MOTIVASI HIDUP ISLAM

Visit Namina Blog

Monday, 7 September 2015

Hukum Menghadiahkan al-Fatihah

Hukum Menghadiahkan al-Fatihah

Apa hukum menghadiahkan bacaan al-Fatihah kepada mayit? Apakah pahalanya sampai?
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita perlu memahami bahwa ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba, ibadah dibagi menjadi 3,
Pertama, ibadah murni badaniyah, itulah semua ibadah yang modal utamanya gerakan fisik.
Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca al-Quran, dst.
Kedua, ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang pengorbanan utamanya harta.
Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.
Ketiga, ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara ibadah fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah.
Ulama sepakat bahwa semua ibadah yang bisa diwakilkan, seperti ibadah maliyah atau yang dominan maliyah, seperti sedekah, atau haji, atau ibadah yang ditegaskan bisa diwakilkan, seperti puasa, maka semua bisa dihadiahkan kepada mayit.
Imam Zakariya al-Anshari mengatakan,
وينفعه أي الميت من وارث وغيره صدقة ودعاء، بالإجماع وغيره
Sedekah atau doa baik dari ahli waris maupun yang lainnya, bisa bermanfaat bagi mayit dengan sepakat ulama. (Fathul Wahhab, 2/31).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,
أما الدعاء والاستغفار والصدقة وقضاء الدين وأداء الواجبات فلا نعلم فيه خلافاً إذا كانت الواجبات مما يدخله النيابة
Doa, istighfar, sedekah, melunasi utang, menunaikan kewajiban (yang belum terlaksana), bisa sampai kepada mayit. Kami tidak tahu adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, apabila kewajiban itu bisa diwakilkan. (as-Syarhul Kabir, 2/425).
Sementara itu, ulama berbeda pendapat untuk hukum mengirim pahala ibadah yang tidak bisa diwakilkan kepada mayit, seperti bacaan al-Quran. Kita akan sebutkan secara ringkas,
Pertama, madzhab hanafi
Ulama hanafiyah menegaskan bahwa mengirim pahala bacaan al-Quran kepada mayit hukum dibolehkan. Pahalanya sampai kepada mayit, dan bisa bermanfaat bagi mayit. Dalam
Imam Ibnu Abil Izz – ulama Hanafiyah – menuliskan,
إن الثواب حق العامل، فإذا وهبه لأخيه المسلم لم يمنع من ذلك، كما لم يمنع من هبة ماله له في حياته، وإبرائه له منه بعد وفاته. وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصوم على وصول ثواب القراءة ونحوها من العبادات البدنية
Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang beramal. Ketika dia hibahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak jadi masalah. Sebagaimana dia boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain ketika masih hidup. Atau membebaskan tanggungan temannya muslim, yang telah meninggal.
Syariat telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit, yang itu mengisyaratkan sampainya pahala bacaan al-Quran, atau ibadah badaniyah lainnya. (Syarh Aqidah Thahawiyah, 1/300).
Kedua, madzhab Malikiyah
Imam Malik menegaskan, bahwa menghadiahkan pahala amal kepada mayit hukumnya dilarang dan pahalanya tidak sampai, dan tidak bermanfaat bagi mayit. Sementara sebagian ulama malikiyah membolehkan dan pahalanya bisa bermanfaat bagi mayit.
Dalam Minah al-Jalil, al-Qarrafi membagi ibadah menjadi tiga,
  1. Ibadah yang pahala dan manfaatnya dibatasi oleh Allah, hanya berlaku untuk pemiliknya. Dan Allah tidak menjadikannya bisa dipindahkan atau dihadiahkan kepada orang lain. Seperti iman, atau tauhid.
  2. Ibadah yang disepakati ulama, pahalanya bisa dipindahkan dan dihadiahkan kepada orang lain, seperti ibadah maliyah.
  3. Ibadah yang diperselisihkan ulama, apakah pahalanya bisa dihadiahkan kepada mayit ataukan tidak? Seperti bacaa al-Quran. Imam Malik dan Imam Syafii melarangnya. (Minan al-Jalil, 1/509).
Selanjutnya al-Qarrafi menyebutkan dirinya lebih menguatkan pendapat yang membolehkan. Beliau menyatakan,
فينبغي للإنسان أن لا يتركه، فلعل الحق هو الوصول، فإنه مغيب
Selayaknya orang tidak meninggalkannya. Bisa jadi yang benar, pahala itu sampai. Karena ini masalah ghaib. (Minan al-Jalil, 7/499).
Ada juga ulama malikiyah yang berpendapat bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran  tidak sampai kepada mayit. Hanya saja, ketika yang hidup membaca al-Quran di dekat mayit atau di kuburan, maka mayit  mendapatkan pahala mendengarkan bacaan al-Quran. Namun pendapat ini ditolak al-Qarrafi karena mayit tidak bisa lagi beramal. Karena kesempatan beramal telah putus (Inqitha’ at-Taklif).  (Minan al-Jalil, 1/510).
Ketiga, Pendapat Syafiiyah
Pendapat yang masyhur dari Imam as-Syafii bahwa beliau melarang menghadiahkan bacaan al-Quran kepada mayit dan itu tidak sampai.
An-Nawawi mengatakan,
وأما قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي، أنه لا يصل ثوابها إلى الميت، وقال بعض أصحابه: يصل ثوابها إلى الميت
Untuk bacaan al-Quran, pendapat yang masyhur dalam madzhab as-Syafii, bahw aitu tidak sampai pahalanya kepada mayit. Sementara sebagian ulama syafiiyah mengatakan, pahalanya sampai kepada mayit. (Syarh Shahih Muslim, 1/90).
Salah satu ulama syafiiyah yang sangat tegas menyatakan bahwa itu tidak sampai adalah al-Hafidz Ibnu Katsir, penulis kitab tafsir.
