MOTIVASI HIDUP ISLAM

Visit Namina Blog

Wednesday, 7 January 2015

Bukan Hanya Pemimpin Yang Amanah, Tapi Juga Sistem Kepemimpinan Yang Amanah

Bukan Hanya Pemimpin Yang Amanah, Tapi Juga Sistem Kepemimpinan Yang Amanah

Bukan Hanya Pemimpin Yang Amanah,  Tapi Juga Sistem Kepemimpinan Yang Amanah
Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh Al Qur’an –Utsman bin Affan
Islam berbeda dengan agama-agama yang lain yang pernah diturunkan oleh Allah Swt, karena Islam diturunkan sempurna dan menyeluruh, termasuk dalam hal megatur pemimpin dan sistem kepemimpinan.
Karena mengusung kesatuan kepemimpinan politik dan spiritual inilah maka Islam dapat tersebar dengan luasan yang fenomenal dalam tempo yang relatif singkat dibandingkan peradaban pendahulunya seperti Persia dan Romawi.
Karena itu pula Michael H. Hart dalam bukunya “The 100 – a Ranking of Most Influential People in History”, menilai Nabi Muhammad dengan kalimat “he was the only man in history who was supremely succesfull on both the religious and secular level“, dengan menuliskan dua alasan:
“Muhammad, however, was responsible for both the theology of Islam and its main ethical and moral principles”
“Furthermore, Muhammad (unlike Jesus) was a secular as well as a religious leader. In fact, as the driving force behind the Arabs conquest, he may well rank as the most influential political leaders of all time”
Pemimpin di dalam Islam sangatlah penting, bahkan diwajibkan dalam perkara agama. Rasul bersabda “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan mereka menunjuk seorang pemimpin di antara mereka.”(HR Ahmad)
Bila dalam safar saja diwajibkan adanya pemimpin, apalagi perkara yang lebih besar yaitu urusan ummat seluruhnya. Namun di dalam Islam, Allah tidak hanya mewajibkan pada kaum Muslim untuk sekedar memiliki pemimpin yang amanah, namun juga sistem yang amanah dimana pemimpin itu memimpin dengannya.
Rasul sendiri tatkala memimpin kaum Muslim bertindak sebagai kepala negara yang amanah, dengan mengatur sistem ekonomi, politik, pendidikan, peradilan dan keamanan dalam dan luar negeri, termasuk mengirim surat pada Kaisar Romawi dan Kisra Persia pada waktu itu, dan kesemuanya berdasarkan sistem syariah Islam.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS an-Nisaa [4]: 58-59)
Kedua ayat ini menunjukkan kewajiban yang sangat besar bagi kaum muslim untuk memiliki pemimpin dan kepemimpinan yang dengannya bisa diterapkan amanat hukum Allah dengan adil, dan menjadi penjamin atas dipakainya al-Qur’an dan as-Sunnah ketika ada perselisihan diantara kaum mukmin
Rasulullah pun telah memberikan batasan, bagaimana penguasa dan kepemimpinan ini diatur dalam Islam melalui lisannya yang mulia:
“كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ”
قَالُوا “فَمَا تَأْمُرُنَا” قَالَ “فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ. أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ” روه بخاري و مسلم
Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebankan kepada mereka” (HR Bukhari dan Muslim)
Demikianlah Rasulullah berpesan, bahwa yang kelak akan melanjutkan kepemimpinan dan pemeliharaan atas ummat adalah pemimpin yang disebut Khalifah, dan Khalifah inilah yang akan menjaga amanah untuk menerapkan sistem amanah berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana diperintahkan dalam QS An-Nisaa [4]: 59
Maka setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar menjabat sebagai Khalifah kaum Muslim, dilanjutkan dengan Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, keempatnya dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin, Para Khalifah yang ditunjuki Allah. Dan sistem kepemimpinan ini disebut dengan nama Khilafah.
Keberadaan Khalifah sebagai pemimpin yang satu bagi kaum Muslim dan Khilafah sebagai sistem kepemimpinan yang satu bagi kaum Muslim inilah yang selalu dijaga oleh kaum Muslim semenjak wafatnya Rasulullah sampai pada tahun 1924 saat Khilafah diruntuhkan di Turki dan Khalifah diturunkan dan diasingkan.
Dari dalil-dalil diatas kita lalu memahami bahwa seluruh kaum Muslim diwajibkan dalam Islam untuk memiliki pemimpin yang amanah, selain itu Islam juga mewajibkan adanya sistem yang amanah.
Dalam Islam, belum cukup ketika kaum Muslim memilih pemimpin yang amanah, namun dipilih untuk menjalankan sistem yang tidak amanah seperti sekulerisme, liberalisme dan demokrasi seperti saat ini. Tapi pemimpin Islam diwajibkan untuk menjalankan sistem amanah juga, yaitu yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Karenanya memilih pemimpin yang amanah tapi tidak sistem kepemimpinan yang amanah, hanya menjadikan pemimpin tersebut bermaksiat dalam sistem yang tidak amanah ini, dan merupakan sikap tak benar karena memilih dan memilah hukum Allah, setengah-setengah dalam ketaatan.
Seharusnya kaum Muslim menyadarkan dan mengingatkan satu sama lain bahwa sumber permasalahan besar ummat bukan hanya tentang pemimpin yang amanah, namun lebih karena ditinggalkannya hukum Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sistem kepemimpinan.
Jadi Islam mewajibkan bukan hanya pemimpin yang amanah, namun juga sistem kepemimpinan yang amanah.
Untuk diskusi dan info lebih lanjut, silakan dapatkan di buku Khilafah* tulisan@felixsiauw atau follow akun @bukukhilafah
buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.comatau ke pages Facebook alfatihbookstore
Share:

