. Sugesti bagi kaum Mukminin dalam hal keimanan di mana dituntut agar tegar di atasnya bahkan menambah frekuensinya sebab mereka mengetahui bagaimana kaum Mukminin terdahulu selamat dan bagaimana mereka menang saat diperintahkan berjihad. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Maka Kami telah memperkenankan doanya dari menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikian itulah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS.al-Anbiya’/21:88) Dan firman-Nya yang lain, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS.ar-Rum/30:47)

f. Peringatan kepada orang-orang kafir akan akibat terus menerusnya mereka dalam kekufuran. Hal ini sebagaimana firman-Nyma, “Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereak dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS.muhammad/47:10)

g. Menetapkan risalah Nabi Muhammad SAW, sebab berita-berita tentang umat-umat terdahulu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang ghaib yang Kmai wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (QS.Hud/11:49) Dan firman-Nya, “”Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (Ibrahim/14:9)

Apa Faedah Pengulangan Kisah?

Ada di antara kisah-kisah al-Qur’an yang hanya disebutkan satu kali saja seperti kisah Luqman dan Ash-habul Kahf. Ada pula yang disebutkan berulang kali sesuai dengan kebutuhan dan mashlahat. Pengulangan ini pun tidak dalam satu aspek, tetapi berbeda dari aspek panjang dan pendek, lembut dan keras serta penyebutan sebagian aspek lain dari kisah itu di satu tempat namun tidak disebutkan di tempat lainnya.

Hikmah Pengulangan Kisah

Di antara hikmah pengulangan kisah ini adalah:

- Penjelasan betapa urgennya kisah sebab dengan pengulangannya menunjukkan adanya perhatian penuh terhadapnya.

- Menguatkan kisah itu sehingga tertanam kokoh di hati semua manusia
- Memperhatikan masa dan kondisi orang-orang yang diajak bicara. Karena itu, anda sering mendapatkan kisahnya begitu singkat dan biasanya keras bila berkenaan dengan kisah-kisah dalam surat-surat Makkiyyah, namun hal sebaliknya terjadi pada kisah-kisah dalam surat-surat Madaniyyah

- Penjelasan sisi balaghah al-Qur’an dalam pemunculan kisah-kisah tersebut dari sisi yang satu atau dari sisi yang lainnya sesuai dengan tuntutan kondisi

- Nampak terangnya kebenaran al-Qur’an dan bahwa ia berasal dari Allah SWT dimana sekali pun kisah-kisah tersebut dimuat dalam beragam jenis namun tidak satu pun terjadi kontradiksi.

(SUMBER: Ushuul Fi at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.48-51)

Share:

Pengertian al-Qur'an

Pengertian al-Qur'an
Jumat, 24 Maret 06

Secara Bahasa (Etimologi)

Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (ÞÑÃ) yang bermakna Talaa (ÊáÇ) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan (ÞÑà ÞÑÁÇ æÞÑÂäÇ) sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan (ÛÝÑ ÛÝÑÇ æÛÝÑÇäÇ). Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*

Secara Syari’at (Terminologi)

Adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad SAW, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)

Allah SWT telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia SWT telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesunggunya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)

Oleh karena itu, selama berabad-abad telah berlangsung namun tidak satu pun musuh-musuh Allah yang berupaya untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan membuka kedoknya.

Allah SWT menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya.

Allah SWT berfirman, “Dan sesunguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung.” (al-Hijr:87)

Dan firman-Nya, “Qaaf, Demi al-Quran yang sangat mulia.” (Qaaf:1)

Dan firman-Nya, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad:29)

Dan firman-Nya, “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka iktuilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (al-An’am:155)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.” (al-Waqi’ah:77)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan ) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang menjajakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang benar.” (al-Isra’:9)

Dan firman-Nya, “Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu kaan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-Hasyr:21)

Dan firman-Nya, “Dan apabila diturunkan suatu surat, mka di antara mereak (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini.? ‘ Adapun orang-orang yang berimana, maka surat ini menambah imannya sedang mereka merasa gembira # Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (at-Taubah:124-125)

Dan firman-Nya, “Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)…” (al-An’am:19)

Dan firman-Nya, “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang benar.” (al-Furqan:52)

Dan firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl:89)

Dan firman-Nya, “Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian* terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan…” (al-Maa’idah:48)

Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber syari’at Islam yang karenanya Muhammad SAW diutus kepada seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman,

Dan firman-Nya, “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).” (al-Furqaan:1)

Sedangkan Sunnah Nabi SAW juga merupakan sumber Tasyri’ (legislasi hukum Islam) sebagaimana yang dikukuhkan oleh al-Qur’an. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (an-Nisa’:80)

Dan firman-Nya, “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab:36)

Dan firman-Nya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” (al-Hasyr:7)

Dan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran:31)


CATATAN KAKI:

* Maksudnya, al-Qur’an adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab yang sebelumnya. (al-Qur’an dan terjemahannya, DEPAG RI)

(SUMBER: Ushuul Fii at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin, hal.9-11)

Share:

Total Pageviews