Ketika menafsirkan firman Allah di surat an-Najm,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan.” (an-Najm: 39).
Kata Ibnu Katsir,
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
“Dari ayat ini, Imam as-Syafii – rahimahullah – dan ulama yang mengikuti beliau menyimpulkan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit. Karena itu bukan bagian dari amal mayit maupun hasil kerja mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/465).
Selanjutnya, Ibnu Katsir menyebutkan beberapa dalil dan alasan yang mendukung pendapatnya.
Keempat, Pendapat Hambali
Dalam madzhab hambali, ada dua pendapat. Sebagian ulama hambali membolehkan dan sebagian melarang, sebagaimana yanng terjadi pada madzhan Malikiyah. Ada 3 pendapat ulama madzhab hambali dalam hal ini,
  1. Boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit dan itu bisa bermanfaat bagi mayit. Ini pendapat yang mayhur dari Imam Ahmad.
  2. Tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit, meskipun jika ada orang yang mengirim pahala, itu bisa sampai dan bermanfaat bagi mayit. Al-Buhuti menyebut, ini pendapat mayoritas hambali.
  3. Pahala tetap menjadi milik pembaca (yang hidup), hanya saja, rahmat bisa sampai ke mayit.
Al-Buhuti mengatakan,
وقال الأكثر لا يصل إلى الميت ثواب القراءة وإن ذلك لفاعله
Mayoritas hambali mengatakan, pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit, dan itu milik orang yang beramal. (Kasyaf al-Qana’, 2/147).
Sementara Ibnu Qudamah mengatakan,
وأي قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك
Ibadah apapun yang dikerjakan dan pahalanya dihadiahkan untuk mayit yang muslim, maka dia bisa mendapatkan manfaatnya. (as-Syarhul Kabir, 2/425).
Ibnu Qudamah juga menyebutkan pendapat ketiga dalam madzhab hambali,
وقال بعضهم إذا قرئ القرآن عند الميت أو اهدي إليه ثوابه كان الثواب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها فترجى له الرحمة
Ada sebagian ulama hambali mengatakan, jika seseorang membaca al-Quran di dekat mayit, atau menghadiahkan pahala untuknya, maka pahala tetap menjadi milik yang membaca, sementara posisi mayit seperti orang yang hadir di tempat bacaan al-Quran. Sehingga diharapkan dia mendapat rahmat. (as-Syarhul Kabir, 2/426).
Menimbang Pendapat
Seperti yang disampaikan al-Qarrafi, bahwa kajian masalah ini termasuk pembahasan masalah ghaib. Tidak ada yang tahu sampainya pahala itu kepada mayit, selain Allah. Kecuali untuk amal yang ditegaskan dalam dalil, bahwa itu bisa sampai kepada mayit, seperti doa, permohonan ampunan, sedekah, bayar utang zakat, atau utang sesama mannusia, haji, dan puasa.
Sementara bacaan al-Quran, tidak ada dalil tegas tentang itu. Ulama yang membolehkan mengirimkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit mengqiyaskan (analogi) bacaan al-Quran dengan puasa dan haji. Sehingga kita berharap pahala itu sampai, sebagaimana pahala puasa bisa sampai.
Sementara ulama yang melarang beralasan, itu ghaib dan tidak ada dalil. Jika itu bisa sampai, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat akan sibuk mengirim pahala bacaan al-Quran untuk keluaganya yang telah meninggal dunia.
Beberapa keluarga tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Khadijah, Hamzah, Zainab bintu Khuzaimah (istri beliau), semua putra beliau, Qosim, Ibrahim, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Zainab, mereka meninggal sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tidak dijumpai riwayat, beliau menghadiahkan pahala bacaan al-Quran untuk mereka.
Saran
Melihat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah menghadiahkan pahala amal badaniyah kepada mayit, kita bisa menegaskan bahwa masalah ini termasuk masalah ikhtilaf ijtihadiyah fiqhiyah, dan bukan masalah aqidah manhajiyah (prinsip beragama). Sehingga berlaku kaidah, siapa yang ijtihadnya benar maka dia mendapatkan dua pahala dan siapa yang ijtihadnya salah, mendapat satu pahala.
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”. (HR. Bukhari 7352 & Muslim 4584)
Kaitannya dengan ini, ada satu sikap yang perlu kita bangun, ketika kita bersinggungan dengan masalah yang termasuk dalam ranah ijtihadiyah fiqhiyah, yaitu mengedepankan sikap dewasa, toleransi dan tidak menjatuhkan vonis kesesatan. Baik yang berpendapat boleh maupun yang berpendapat melarang.
Masing-masing boleh menyampaikan pendapatnya berdasarkan alasan dan dalil yang mendukungnya. Sekaligus mengkritik pendapat yang tidak sesuai dengannya. Sampai batas ini dibolehkan.
Dan perlu dibedakan antara mengkritik dengan menilai sesat orang yang lain pendapat. Dalam masalah ijtihadiyah, mengkritik atau mengkritisi pendapat orang lain yang beda, selama dalam koridor ilmiyah, diperbolehkan. Kita bisa lihat bagaiamana ulama yang menyampaikan pendapatnya, beliau sekaligus mengkritik pendapat lain. Namun tidak sampai menyesatkan tokoh yang pendapatnya berbeda dengannya.
Terkadang, orang yang kurang dewasa, tidak siap dikritik, menganggap bahwa kritik pendapatnya sama dengan menilai sesat dirinya. Dan ini tidak benar.
Allahu a’lam.
Share:

# Berikanlah Udzur Bagi Saudaramu #

# Berikanlah Udzur Bagi Saudaramu #
Adalah salah satu tanda kemuliaan seorang muslim yaitu tidak berburuk sangka pada saudaranya sesama muslim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan kecurigaan karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa." (QS Al-Hujuraat [49] : 12)
Simak bagaimana para salaf mengajarkan dalam berbaik sangka :
Abu Qilabah berkata : "Jika sampai kepadamu berita jelek tentang saudaramu maka carilah uzur untuknya. Jika engkau tidak menjumpainya maka katakanlah 'barangkali ia punya uzur yang tidak aku ketahui'."

Hamdun Berkata : "Jika saudaramu tergelincir maka carilah untuknya tujuh puluh uzur. Jika hatimu tidak menerimanya maka ketahuilah bahwa celaan itu pada dirimu sendiri ketika tampak bagimu tujuh puluh uzur tetapi engkau tidak menerimanya."
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa memberikan uzur pada saudara-saudara kita.
Share:

# Hukum Berobat Dengan Semut Jepang

# Hukum Berobat Dengan Semut Jepang
Sebenarnya semut jepang bukanlah jenis semut, tetapi lebih ke arah “serangga /kutu” atau semacamnya. Hanya penamaannya saja dengan kata “semut”.
Kalau semut, maka hukumnya haram di makan karena ada dalil tegas mengenai hal ini.
Salah satu ulama Mazhab Syafi’i (mayoritas Indonesia) menghukumi haram makan serangga. Imam An-Nawawi
Demikian juga pendapat Jumhur ulama.
KESIMPULAN:
1. Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum memakan binatang-binatang kecil bumi (hasyarat), dalam hal ini kami memilih pendapat jumhur ulama yaitu haram
Terlebih lagi untuk berobat (pembahasan kita adalah hukum berobat) dan maka untuk lebih berhati-hati masalah halal-haram yang masuk ke tubuh kita serta masih ada alternatif pengobatan lainnya.
2. Informasi yang sampai ke kami bahwa ada cara berobat semut jepang adalah dengan cara diminum dengan air dalam keadaan hidup. Maka ini cara ini tidak boleh, karena ulama malikiyah yang membolehkan makan hasyaraatmempersyaratkan harus disembelih/dimatikan
3. Karena masalah ini adalah masalah perbedaan fikh, jangan sampai berpecah belah.
Poin yang diperselisihkan adalah “anggapan khabist/jelek”, penilaian khabits bisa berbeda-beda dan serangga yang tidak mengalir darahnya tidak perlu disembelih sehingga cukup dimatikan dengan niat. Akan tetapi inipun disanggah karena qiyasnya adalah dengan belalang, sedangkan belalang ada dalil penecualiannya.
4. Kami membuka diskusi dan belum tentu kami yang benar, karena hukum sesuatu itu perlu tahu fikhul waqi’ (kasusnya dilapangan bagaimana cara berobatnya dan hakihat dari semut Jepang), fatwa itu sesuai dengan hal ini.
Share:

- Diantara Upaya Setan Menjerumuskan Manusia -

- Diantara Upaya Setan Menjerumuskan Manusia -
Jihad melawan syetan adalah dengan mempelajari langkah langkahnya. Diantara langkah langkah syetan adalah:
Pertama : Syaithan akan berupaya menjerumuskan bani Adam ke lembah kekafiran atau kesyirikan.
Bila berhasil maka manusia yang telah terajak itu akan dijadikan kader untuk menjadi tentara iblis. Dan bila langkah tersebut tercapai, inilah puncak keberhasilan perjuangan setan. Namun bila bani Adam selamat dari jebakan ini syaithan akan menggunakan cara berikutnya.
Kedua : Syaithan akan berusaha menjatuhkan bani Adam ke lembah bid’ah sehingga ia mengamalkan bid’ah dan menjadi ahlil bid’ah.
Pilihan lain yang setan tempuh selanjutnya ini adalah menggiring manusia untuk melakukan ibadah yang telah dimasukkan ke dalamnya unsur-unsur bid’ah. Perbuatan bid’ah lebih dia senangi darpada berbuatan fasik atau maksiat. sebab perbuatan bid’ah membawa nama ibadah, padahal akibatnya justru akan merusak ibadah dari dalam. Apalagi yang melakukan bid’ah adalah tokoh yang terpandang, maka biasanya banyak jamaah yang terpengaruh karenanya.
Namun bila bani Adam termasuk ahli sunnah dan tidak mampu diperdaya, maka syaithan akan menggunakan cara berikutnya.
Ketiga : Syaithan akan menggoda bani Adam untuk melakukan dosa-dosa besar

Bila cara-cara diatas tidak mampu menggoyahkan seorang mukmin, maka setan akan memotivasi dengan bisikan ke dalam hati bahwa tak ada orang lain yang tahu bila sang ahli ibadah melakukan dosa, bila dia tergoda lalu melakukannya, seperti zina, membunuh, mencuri dll maka setan akan melihat apakah sudah layak aib ini diperlihatkan kepada khayalak ramai.
Bila menurut pertimbangan setan sudah layak, diajaknya orang tersebut untuk berbuat dosa besar didepan orang lain sehingga terbukalah aibnya. Dengan cara ini dia akan dijauhi orang lain, nasihatnya tidak akan didengar lagi, lalu berkuranglah jumlah ulama. Namun bila Allah menjaganya, maka syaithan akan menggoda dengan cara lain.
Keempat : Syaithan akan menggoda bani Adam untuk melakukan dosa-dosa kecil dan menganggapnya remeh,
Bila setan tak mampu mengajak seorang ahli ibadah untuk melakukan dosa besar, maka dia akan berusaha untuk membawanya agar berbuat dosa yang kecil, sebab dengan berbuat dosa yang kecil, orang akan mudah untuk terus berbuat dosa sehingga akhirnya akan menjadi besar.

Kelima : Syaithan akan menyibukkan bani Adam dengan perkara mubah sehingga mereka lalai dari perkara pokok.
Cara kelima ini juga akan diupayakan syaithan jika cara diatas tidak ampuh. Yaiut setan akan berupaya untuk menyibukkan dengan perbuatan yang mubah. Yaitu perbuatan yang tidak termasuk dosa dan tidak pula termasuk amal ibadah yang mendapat pahala.

Akan tetapi dengan kesibukannya ini dia akan meninggalkan hal-hal yang berfaedah. Seperti banyak tidur, banyak makan dan minum, banyak begadang tapi tidak untuk beribadah, tapi untuk menonton bola contohnya. dll
Namun bila bani Adam selamat dari perangkap ini, maka syaithan akan menggunakan cara yang terakhir.
Keenam : Syaithan akan menyibukkan bani Adam dengan amalan yang rendah nilai pahalanya,

Cara terakhir yang diupayakan setan untuk menggoda manusia adalah membuat manusia tersebut sibuk dengan amal yang kurang utama atau amalan yang rendah nilai pahalanya dibanding dengan amalan yang lebih utama untuk dikerjakan. Dalam hal ini tentu sulit untuk diketahui bahwa itu termasuk program setan juga. misalnya dia menyibukkan bani Adam dengan amal sunnah sehingga melalaikannya dari amal wajib, dan lain sebagainya.


Share:

Sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa'

Sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’.
Allah ta’ala berfirman:
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka berpegang teguhlah kamu kepada yang yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus” [QS. Az-Zukhruf : 43].