Khilafah Yang Menyatukan, Khalifah Yang Melindungi

Khilafah Yang Menyatukan, Khalifah Yang Melindungi

Khilafah Yang Menyatukan, Khalifah Yang Melindungi
Pernahkah kita membayangkan bahwa pada satu masa yang panjang, kaum Muslim di seluruh dunia pernah bersatu padu dalam satu ummat? Pada kenyataannya ummat Muslim memang pernah bersatu dalam kurun waktu sekitar 1300 tahun lamanya. Bermula dari kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw pada 622 M di Madinah dan berakhir pada Kekhilafahan Utsmaniyyah tahun 1924 M di Turki.
Terbayangkah kita bagaimana kekuatan ummat Muslim saat mereka bersatu? Allah limpahkan berkah pada mereka dan kebaikan dunia-akhirat, kekuatann yang tiada bandingannya dan kehormatan serta kemuliaan, disegani lawan dan disukai kawan. Dengan pemimpin yang satu, kepemimpinan yang satu, bendera yang satu | aturan yang satu, rasa yang satu, dan komando yang satu
Masa-masa bersatunya kaum Muslim itulah masanya Khilafah Islam mewujud, dengan Khalifah sebagai pemimpin yang melindungi ummat Muslim. Pada masa itu darah dan kehormatan kaum Muslim dilindungi oleh Khalifah, begitupun dengan darah dan harta kaum kafir dzimmi didalamnya (kaum kafir yang damai yang hidup di negara Islam, mereka membayar jizyah dan tunduk pada aturan syariah Islam)
Bahkan saat Khilafah sedang berada dalam kondisi lemah karena konflik internal-eksternal yang tak kunjung usai, tetap saja Khalifah yang saat itu dijuluki “Sick-Man of Europe” masih punya taji dan kekuatan. Misalnya, pada 1889 seorang penulis drama asal Prancis Henri de Bornier berencana mementaskan drama yang bertajuk “Muhammad atau Kefanatikan” yang isinya menghina Nabi Muhammad saw.
Saat berita itu sampai kepada Khalifah, maka Khalifah Abdul Hamid II melalui duta di Paris pada saat itu Es’at Pasha, segera meminta agar drama tendensius itu dibatalkan pementasannya karena hal itu menyakiti perasaan ummat Muslim. Setelah keberatan dan protes dari Khalifah diberitahukan, Perdana Menteru Prancis Charles de Freycinet melarang pementasan drama itu di Prancis pada 1890
Dilarang di Prancis, Henri de Bornier tidak kehabisan akal lalu berencana mementaskan drama yang sama di Inggris. Maka, sekali lagi Khalifah meminta pemerintah Inggris agar melarangnya, dan memberitahukan bahwa Prancis pun sudah melarang pementasan yang sama karena drama itu adalah penghinaan bagi Nabi Muhammad saw.
Diluar dugaan Khalifah, Inggris menolaknya dengan alasan tiket-tiket telah dijual dan pembatalan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi (freedom of act and speech) yang diyakininya
Mendengar jawaban itu Khalifah Abdul Hamid II lalu menyampaikan pada pemerintah Inggris bila tetap bersikeras atas pernyatannya. Khalifah Abdul Hamid II lalu berucap
“saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkankan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami! saya akan kobarkan Jihad Al-Akbar”
Dengan ancaman itu Inggris pun serta merta membatalkan niatnya mementaskan drama besutan Bornier. Begitulah kesatuan Muslim dalam Khilafah dapat menjaga kehormatan mereka.
Clifford Edmund Bosworth, seorang orientalis dan sejarawan asal Inggris pada 1970 berkomentar tentang hal ini dalam bukunya “A Dramatisation of the Prophet Muhammad’s Life: Henri de Bornier’s Mahomet’” halaman 116
“Since Bornier’s time, no major European dramatist seems to have essayed a play on the life of the Prophet”
Beginilah pemimpin seharusnya melindungi kehormatan ummat Muslim, tidak seperti sekarang saat pemimpin-pemimpin kaum Muslim banyak diam dan tak berbuat apapun saat penghinaan pada Nabi begitu marak
Khalifah Abdul Hamid II yang memimpin Khilafah adalah Khalifah terakhir, namun walaupun dalam kondisi yang sangat lemah, Khilafah tetap disegani bangsa Eropa. Ini membuktikan bahwa pemimpin yang amanah yaitu Khalifah, hanya akan bersinar dalam sistem yang amanah yaitu Khilafah.
Khalifah adalah pemimpin kaum Muslim yang bertindak berdasarkan Islam, seorang pemimpin bagi kaum Muslim seluruh dunia yang berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Kita pahami bahwa Rasulullah meninggalkan pada kita 2 hal yang kita takkan tersesat bila kita berpegang teguh pada keduanya, dan 2 hal itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka harusnya Al-Qur’an tidak hanya dijadikan panduan bagi pemimpin semata, tapi juga jadi panduan dalam sistem kepemimpinan kaum Muslim. Hanya dengan pemimpin amanah yaitu Khalifah dan sistem kepemimpinan amanah yakni Khilafah kehormatan kaum Muslim akan terjaga mulia
Kabar baiknya, Rasulullah mengabarkan bahwa Khilafah dan Khalifah yang berdasar manhaj kenabian ini akan bangkit sekali lagi
“adalah Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya.Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya.Lalu akan ada kekuasaan yang menggigit, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang memaksa (diktator), yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya, bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian. Kemudian beliau (Nabi) diam”
(HR Ahmad)
Maka bagi kitalah diamanahkan dan diberikan kehormatan perjuangan ini, yaitu akan kembalinya Khilafah yang menaungi ummat Muslim. Khilafah adalah sistem kepemimpinan Islam yang amanah, yang hanya membolehkan pemimpin beriman amanah yang memimpin, tidak selainnya. Dengan sistem kepemimpinan Khilafah inilah, Khalifah akan menerapkan syariah bagi seluruh ummat. Dengan itu insyaAllah keberkahan bagi semuanya.
Untuk diskusi dan info lebih lanjut, silakan dapatkan di buku Khilafah* tulisan @felixsiauw atau follow akun @bukukhilafah
buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.com atau ke pages Facebook alfatihbookstore
akhukum,
@felixsiauw
Share:

Bahaya Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme

Bahaya Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme

Bahaya Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme
Wacana Pluralisme dan temen-temennya ini tak pernah habis menghantui dan merusak kaum Muslim. Walaupun MUI telah mengeluarkan fatwaharamnya paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun 2005,  tetap saja pluralisme melenggang kangkung diusung media.
Walhasil, umat Islam pun menjadi bingung, semua yang pro dan kontra dengan sepilis (sekulerisme-pluralisme-liberalisme) ini semua mengatasnamakan Islam, mana yang harus dipercaya, yang mana yang harus diikuti menjadi samar. Banyak diantara kaum muslim akhirnya yang memilih untuk tidak perduli. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk meletakkan sebuah pemahaman yang benar tentang faham Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme.
Secularism means:
• in philosophy, the belief that life can be best lived by applying ethics, and the universe best understood, by processes of reasoning, without reference to a god or gods or other supernatural concepts.
• in society, any of a range of situations where a society less automatically assumes religious beliefs to be either widely shared or a basis for conflict in various forms, than in recent generations of the same society.
• in government, a policy of avoiding entanglement between government and religion (ranging from reducing ties to a state church to promoting secularism in society), of non-discrimination among religions (providing they don’t deny primacy of civil laws), and of guaranteeing human rights of all citizens, regardless of the creed (and, if conflicting with certain religious rules, by imposing priority of the universal human rights).
Secularism can also mean the practice of working to promote any of those three forms of secularism.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Secularism• Secara filosofi, pandangan yang menganggap bahwa kehidupan dapat dijalani paling baik dengan menggunakan etika, dan pengertian paling baik dari alam semesta, melalui proses argumentatif, tanpa merujuk kepada tuhan atau (banyak) tuhan atau konsep supernatural.
• Pada masyarakat, semua dari kisaran situasi dimana suatu masyarakat lebih sedikit yang secara otomatis mengasumsikan kepercayaan agama sebagai andil besar atau dasar daripada masalah dalam berbagai bentuk daripada generasi belakangan di masyarakat yang sama.
• Pada pemerintahan, kebijaksanaan yang menghindari keterkaitan antara pemerintahan dan agama (berkisar dari mengurangi keterikatan pada negara-gereja sampai mempromosikan sekularisme pada masyarakat), non-diskriminasi pada agama (memaksa mereka untuk tidak mengingkari keutamaan dari hukum sipil), dan menjamin HAM semua warganegara (dan, bila bermasalah dengan aturan agama tertentu, dengan memprioritaskan hukum hak asasi universal)
Sekularisme juga bisa berarti mempraktekan atau berusaha untuk mempromosikan/menyebarkan salah satu dari tiga bentuk sekularisme diatas. 
Liberalism is a political current embracing several historical and present-day ideologies that claim defense of individual liberty and private property as the purpose of government. It typically favors the right to dissent from orthodox tenets or established authorities in political or religious matters. In this respect, it is sometimes held in contrast to conservatism. Since liberalism also focuses on the ability of individuals to structure their own society, it is almost always opposed to totalitarianism and collectivist ideologies, particularly communism.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Liberalism
Liberalisme adalah gerakan politik mencakup pandangan kuno dan modern yang menjamin kebebasan individual dan kepemilikan privat sebagai tujuan dari pemerintahan. Cirinya melindungi hak untuk bertentangan dari dalil/pengajaran agama atau menetapkan kewenangan dalam masalah politik atau agama. Dalam pembahasan ini, liberalisme terkadang kontras dengan konservatisme. Karena liberalisme memfokuskan kepada kemampuan individual dalam membentuk struktur masyarakat, maka hampir selalu bertentangan dengan totaliterisme dan ideologi kolektif (sosialis), khususnya komunisme

In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation
Pluralism also implies the right of individuals to determine universal truths for themselves.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Pluralism
Pada ilmu sosial, pluralisme adalah kerangka aktivitas interaksi dimana suatu kelompok menunjukkan rasa hormat yang baik dan toleransi satu samalain, mereka saling mengakui dan berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi.
Pluralisme juga bahwa individu-individu mempunyai hak untuk memutuskan “kebenaran universal” untuk mereka.
Pluralisme Agama