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
أي: خذ بالقرآن المنزل على قلبك، فإنه هو الحق، وما يهدي إليه هو الحق المفضي إلى صراط الله المستقيم، الموصل إلى جنات النعيم، والخير الدائم المقيم.
“Yaitu : ambillah Al-Qur’an yang diturunkan pada hatimu, karena ia adalah kebenaran. Dan segala yang ditunjukkan olehnya adalah kebenaran, membawa kepada jalan Allah yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim), menyampaikan kepada surga yang penuh kenikmatan dan kebaikan yang kekal dan abadi” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/229].

Allah ta’ala berfirman:
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. Al-Baqarah : 231].

Adapun mimpi, maka tidak pernah dianggap sama sekali sebagai sumber hukum dalam syari’at Islam. Paling tinggi kedudukan mimpi seseorang – seandainya ia mencocoki realitas atau kebenaran - , maka ia merupakan kabar gembira bagi seorang mukmin, sebagaimana dijelaskan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اقْتَرَبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا الْمُسْلِمِ تَكْذِبُ، وَأَصْدَقُكُمْ رُؤْيَا أَصْدَقُكُمْ حَدِيثًا، وَرُؤْيَا الْمُسْلِمِ جُزْءٌ مِنْ خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ، وَالرُّؤْيَا ثَلَاثَةٌ: فَرُؤْيَا الصَّالِحَةِ بُشْرَى مِنَ اللَّهِ، وَرُؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَرُؤْيَا مِمَّا يُحَدِّثُ الْمَرْءُ نَفْسَهُ، فَإِنْ رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ، فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ، وَلَا يُحَدِّثْ بِهَا النَّاسَ
“Apabila hari kiamat telah dekat, maka jarang sekali mimpi seorang muslim yang tidak benar. Dan orang yang paling benar mimpinya di antara kalian adalah yang paling benar ucapannya. Mimpi seorang muslim adalah sebagian dari 45 macam nubuwwah (wahyu). Mimpi itu ada tiga macam : (1) mimpi yang baik sebagai kabar gembira dari Allah; (2) mimpi yang menakutkan atau menyedihkan, datangnya dari setan; dan (3) mimpi yang timbul karena bisikan jiwa seseorang. Maka seandainya engkau bermimpi sesuatu yang tidak disenangi, bangunlah, kemudian shalatlah, dan jangan menceritakannya kepada orang lain” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2263].

الرُّؤْيَا ثَلَاثٌ: فَبُشْرَى مِنَ اللَّهِ، وَحَدِيثُ النَّفْسِ، وَتَخْوِيفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Mimpi ada tiga macam : (1) khabar gembira dari Allah, (2) bisikan jiwa, dan (3) gangguan setan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 3906; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah, 3/329-330 no. 1341].

Berikut perkataan sebagian perkataan ulama tentang ketidakhujjahan mimpi dalam syari’at Islam.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:

لو كانت ليلة الثلاثين من شعبان ولم ير الناس الهلال فرأى إنسان النبي صلي الله عليه وسلم في المنام فقال له الليلة أول رمضان لم يصح الصوم بهذا المنام لا لصاحب المنام ولا لغيره ذكره القاضي حسين في الفتاوى وآخرون من أصحابنا ونقل القاضي عياض الاجماع عليه
“Seandainya pada malam ketiga puluh bulan Sya’baan orang-orang tidak melihat hilaal, namun ada seseorang yang melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi seraya mengatakan kepadanya : ‘Ini adalah malam pertama bulan Ramadlaan’; maka tidak sah puasa yang didasarkan pada mimpi ini, baik bagi orang yang bermimpi dan juga orang lain. Hal itu disebutkan oleh Al-Qaadliy Husain dalam Al-Fataawaa, dan yang lainnya dari kalangan shahabat kami. Al-Qaadliy ‘Iyaadl menukilkan adanya ijmaa’ dalam permasalahan tersebut” [Al-Majmuu’, 6/281].
Al-‘Iraaqiy rahimahullah berkata:

لَوْ أَخْبَرَ صَادِقٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ، مُخَالِفٍ لِمَا تَقَرَّرَ فِي الشَّرِيعَةِ لَمْ نَعْتَمِدْهُ
“Seandainya ada seorang yang jujur mengkhabarkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya tentang hukum syar’iy yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan dalam syari’at, kami tidak berpegang padanya” [Tharhut-Tatsrib, 7/2262].
Ibnu Hajar rahimahullah ketika memberikan kisah Abu Lahab dan Tsuwaibah[1] :

فَالَّذِي فِي الْخَبَر رُؤْيَا مَنَام فَلَا حُجَّة فِيهِ
“Yang ada dalam hadits berupa mimpi, maka tidak ada hujjah di dalamnya” [Fathul-Baari, 9/145].
Ibnu Katsiir saat menukil penjelasan Ibnu ‘Asaakir yang menyebutkan Ahmad bin Katsiir pernah bermimpi melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan Haabiil; maka ia (Ibnu Katsiir) berkata:

وهذا منام لو صح عن أحمد بن كثير هذا لم يترتب عليه حكم شرعي والله أعلم
“Dan mimpi ini, seandainya riwayatnya shahih dari Ahmad bin Katsiir, maka itu tidak mengkonsekuensikan hukum syar’iy. Wallaahu a’lam” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 1/105-106].
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata:

وربما قال بعضهم : رأيت النبي صلى الله عليه و سلم في النوم فقال لي كذا وأمرني بكذا فيعمل بها ويترك بها معرضا عن الحدود الموضوعة في الشريعة وهو خطأ لأن الرؤيا من غير الأنبياء لا يحكم بها شرعا على حال إلا أن تعرض على ما في أيدينا من الأحكام الشرعية فإن سوغتها عمل بمقتضاها وإلا وجب تركها والإعراض عنها وإنما فائدتها البشارة أو النذرة خاصة وأما استفادة الأحكام فلا
"Dan kadangkala sebagian orang berkata : ‘Aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Lalu beliau berkata kepadaku demikian dan memerintahkanku demikian’. Orang itu beramal sesuatu dan meninggalkan seustau berdasarkan mimpi tersebut, dengan berpaling dari hukum syari’at. Ini keliru. Hal itu dikarenakan mimpi yang berasal dari selain para Nabi tidak mengkonsekuensikan hukum syar’iy dalam hal apapun, kecuali setelah dibandingkan dengan hukum-hukum syar’iy. Apabila diperbolehkan, maka dapat diamalkan. Namun jika tidak diperbolehkan (karena menyelisihi hukum syar’iy), wajib untuk ditinggalkan dan berpaling darinya. Faedah mimpi hanyalah sebagai kabar gembira atau peringatan saja. Adapun dalam pengambilan faedah hukum, maka tidak diperbolehkan” [Al-I’tishaam, 1/198 – via Syaamilah].