Dari pemaparan diatas telah sangat jelas sekali bahwa sesungguhnya sekularisme adalah cara memandang kehidupan tanpa agama (outside the religion), dalam definisi modern juga bisa dikatakan memisahkan agama dari kehidupan publik (negara). Awal munculnya pandangan ini adalah ketika terjadi konflik antara agama katolik dan para cendekiawan di eropa yang berlangsung pada abad pencerahan (enlightment ages) sekitar abad 16 sampai abad 17, yang sebelumnya dilalui oleh abad gelap (dark ages) yaitu sekitar abad ke 5 sampai dengan abad ke 15. Penyebutan abad gelap ini adalah karena begitu tak teraturnya masyarakat eropa pasca runtuhnya kekaisaran romawi (roman empire) pada tahun 410.
Keruntuhan romawi ini mengakibatkan banyak sekali tuan-tuan tanah (landlords) yang mempunyai wilayah memisahkan diri menjadi suatu masyarakat tertentu, yaitu masyarakat feodal dengan feodalisme sebagai pandangan hidupnya. Disini strata masyarakat biasanya terbagi 6 yaitu bangsawan (landlords), ksatria (knights), rahib (clerics), prajurit (troops) cendekiawan (scholars) dan rakyat (people). Abad gelap ini juga sering disebut abad agama (age of faith) dikarenakan katolik yang dilegalkan menjadi agama negara pada tahun 391 sebelum romawi runtuh.Dikatakan abad agama juga karena besarnya peranan rohaniwan dalam negara, termasuk melegalisir para tuan tanah untuk mengeksploitasi rakyatnya, dan anggapan tuan tanah adalah wakil dari tuhan adalah umum dalam masa ini. Gereja membentuk doktrin untuk terus melanggengkan hubungan antara penguasa-rohaniwan ini, misalnya St. Augustine seorang uskup di kota Hippo (sekarang Annaba, Algeria) dalam bukunya City of God (413-426) menyatakan bahwa “seharusnya umat kristiani tidak perlu peduli dengan kejadian di duia tetapi fokus kepada penyelamatan (salvation) dan hidup setelah mati di dalam kota surgawi” (Rosenwain, 2005). Doktrin-doktrin semacamnya juga diberlakukan pada sains, misalnya teori geosentris yang dikemukakan oleh gereja yang ditentang oleh Nicolaus Copernicus dengan teori heliosentrisnya akhirnya berujung pada dianiayanya cendekiawan ini, begitu pula yang terjadi pada Galileo Galilei dengan teori bumi bulatnya. Dalam kemasyarakatan doktrin gereja berhak menentukan ajaran mana yang sesat (heretics) dan ajaran mana yang baik menurut mereka sendiri sehingga kejadian ini menimbulkan banyak sekali protes bagi rakyat sipil dan para cendekiawan. Keadaan ini terus berlanjut hingga abad ke 16.
Pada abad ke 17 dan 18 terjadi abad pencerahan (enlightment age) yang diawali oleh banyaknya pemikir dan cendekiawan yang melihat bahwa alasan terjadinya abad gelap adalah karena campur tangannya agama (katolik) dalam urusan negara, karena mereka memandang justru kemunduran yang sangat besar terjadi pada masa pemerintahan agama ini. Para kaum protestan pun menulis bahwa periode abad gelap adalah periode katolik yang terkorupsi sehingga tidaklah murni lagi. Puncaknya terjadi pada masa renaissance (kelahiran kembali) dimana para pemikiran para cendekiawan dan rakyat biasa melawan kepada tuan tanah dan rahib, karena dinilai selama abad gelap agama dengan hak suci mereka (divine rights) telah menjadi sesuatu yang melegitimasi eksploitasi terhadap mereka oleh tuan tanah, dan menuntut agar agama tidak lagi dihubungkan dengan negara (sekular). Disinilah sekularisme lahir.
Setelah itu, para pemikir kemudian mengganti nilai-nilai serta standar-standar yang ada pada masyarakat agar jangan sampai mengambil kembali agama untuk diterapkan dalam masyarakat. Ide-ide derivat sekularisme inilah yang akhirnya mengejewantah dalam pemikiran yang lain yaitu liberalisme, pluralisme, kapitalisme dan akhirnya demokrasi.
Sama seperti Liberalisme, pemikiran ini pun dibangun atas dasar pemisahan agama dari negara. Para pemikir seperti John Locke (1632-1704)dan Baron de Montesquieu menyerukan hak dasar manusia yaitu “life, liberty and property” sebagai suatu yang sangat diperlukan dalam menciptakan suatu pemerintahan dan hidup yang stabil, sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, raja bukanlah figur suci yang mempunyai hak yang lebih di mata hukum dan lain-lain, serta dan pemikir seperti Voltaire dan Immanuel Kant yang sangat vokal terhadap pengekangan kebebasan atas nama tuhan oleh agama. Inilah yang akhirnya mendasari demokrasi, yaitu sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mereka memilih sendiri pemerintahan mereka, membuat sendiri hukum untuk mereka taati sendiri. Kedua pandangan ini (liberalisme dan demokrasi) oleh Adam Smith dan David Ricardo dituangkan dalam bentuk kebebasan ekonomi dimana keuntungan terbesar akan diperoleh apabila setiap individu dijamin haknya secara penuh oleh pemerintah untuk memiliki sesuatu, tanpa atau dengan campur tangan yang seminimal mungkin dari pemerintah yang saat ini kita kenal dengan sistem ekonomi kapitalisme. Didalam sistem pergaulan nilai-nilai ini akhirnya menyamar menjadi budaya individualisme serta hedonisme. Di dalam sistem politik berubah menjadi opportunisme dan didalam pendidikan menjadi materialisme. Intinya adalah bahwa setiap orang dilahirkan bebas (liberty) dan hanya ia yang berhak menentukan jalan hidupnya tanpa campur tangan atau dipengaruhi orang lain.
Dalam hal kehidupan beragama, pluralisme atau sinkretisme adalah turunan dari sekularisme, dimana pandangan ini menyatakan pluralitas (beragamnya) manusia, pendapat atau agama adalah suatu fakta yang tidak dapat ditawar-tawar lagi sehingga agar tidak menimbulkan konflik dan masalah di dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak boleh ada manipulasi nilai-nilai kebenaran oleh suatu kelompok, agama atau individu manapun. Kebenaran itu relatif dari mana kita memandang. Dengan kata lain semua agama adalah sama.
Walhasil, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya kemunculan sekularisme ini sendiri adalah dikarenakan oleh pemikir dan cendekiawan serta rakyat jelata yang dikecewakan oleh sistem pemerintahan agama (katolik), dan pemikiran derivatnya yaitu liberalisme dan pluralisme, termasuk kapitalisme dan demokrasi adalah produk yang sengaja disiapkan untuk menjadi tameng agar masyarakat eropa tidak lagi terjerumus pada trauma masa lalu, bersatunya negara dan agama.
Berbeda dengan Islam, sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan islam justru tercapai ketika Islam tidak hanya diposisikan sebagai agama ritual tetapi juga sebagai aturan hidup yang mengatur seluruh aspek dalam kehidupan. Menarik bila mengutip pernyataan Michael H. Hart, dalam kata pengantar bukunya yang berjudul 100 Tokoh paling Berpengaruh di Dunia, bahwa dia menempatkan Muhammad Rasulullah saw. menjadi tokoh nomor satu adalah karena Muhammad mempunyai kekuasaan spritual dan politis yang tidak dipisahkan satu sama lain. Sejarah tidak bisa berbohong bahwa abad keemasan umat muslim (Islamic golden age) pada saat kekhilafahan abbasiyyah dan awal kekhilafahan utsmaniyyah (750 M – 1500 M) telah menyatukan lebih dari 1/3 dunia, kekuasaan membentang dari sebagian eropa (andalusia/spanyol) hingga dataran balkan yang kekuatan laut maupun daratnya ditakuti di dunia. Juga tertulis dengan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia karya besar pemikir dan saintis muslim seperti al-Khawarizmi dengan teori matematikanya, al-Kindi dengan pemikirannya, Ibnu Sina dengan ilmu kedokteran dan kesusasteraannya yang telah menulis Asas Pengobatan (Canons of Medicine) serta ilmu optik, Ibnu Khaldun dengan sejarahnya dan Ibnu Rusyd dengan fikihnya. Pada pendidikan pun tak kalah hebatnya Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 5 juta rupiah dengan kurs sekarang). Atau pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dimana tidaka ada warga negara yang miskin sehingga zakat bagi orang miskin tidak dibagikan.
Semua gambaran tersebut adalah fakta yang terjadi ketika Islam dan kehidupan tidak dipisahkan. Ini karena Islam adalah sebuah sistem hidup, sebuah ideologi yang tidak bisa diterapkan secara sebagian. Ia juga tidak bisa dicangkokkan dengan ideologi lain semacam sekularisme dan sosialisme, dikarenakan Islam adalah metode hidup yang khas. Dan untuk menerapkan Islam yang kaaffah maka sesungguhnya diperlukan suatu institusi yang harus ada untuk menjamin terlaksananya semua aturan-aturan Islam, institusi inipun haruslah khas yang terpancar dari Islam, tidak yang lain, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah.
Oleh karena itu, sebagai seorang yang berusaha untuk melaksanakan semua aturan yang telah dibebankan oleh Allah SWT kepada kita, hendaknya kita tidak mengambil pandangan-pandangan yang tidak berasal dari Islam maupun memperjuangkannya, apalagi pandangan itu telah terbukti mudharatnya bagi kehidupan kita, agar kita dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kita di akhirat nanti
Barangsiapa mencari agama (diin) selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi(TQS ali-Imran [3]: 85)
Aturan-aturan Islam dalam masalah publik (negara) sejatinya justru harus dikembalikan lagi kepada umat muslim, semua muslim di dunia ini harus faham bahwa sesunggunya akar permasalahan yang menyebabkan bangkitnya barat dan terpuruknya Islam adalah satu: sekular (memisahkan agama dari negara).
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maaidah [5]: 50)
Akhirul kalam, kita harus benar-benar waspada terhadap pemikiran orang-orang yang bertujuan ingin menjauhkan kita dari Islam, sunnah rasul-Nya dan aturan-aturan (syari’at-Nya), meskipun terkadang penganut sekularisme ini ”kelihatan” berdalil ataupun rasional, namun akhirnya kita diajak untuk mengikuti kepada nilai-nilai kufur. Semoga Allah SWT melindungi kita dari hal-hal yang seperti itu.
wallahua’lam bi ash-shawab
akhukum @felixsiauw
Share:

Lemah Lembut itu Kekuatan Nan Perkasa

Lemah Lembut itu Kekuatan Nan Perkasa

Lemah Lembut itu Kekuatan Nan Perkasa
Kita perlu beristighfar atas kekurangan kita masing-masing, kelemahan diri kita dan kurangnya usaha dakwah kita hingga ummat Muhammad saw pada masa ini menghadapi berbagai masalah dalam berbagai rupa.
Zaman ini ummat Muslim dihajar habis-habisan oleh pemikiran kaum yang tidak suka dengan Islam, semisal terorisme, sekulerisme, pluralisme, demokrasi dan liberalisme. Dijangkiti pula oleh penyakit dari segi Harta, Tahta, Wanita. Ditambah pula dengan kaum remajanya yang dirusak oleh perang pemikiran (ghazwul fikri) dalam bentuk 3F; Food, Fun dan Fashion.
Seolah tidak cukup dengan keberadaan serangan dari luar ini, kaum Muslim menambah derita dan sengsara dengan melakukan permusuhan internal. Saling mencela dan memfitnah sudah jadi kontes tanpa akhir. Melaknat dan membuka aib laksanan rantai pembalasan dendam tanpa akhir, keduanya keras kepala dengan pembenaran “kami begitu karena anda begitu, kami berhenti bila anda berhenti” atau dengan slogan “pembalasan itu harus lebih kejam”.
Satu kelompok menjelek-jelekkan kelompok yang lainnya, dan kelompok lainnya merasa dirinya sendirilah yang benar dan yang lain sesat. Satu gerakan merasa dialah satu-satunya yang paling berjasa sementara gerakan yang lain menafikkan kebaikan gerakan yang satu. Senang bila partai lain terjengkang sementara satu partai lain bisa berdiri bahagia diatasnya seraya berkata “Makanya!”
Sudahlah dimusuhi, kita memusuhi diri sendiri
Sudahlah jatuh, ditimpa tangga, ditabrak truk lagi
Apalagi pada saat ini, sosial media telah menjadikan semua orang punya cara untuk mengumumkan diri. Bila dahulu kala metode komunikasi adalah satu arah, kini komunikasi tanpa tahu arah. Bila dahulu kala hanya pengemban dakwah yang sudah teruji yang bisa menyampaikan ide, sekarang siapapun bisa menyampaikan walaupun dirinya sendiri tak memahami apa yang dibicarakan.
Sebagian memang bagus hasilnya, namun sebagaian lagi tidak
Dunia maya memungkinkan arus pemikiran bertukar deras. Siapapun bisa mempublikasikan pemikiran dan siapapun bisa membantah, menyangkal, menghina, mencela, melaknat dan menjatuhkan. Ada orang yang merasa hebat bila bisa membungkam oang lain dalam media sosial, ada orang yang merasa paten bila bisa menyakiti saudaranya di media sosial.
Dan kata-kata kasar sudah menjadi keseharian dalam hidup kita
Saya tidak perlu mengambil contoh, karena tidak santun dalam tulisan ini. Juga anda sudah bisa mengaksesnya kapan saja dan dimana saja saat ini. Walaupun penggemar kata-kata kasar ini jumlahnya tidak banyak, namun mereka —sialnya— persisten (baca: keras kepala).
Sepertinya orang yang menderita kecanduan kata-kata kasar ini mendapatkan semacam kepuasan —adrenalin atau apalah— saat mereka berhasil menyakiti orang lain dengan kata-katanya. Mungkin semisal sadisme lisan, senang bila orang terluka karena lidahnya (dalam kasus sosial media yaitu apa yang dia tulis).
Setelah banyak mengamati perilaku-perilaku semisal ini, hampir-hampir kami berkesimpulan bahwa kegemarn akan kata-kata kasar ini bagaikan penyakit menular dan membuat kecanduan. Pelaku pasti akan ketagihan untuk megucapkan kata-kata kasar, dan biasanya orang yang berkumpul bersama-sama mereka juga mendadak senang berkata-kata kasar.
Padahal kata-kata kasar itu tidak mematikan kecuali bagi empunya, karena telinga pemilik kata-kata kasarlah yang paling dekat dengan tajam lidahnya. Memang betul, bila tajam lidahnya biasanya tumpul akalnya.
Bila lelaki yang berlisan kasar, maka itu akan merendahkan martabatnya. Namun bila wanita yang berlisan kasar, tentu itu lebih mengerikan lagi. Hilanglah segala keanggunannya, kemuliaan dan kehormatan dirinya, enggan dan pantang bagi lelaki mendekati.