Oleh karena itu, Anda akan banyak dapati keanehan-keanehan yang berasal dari orang yang berdalil pada kembang tidur.


Share:

# Penyakit Badan Pada Hadits “Kerasnya” Kota Madinah

# Penyakit Badan Pada Hadits “Kerasnya” Kota Madinah
-Ada keutamaan tinggal di kota madinah dan bertahan dengan tinggal di sana
-Salah satunya adalah kesabaran berupa ujian penyakit/cobaan terhadap tubuh, karena kota Madinah bisa panas sekali (sampai 55 derajat), jika musim dingin bisa dingin sekali. Bagi pendatang bisa jadi sakit
-Terdapat keutamaan jika tinggal dan meninggal di madinah
-Bagi jamaah haji dan umrah bisa berharap pahala dengan hal ini, bersabar ketika sakit di madinah

Ketika pergi kedua kota suci yaitu Mekkah dan Madinah, kemudian tinggal untuk beberapa waktu, ada komentar yang mungkin benar:
“semuanya pasti kena batuk-pilek, yang tidak kena Cuma unta dan tiang listrik”

Hadits tentang “kerasnya” kota Madinah
“Tidaklah seseorang dari umatku sabar terhadap cobaan Madinah dan (“kerasnya”) kesusahannya, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat”.[1]
“Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah) kemudian dia mati, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya, atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat. Jika dia seorang muslim”[2]
Salah satu maknanya adalah ujian penyakit badan
Syaikh Al-Mubarakfuri berkata,
“Adapun maksud kata keras (syiddah) adalah apa yang menimpa manusia pada badannya (penyakit) akibat ekstrimnya cuaca panas dan dingin (di kota Madinah).”[3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah disana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati disana”. [6]

Berikut beberapa kiat-kiat menjaga kesehatan selama tinggal di kota Madinah dan Mekkah khususnya bagi jamaah haji dan Umrah
Baca selengkapnya ا:

Share:

- Mendahulukan Akal di atas Dalil -

- Mendahulukan Akal di atas Dalil -
Allah telah memberikan kemuliaan dan keutamaan kepada manusia dengan akal. Dan di dalam kitab-Nya, Dia memuji orang-orang yang memiliki pikiran dan akal-akal yang terang. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Ar-Ra’du: 19)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو اْلأَلْبَابِ
“Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang yang memiliki pikiran bisa mengambil pelajaran” (QS. Shaad: 29)
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak membiarkan akal pada kedudukan yang telah Allah tetapkan, yang menghalangi mereka untuk ittiba’. Bahkan mereka tergelincir menjadi dua golongan manusia:
Golongan yang meniadakan akal dan tidak menghargainya sedikitpun.
Golongan yang berlebih-lebihan terhadap akal, menjadikannya sebagai sumber pembuatan syariat dan mendahulukannya di atas dalil-dalil yang shahih. Mereka membangun kesesatan-kesesatan pada diri mereka dengan menamakannya kadang-kadang sebagai hakikat, perkara yang meyakinkan atau maslahat dan tujuan yang hendak diwujudkan oleh nash-nash – meskipun sesungguhnya tidak ditunjukkan oleh nash itu. Kemudian mereka mengambil nash-nash shahih yang mereka istilahkan dengan zhanniyyat (yang masih berupa persangkaan, tidak memberi faidah yakin -pen), lalu mereka menghadapkannya dengan kesesatan-kesesatan itu. Maka nash yang sesuai dengannya mereka terima, sedangkan yang bertentangan dengannya mereka tolak, dengan bersandar kepada suatu kaidah “al-yaqin laa yazuulu bisy syakk” (sesuatu yang meyakinkan tidak bisa hilang dikarenakan sesuatu yang meragukan–pen).
Mereka tidak mengetahui bahwa akal memiliki batasan-batasan di dalam mengetahui sesuatu. Dan Allah tidak memberikan jalan bagi akal untuk mengetahui segala sesuatu1. Sebagaimana mereka tidak mengetahui bahwa Allah menjaga agama-Nya dan melindungi Nabi-Nya dari ketergelinciran dan penyimpangan di dalam menyampaikan agama-Nya. Maka segala sesuatu yang beliau bawa adalah kebenaran yang tidak ada keraguannya, sedangkan yang mereka namakan dengan hakikat dan perkara yang meyakinkan adalah kebatilan. Hal itu ditunjukkan oleh adanya perbedaan akal dan pemahaman manusia di dalam menentukan hakikat-hakikat dan maslahat-maslahat. Dan juga, Allah telah memerintahkan kita untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya dengan penerimaan yang mutlak tanpa menghadapkan nash itu kepada akal sebelum menerimanya. Sebagaimana di dalam firman Allah,

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisaa: 65)
Alangkah bagusnya perkatan Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi ketika menjelaskan perkataan Ath Thahawi, “Tidak akan kokoh telapak kaki islam kecuali diatas permukaan taslim (menerima) dan istislam (pasrah)”. Beliau berkata, “Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau berkata, dari Allah datangnya risalah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima”
via : muslim.or.id

Share:

- Tentang Shalat Tahajud -

- Tentang Shalat Tahajud -
Pertanyaan:
Saya punya masalah ibadah. Saya khawatir bila ibadah saya ini terperosok (ke dalam) kebid’ahan. Di antaranya adalah tentang shalat tahajud. Tentang status shalat tersebut, adakah dalil yang menguatkannya ataukah tidak? Tolong bimbingan Redaksi untuk saya. Sekian dulu dari saya. Mudah-mudahan kita semua selalu dalam lindungan Allah.
Jawaban:
Shalat tahajud–atau disebut dengan shalat lail (malam)–merupakan ibadah yang sangat ulama. Tidak pantas bagi seorang muslim untuk menyepelekannya.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ اَلْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan adalah puasa muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat lail (malam).” (HR. Muslim, no. 1163).

Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang melalaikannya, berdasarkan hadis,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: ذُكِرَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ نَامَ لَيْلَةً حَتَّى أَصْبَحَ. قَالَ: ذَاكَ رَجُلٌ بَالَ الشَّيْطَانُ فِيْ أُذُنَيْهِ أَوْ قَالَ فِيْ أُذُنِهِ
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Pernah diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang tidur malam hingga shubuh. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setan telah kencing pada kedua telinganya,” atau beliau bersabda, “… pada telinganya.” (HR. Bukhari, no. 1144; Muslim, no. 774)
Serta masih banyak lagi dalil tentang keutamaan shalat lail ini. (Lihat Riyadhush Shalihin, hlm. 426–431, karya Imam Nawawi)
Fikih Hadis:
1. Keutamaan shalat malam, dan celaan bagi orang yang meremehkannya.
2. Cara pelaksanaannya adalah dengan mengerjakan dua rakaat, lalu dua rakaat, kemudian diakhiri dengan witir. (Bukhari, 1:561 dan Muslim, no. 749)
3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat malam, baik di bulan ramadhan maupun selainnya, lebih dari sebelas rakaat. (Bukhari, no. 1147 dan Muslim, no. 738)
Dikutip dari: Majalah Al-Furqon, Edisi 11, Tahun II, 1424 H.
Share:

- Waktu Terbaik untuk Berdoa -

- Waktu Terbaik untuk Berdoa -
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita tabaaraka wa ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku jawab do’anya, siapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku kabulkan permintaannya, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka akan Aku ampuni dia.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Beberapa Pelajaran:
1) Keutamaan berdoa dan sholat malam (qiyaamullail); tahajjud dan witir, terutama apabila dilakukan di akhir malam. Allah ta’ala berfirman tentang sifat-sifat orang yang bertakwa,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَكَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَوَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, seraya mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” [Adz-Dzariyyat: 15-18]
Allah ta’ala berfirman tentang sifat hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang,
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri (melakukan sholat) untuk Rabb mereka.” [Al-Furqon: 64]
2) Akhir malam (menjelang shubuh) adalah waktu terbaik untuk berdoa dan sholat, hendaklah setiap muslim berusaha untuk bangun dan memperbanyak doa, istighfar, dzikir dan sholat, untuk itu hendaklah tidur di awal malam agar mudah bangun di akhir malam, setelah sholat isya’ jangan lagi berbicara kecuali sesuatu yang penting. Sahabat yang mulia Abu Barzah radhiyallahu’anhu berkata,
أنَّ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم كان يكرهُ النَّوم قَبْلَ العِشَاءِ والحَديثَ بَعْدَهَا
“Bahwasannya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak suka tidur sebelum sholat isya’ dan berbicara setelahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
3) Sholat malam sudah dapat dikerjakan setelah sholat isya’ sampai sebelum terbit fajar atau masuk waktu shubuh, tidak disyaratkan untuk sholat malam harus tidur terlebih dahulu. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ أَوْتَرَ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ وَانْتَهَى وِتْرُهُ إلَى السَّحَرِ
“Setiap malam Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melakukan sholat witir, baik di awal malam, pertengahannya, atau di akhirnya. Dan berakhir waktu witir beliau sampai waktu sahur.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
4) Bagi orang yang khawatir tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah melakukan sholat sebelum tidur. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Barangsiapa khawatir tidak dapat bangun malam maka hendaklah ia sholat witir di awal malam, dan barangsiapa optimis dapat bangun malam maka hendaklah ia sholat witir di akhir malam, karena sesungguhnya sholat di akhir malam itu disaksikan (oleh para malaikat rahmat), maka itu lebih afdhal.” [HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu’anhu]
5) Kewajiban mengimani sifat perbuatan turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, dengan cara turun yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, tidak sama dengan cara turunnya makhluk. Hendaklah waspada dari dua golongan sesat:
Pertama: Golongan mu’atthilah, yang tidak mau mengimani dan meyakininya.
Kedua: Golongan musyabbihah, yang mengimaninya tapi menyamakannya dengan sifat makhluk.
Adapun Ahlus Sunnah tetap mengimani dan meyakini seluruh sifat-sifat Allah, yang kaifiyyah-nya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, dan tidak menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk.
via : sofyanruray.info

Share:

- Qurban Atas Nama Perusahaan -

- Qurban Atas Nama Perusahaan -
Di daerah kami banyak perusahaan melakukan qurban. Dititip-titipkan ke masjid-masjid kampung. Mungkin dana CSR perusahaan. Totalnya banyak, bisa sampai puluhan sapi dr beberapa perusahaan.
Tapi katanya, itu atas nama karyawan di perusahaan itu.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Salah satu yang diatur dalam ibadah qurban adalah mengenai kepemilikan hewan qurban. Kambing hanya boleh dimiliki oleh satu orang, sapi maksimal 7 orang, sementara onta maksimal 10 orang.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَ الْأَضْحَى، فَاشْتَرَكْنَا فِي الْجَزُورِ، عَنْ عَشَرَةٍ، وَالْبَقَرَةِ، عَنْ سَبْعَةٍ
Kami pernah safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika tiba Idul Adha, kami urunan untuk onta 10 orang dan sapi 7 orang. (HR. Ibn Majah 3131 dan dishahihkan al-Albani).
Hadis ini berbicara tentang kepemilikan hewan qurban, bukan peruntukan pahala qurban. Untuk peruntukan qurban, satu ekor kambing bisa diqurbankan atas nama satu orang dan seluruh anggota keluarganya. Abu Ayyub radhiyallahu’anhu mengatakan,
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ، وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ
“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan selueuh anggota keluarganya.” (HR. Tirmidzi 1505, Ibn Majah 3125, dan dishahihkan al-Albani).
Bagaimana dengan Qurban dari Perusahaan?
Kita bisa melihat beberapa kemungkinan di sana,
Pertama, perusahaan itu milik perorangan.
Semua modal dan asetnya milik satu orang. Sehingga, setiap dana yang dikeluarkan untuk kegiatan ibadah, maupun kegiatan sosial lainnya, hakekatnya adalah uang milik satu orang. Termasuk ketika perusahaan ini memberikan qurban, hakekatnya itu milik owner perusahaan. Qurban ini sah sebagai ibadah pemilik perusahaan.
Kedua, perusahaan milik banyak pemodal
Seperti perseroan, yang modal dan asetnya patungan dari para pemegang saham. Ketika perusahaan mengeluarkan dana sosial CSR, hakekatnya itu uang milik semua pemegang modal. Jika itu untuk kegiatan ibadah, semua pemegang modal berhak di sana.
Ketika itu wujudnya hewan qurban, tentu saja tidak sah. Karena beararti quota pemilik hewan itu, melebihi batas. Jika perusahaan tetap mengeluarkan hewan qurban atas nama satu perusahaan, nilainya sedekah, dan bukan qurban.
Ketiga, perusahaan memberikan hewan qurban ke karyawan
Mungkin kasusnya, perusahaan memberikan hewan qurban ke sejumlah karyawan. Misalnya, perusahaan mengeluarkan 10 ekor sapi untuk qurban 70 karyawan. Semacam ini dibolehkan, dan tentunya, pahalanya pun untuk karyawan.
Kira-kira sama dengan kasus perusahaan menghajikan para karyawannya. Yang pergi haji tentu karyawan, bukan perusahaan. Dan pahalanya untuk karyawan yang pergi haji, bukan perusahaan.
Hanya saja, untuk jenis ketiga ini perlu diperhatikan aturan berikut,
Pertama, harus dipastikan kepemilikan sapinya. Terutama ketika perusahaan mengeluarkan lebih dari 1 sapi. Sebagai contoh, perusahaan mengeluarkan 10 ekor sapi untuk 70 karyawan. Secara perhitungan benar, namun tetap perllu ditegaskan, siapa pemilik masing-masing sapi.
Kedua, semua karyawan yang mendapat hadiah ibadah qurban harus sadar bahwa dia sedang berqurban. Karena setiap ibadah butuh niat. Sehingga tidak boleh perusahaan mengeluarkan sejumlah sapi qurban untuk beberapa karyawannya, tapi yang bersangkutan tidak tahu.
Ketiga, ketika hewan ini telah diserahkan ke karyawan, semua aturan qurban berlaku untuknya. Seperti anjuran menyembelih sendiri, atau melihat penyembelihannya, tidak boleh menjual bagian qurbannya, berhak dapat dagingnya, dst.
Share:

- Jangan Nilai Seseorang dari Tampak Luarnya Saja -

- Jangan Nilai Seseorang dari Tampak Luarnya Saja -
Yang menjadi standar penilaian dirimu :
Harta ? Bukan!
Jabatan? Bukan!
Banyaknya Teman? Bukan!
Banyaknya pengikut? Banyaknya "Like"? Banyaknya pengunjung web? Banyaknya jama'ah pengajian? Besarnya organisasi? Kuatnya dana? Canggih dan megahnya sarana dan prasarana?
Semua itu barulah menjadi sebuah kebaikan ,jika hati baik dan amal benar, jika terpenuhi Al-Ikhlas dan Al-Mutaba'ah, Sesuai dg Ilmu yg hak dan Amal yg shaleh!
Simaklah!

Allah hanya melihat hati dan amal seorang hamba,Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
«إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ»
“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada bentuk-bentuk tubuh dan harta-harta kalian,akan tetapi melihat kepada hati-hati dan amal-amal kalian” (Shahih Muslim).
Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“ Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menjelaskan makna 
{أَحْسَنُ عَمَلًا},
هو أخلصه وأصوبه

“Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam)”
Dengan Ilmu, ikhlas dan Iman hati itu menjadi baik, dan dengan Al-Mutaba'ah amal itu menjadi benar. Dan semua itu terangkum dalam : "Ilmu dan Amal" & "Ikhlas dan Al-Mutaba'ah".
Jika kita bangun tidur, lalu berfikir : "Bagaimana keikhlasan saya dan Mutaba'ah saya?" & "Ilmu agama Islam apa yg belum saya ketahui dan belum saya pelajari ulang?", "Amal shaleh apa yg belum saya lakukan hari ini ?, Ibadah apa yg saya masih teledor melakukannya? atau amal shaleh apa yang belum istiqomah saya jaga? atau amal salah apa yg saya terlanjur lakukan? " "Bagaimana hati saya?"-----> maka inilah tanda-tanda benar standar muhasabah kita .
Demikian pula sebuah organisasi atau negara , baru dikatakan organisasi atau negara yang baik dan maju serta jaya, jika tersebar dan makmur Ilmu Ad-Din dan Amal shaleh di tengah-tengah anggota/masyarakatnya, Al-Ikhlas dan Al-Mutaba'ah di anggota/penduduknya!
Begitulah hakekat sebuah keluarga dan rumah tangga serta komunitas, nyata maupun maya!
Jadi, jangan tertipu penampilan lahiriyyah yang menawan, padahal hakekatnya sebaliknya!
Alangkah indahnya ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Al-Ubudiyyah:
فالعاقل ينظر إلى الحقائق لا إلى الظواهر
“(Ciri khas) orang yang berakal adalah melihat hakekat (sesuatu),tidak terjebak dengan dhohirnya !”
Share:

Fawaid kajian fiqh haji dari Dalil Tholib bersama Syaikh Sulaiman ar Ruhaili:

Fawaid kajian fiqh haji dari Dalil Tholib bersama Syaikh Sulaiman ar Ruhaili:
1. boleh hukumnya biaya haji berasal dari uang utangan asalkan ada kemampuan untuk melunasinya tapi tidak ada kewajiban berhutang untuk bisa berangkat haji.
2. tentang takbir saat akhir putaran thowaf yang terakhir, ulama berselisih pendapat. ada yang bilang disyariatkan karena memang melintasi hajar aswad. ada yang bilang tidak perlu karena takbir itu untuk mulai thowaf atau saat melintasi hajar aswad dlm thowaf. Syaikh Sulaiman menguatkan pendapat kedua.
3. Yang dilakukan saat di bukit Shofa dan Marwa adalah sambil angkat (seperti posisi tangan saat doa) tangan baca takbir dan tahlil lantas doa sambil angkat tangan terus baca takbir dan tahlil lantas doa dengan angkat tangan terus takbir dan tahlil lantas lanjut jalan. jadi ada dua kali doa dengan tiga kali takbir dan tahlil.
4. apakah ada bacaan takbir dst saat di Marwa yang terakhir? Ada dua pendapat ulama dalam hal ini. Yang kuat menurut Syaikh Sulaiman ar Ruhaili adalah tetap baca takbir tahlil dan doa karena bacaan dalam hal ini dikaitkan dengan keberadaan di Shofa atau Marwa bukan terkait dengan putaran.
5. Tambahan dalam riwayat Muslim "jangan tutupi wajahnya" diperselisihkan oleh ulama hadits, syadz atau tidak. Kesimpulannya pendapat yang kuat menurut Syaikh Sulaiman ar Ruhaili, memakai masker saat ihram hukumnya makruh. Kaedah dalam hal yang makruh, makruh itu berubah menjadi mubah jika ada kebutuhan.
Share:

Keutamaan Sahabat

Keutamaan Sahabat
Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan sahabat Nabi:
والصحابة كلهم عدول عند أهل السنة والجماعة، لما أثنى الله عليهم في كتابه العزيز، وبما نطقت به السنة النبوية في المدح لهم في جميع أخلاقهم وأفعالهم، وما بذلوه من الأموال والأرواح بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena Allah Ta’ala telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian yang diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal perbuatan mereka. Juga dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”[3]
Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya. Beliau bersabda:
لا تزالون بخير ما دام فيكم من رآني وصاحبني ومن رأى من رآني ومن رأى من رأى من رآني
“Kebaikan akan tetap ada selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan para sahabatku, dan orang yang pernah melihat para sahabatku (tabi’in) dan orang yang pernah melihat orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)”[4]
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
خير الناس قرني ، ثم الذين يلونهم ، ثم الذين يلونه
“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka”[5]
Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap para sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah umat terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda dengan kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani mereka, dan tidak mencela mereka. Imam Abu Hanifah berkata:
أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم : أبوبكر وعمر وعثمان وعلي , ثم نكف عن جميع أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا بذكر جميل
“Manusia yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh menyebut mereka kecuali dengan sebutan-sebutan yang indah”[6]
Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تسبوا أصحابي ، فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ، ما بلغ مد أحدهم ولا نصيف
“Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya”[7]
[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashabani dalam Fadhlus Shahabah. Di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (7/7)
[5] HR. Bukhari no.3651, Muslim no.2533
[6] Nur Al Laami’ (199), dinukil dari kitab I’tiqad A’immatil Arba’ah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais, (1/7)
[7] HR. Bukhari no. 3673, Muslim no. 2540

via : muslim.or.id
Share:

Aku bukan sedang membela Teuku Wisnu...


========
Aku bukan sedang membela Teuku Wisnu... Yang hanya karena masalah menghadiahkan fatehah saja, sebagian kaum muslimin berhasil digiring utk geger, seakan itu masalah terbesar Indonesia saat ini...
Padahal sudah sangat masyhur bahwa ini hanyalah masalah fikih yg diperselisihkan oleh para imam madzhab, bahkan antara NU dan Muhammadiyah pun berselisih pendapat dlm masalah ini.
Malahan mereka yg jelas-jelas menyuarakan bahwa semua agama itu sama dan benar, bolehnya muslimah menikah dg non muslim, bahkan bolehnya menikah sesama jenis, malah dibiarkan saja, tidak ada sanksi apapun dr pihak terkait... padahal pemahaman itu ditentang oleh seluruh imam kaum muslimin.

Aku bukan sedang membela Teuku Wisnu... hanya saja sangat ironis sekali, bila saudara kita dibully karena memilih pendapatnya IMAM SYAFII yg diagungkan oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Imam Syafii -rohimahulloh- mengatakan:

"Yang bisa sampai kepada mayit dari perbuatan dan amalan orang lain ada tiga: (1) haji yg ditunaikan untuknya, (2) harta yg disedekahkan untuknya, atau digunakan untuk melunasi hutangnya, (3) dan do'a.
Adapun selain amalan-amalan itu, seperti shalat dan puasa, maka itu untuk pelakunya, tidak bisa untuk mayit. [Kitab: Al-Um 4/126].
Bahkan Imam Nawawi -rohimahulloh- dengan sangat tegas sekali mengatakan:
"Adapun amalan membaca Alqur'an, maka yang MASYHUR dari pendapatnya Imam Syafii; bahwa amalan membaca Alqur'an itu tidak bisa sampai pahalanya kepada mayit". [syarah shahih muslim: 1/90].
Begitu pula Imam Ibnu Katsir -rohimahulloh-… ketika beliau menafsiri ayat (yang artinya): "Tidaklah manusia itu memperoleh, KECUALI apa yg diusahakannya saja". [QS. An-Najm:53], beliau mengatakan:
"Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafii -rohimahulloh- dan siapapun yg mengikutinya menyimpulkan bahwa 'amalan membaca' tidak bisa sampai kepada mayit hadiah pahalanya, karena itu bukan termasuk amalan para mayit, bukan pula termasuk usaha para mayit.
Oleh karena itulah Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- tidak mengajak umatnya kepada amalan itu, beliau juga tidak menganjurkan umatnya untuk melakukannya.
Bahkan beliau tidak mengarahkan umatnya kepada amalan itu, baik secara tegas, maupun secara isyarat.
Hal itu juga tidak pernah dinukil dari satupun sahabat Nabi -rodhiallohu anhum-, seandainya amalan itu suatu kebaikan, tentunya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.
Dan di dalam ranah ibadah taqarrub, itu hanya boleh diambil dari sumber nash-nash saja, dia tidak boleh diambil dari sumber qiyas (analogi) dan pendapat-pendapat manusia". [Tafsir Ibnu Katsir: 7/465].

-----------
Inilah pendapat Imam Syafii -rohimahulloh- yang ingin saya bela…
Sekali lagi, saya ingin bertanya, dan jawablah dengan jujur dari lubuk hati yang paling dalam, pantaskah saudara kita Teuku Wisnu dibully karena memilih pendapat Imam Syafii -rohimahulloh- yang diagungkan oleh mayoritas penduduk Indonesia?

Atau benarkah anggapan sebagian orang, bahwa isu-isu kecil seperti ini -yang penting bisa merugikan Umat Islam- sengaja dibesar-besarkan oleh media, untuk mengalihkan perhatian mereka dari permasalahan bangsa yg jauh lebih besar dan sedang dihadapi Indonesia saat ini?
Entahlah, mungkin banyak dari Anda mengetahui jawabannya...
Share:

Total Pageviews