Mengapa? Karena lisan itu ukuran akal. Lisan kita adalah apa yang senantiasa kita baca, kita dengar dan kita pikirkan. Apa yang masuk itu jualah yang keluar. Maka orang-orang yang berlisan kasar penuh serapah pastilah bukan Al-Qur’an yang dia daras.
Bila kita sering mencermati Al-Qur’an dan kisah-kisah Rasulullah serta para sahabat. Kita akan terenyuh dibawa, melarut didalam arus keindahan akhlak dan santun perilaku mereka. Generasi terbaik tanpa tanding karena tangis merendah mereka kala malam, kesempurnaan hidup mereka tatkaka siang, dan keimanan mereka sepanjang hidup
Kisah Rasulullah adalah pertunjukan paling memukau. Linang airmata kita yang jadi saksi kesabaran Rasulullah Muhammad saw, manusia terbaik yang pernah berjalan di muka bumi ini. Segala puji milik Allah yang menurnkan manusia yang diberi puji-pujian oleh manusia karena sifatnya yang paling terpuji.
Apalagi Al-Qur’an yang tiap hurufnya adalah kebaikan, merangkai kata-kata penuh hikmah dan kalimat penuh keberkahan. Tiap ayat adalah alunan yang lebih indah daripada sastra manapun, menjelma menjadi paragraf-paragraf penuh arti. Ia adalah surat cinta mesra dari Allah Pencipta Semesta Alam.
Duhai, bagaimana mungkin jiwa yang penuh dengan ilmu dan iman bisa mengeluarkan kata-kata kasar? Tidak mungkin.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS Ali Imraan [3]: 159)
Begitulah sifat Rasulullah yang dijelaskan Allah melalui Al-Qur’an, dia lemah lembut, tidak keras dan berhati kasar, pemaaf dan pengampun, serta senang meminta pendapat dalam satu urusan.
Kelembutan itu adalah rahmat daripada Allah yang diberikan pada hamba pilihan-Nya
إنَّ فيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ : الْحِلْمُ وَالأنَاةُ
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai Allah yaitu ketenangan dan ketelitian” (HR. Muslim)
إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ ، وَيَعْطِي عَلَى الرِّفْقَ مَا لاَ يَعْطِي عَلَى الْعُنْفِ ، وَمَا لاَ يَعْطِي عَلَى سِوَاهُ
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan. Dia memberikan pada kelembutan, apa-apa yang tidak diberikan pada sikap kasar, dan tidak pula Dia memberikan pada yang selainnya”. (HR Muslim)
Rasulullah saw juga bersabda,
عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ ، وَإِيَّاكَ وَالْعُنْفِ ، وَالْفَحْشِ ، إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ ، وَلاَ يَنْزِعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Wajib bagimu untuk berbuat lemah lembut, berhati-hatilah dari sikap kasar dan keji, sesungguhnya tidaklah sikap lemah lembut ada pada suatu perkara kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, melainkan akan memburukkan perkara tersebut”. (HR Muslim)
Dari Jarir bin Abdillah ra, Rasulullah saw bersabda,
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ ، يُحْرَمُ الْخَيْرَ كُلَّهُ
“Barang siapa yang diharamkan baginya kelembuta, diharamkan baginya kebaikan seluruhya” (HR Muslim)
Demikianlah kelembutan adalah kekuatan tersendiri. Bila ia ada pada Muslimah maka itu adalah tempatnya, namun bila ia dimiliki lelaki maka Rasulullah pastilah teladannya.
Bila niat kita untuk berdakwah lalu kita melegitmasi kata-kata kasar, maka kita harus mengetahui bahwa Rasulullah tiada pernah mencontohkannya. Rasulullah tiada pernah beramal dengannya. Banyak diantara riwayat yang menunjukkan pada kita bahwa Rasulullah menegur kaum kafir dengan lembut, pun menegur kaum Muslim dengan lebih lembut.
Karena yang benar akan dianggap salah bila disampaikan secara kasar, maka jadilah lembut dalam menyampaikan yang benar.
find me @felixsiauw
Share:

Tolaklah Kejahatan dengan Yang Lebih Baik

Tolaklah Kejahatan dengan Yang Lebih Baik

Tolaklah Kejahatan dengan Yang Lebih Baik
Sering kesal karena anda adalah pejalan kaki dan penikmat angkot harian, lalu menemukan angkot langganan anda ngetem lama hingga mengganggu jadwal yang sudah anda usahakan ditepati? Atau anda pengguna kendaraan roda dua atau empat yang hampir celaka lalu lintas karena angkot tetiba berhenti didepan mata, parkir di dua lajur diantara tiga lajur jalan, atau mengambil-menurunkan penumpang ditengah marka?
Anda tidak sendiri, saya rasa jutaan orang berpendapat yang sama.
Di republik ini —saya nggak tahu di tempat lain—, kesewenang-wenangan memang merajalela. Tiada peduli kaya ataupun miskin. Bila yang kaya seolah boleh sombong karena kekayaannya, maka yang miskin juga merasa yang sama. Karena merasa dirinya ‘wong cilik‘ atau ‘orang susah’ jadi seolah-olah menjustifikasinya melakukan apa saja semaunya, merasa punya hak untuk dzalim.
Karena susah, lantas merasa pantas untuk meminta-minta, boleh untuk bertindak semaunya, layak untuk berbuat seenaknya. Ini betul-betul mental yang buruk, tiada bedanya dengan orang kaya yang sombong karena hartanya.
Bila yang kaya memarkir kendaraannya sembarang tempat dengan legitimasi ‘kekayaannya’, maka yang miskin pun tak mau kalah dengan memarkir kendaraannya disembarang tempat karena legitimasi ‘kemiskinannya’. Tampaknya kita sudah mulai kehilangan rasa malu.
Bila yang kaya membuang sampah sembarangan karena merasa sudah ‘membayar’, maka yang miskin pun tidak mau kalah dengan membuang sampah sembarangan karena merasa ‘tidak mampu membayar’
Karena anda ‘wong cilik‘ atau ‘wong susah’, tidak lantas anda boleh merasa arogan.
Tapi itulah yang terjadi pada ummat Muslim di negeri ini. Seolah arogan menjadi boleh jika kita merasa tertindas, merasa kecil. Atau lebih tepatnya, merasa boleh bermaksiat sebagai balasan atas terdzaliminya diri kita.
Membalas yang serupa, atau yang lebih daripadanya. Mungkin ini mental buruk yang masih kita simpan, penanda hati yang mulai membusuk.
Seorang sopir angkot mungkin —mungkin— menganggap tindakannya ugal-ugalan di jalan, parkir dan ngetem memakan seluruh badan jalan, adalah tindakan yang benar. Sebagai balasan atas tertindasnya dirinya. Sama seperti orang kaya yang memarkir sembarangan kendaraan mewahnya karena merasa itu adalah balasan atas pajak yang dia bayarkan.
Perilakunya berdasar ide yang sama. Membalas.
Lucunya, perilaku ini bahkan hadir ditengah kelompok manusia istimewa diantara yang teristimewa, ialah pengemban dakwah. Seringkali diantara kita merasa boleh berkata kasar pada yang lainnya, mencela dan memaki tanpa henti, mengolok-olok dan mencaci. Hanya karena kita merasa sudah didzalimi.
Membalas yang sepadan, kalau bisa lebih menyakitkan. Bukankah itu idenya?
Padahal Allah telah ingatkan kita dalam Al-Qur’an dengan sebuah nasihat yang berlaku hingga akhir zaman
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang diantaramu dan dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (TQS Fushilat [41]: 34-35)
Tidak akan selesai dengan kebaikan orang-orang yang membalas kejahatan dengan sepadan atau dengan yang lebih menyakitkan. Jelas itu bukan cara Islam.
Membalas perlakuan serupa hanya menempatkan diri kita dalam tingkatan yang sama rendahnya, bukan amal yang luhur sebagaimana digariskan Islam, dan dicontohkan Rasulullah saw. Membalas perlakuan lebih menyakitkan tidak akan memberikan sebuah penyadaran, bahkan justru membuat mudharat yang lebih besar lagi.
Walau kita disakiti dan didzalimi oleh saudara seiman, hak saudara kita tetap lisan yang baik dan amal yang indah dari kita. Tiada terkotori oleh rasa dendam dan rasa ingin membalas. Wangi perbuatan inilah yang diajarkan oleh Nabi saw pada ummatnya.
تعرض الأعمال كل يوم اثنين وخميس، فيغفر الله عزَّ وجلَّ في ذلك اليوم لكل امرئ  لا يشرك بالله شيئاً إلا امرأ كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقول: انظروا هذين حتى يصطلحا
Amal perbuatan diperlihatkan (dihadapan Allah) setiap hari senin dan kamis, kemudian pada hari itu Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa setiap orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kecuali orang yang terdapat diantara dia dan saudaranya sebuah permusuhan, Allah berfirman: “Tangguhkanlah dari kedua orang ini hingga keduanya berdamai” (HR Muslim)
Seseorang mencela Imam As Sya’bi, lalu As Sya’bi mejawab: “Bilamana engkau berbohong, semoga Allah mengampunimu, namun bila engkau benar, semoga Allah mengampuniku”
Tidak sulit “menolak kejahatan dengan cara yang lebih baik”. Karena sesungguhnya syaitan bersemayam dalam tindakan kasar kepada sesama, dan lisan buruk yang terucap dari lisan. Tanpa kita sadari amal kita dibakar habis api hasud dan meninggalkan debu yang kelak disapu angin waktu. Atau lebih parah lagi amal kita sudah disita ghibah dan kata-kata kasar, meninggalkan kita dengan hutang dosa yang kelak dibayar dengan menindihkan diri atas dosa orang lain. Tiada guna balas membalas dalam keburukan. Tiada manfaat balas membalas bahkan dengan yang lebih buruk.
Jadilah pemaaf. Jadilah orang yang bertanggung jawab atas diri kita. Bukan pelaknat dan karenanya kita dicatat sebagai yang terlaknat.
Patut dicatat, pada saat Perang Uhud, kaum Muslim banyak yang gugur, bahkan wajah Rasulullah terluka tersayat pedang. Darah bercucuran dan satu gigi beliau tanggal terkena tombak musuh. Pada saat itu, ada sebagian sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang musyrik.”
Dengan suara lirih menahan rasa sakit, beliau menjawab, “Tidak, aku bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat” (HR Muslim)
Biarlah orang lain bertindak dzalim, maka tugas kita menasihati bukan melaknati, memberikan keterangan bukan membalas yang sepadan, menampilkan kebaikan bukan justru menyakitkan.
Dan bila urusan ‘balas-membalas keburukan ini bisa selesai’. Mudah-mudahan karena kita lantas orang-orang terinspirasi. Dari yang mulia hatinya karena mengemban Islam orang bisa mengambil tauladan. Karenanya tersebarlah Islam, dan mulialah agama.
Akal bisa diajar dengan dalil, namun hati hanya dengan akhlak bisa diambil. Bersikaplah mulia, dan mudah-mudahan Allah ganjar dengan surga.
akhukum, @felixsiauw
Share:

Total Pageviews