MOTIVASI HIDUP ISLAM

Visit Namina Blog

Wednesday, 7 January 2015

Toleransi Islam untuk 25 Desember

Toleransi Islam untuk 25 Desember

Toleransi Islam untuk 25 Desember
Natal jelas bukan perayaan kaum Muslim, dan kaum Muslim harusnya tidak berkepentingan dengan itu. Namun jelas ada hubungannya dengan kaum Muslim mengingat sebagian besar daripada kita juga berhubungan dengan sesama kita yang merayakannya. Karena itu menjadi penting kiranya kita membahas bagaimana pandangan Islam tentang Natal dan seputarnya serta toleransi kita di dalamnya.
Sebagaimana yang kita ketahui, 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus Sang Mesias (Isa Al-Masih). Walaupun gereja Katolik menganggapnya begitu.
Encyclopedia Britannica (1946), menjelaskan, “Natal bukanlah upacara-upacara awal gereja. Yesus Kristus atau para muridnya tidak pernah menyelenggarakannya, dan Bible (Alkitab) juga tidak pernah menganjurkannya. Upacara ini diambil oleh gereja dari kepercayaan kafir penyembah berhala.”
Secara sains, dibuktikan tanggal 25 Desember adalah pertama kalinya matahari bergerak ke arah utara dan memberikan kehangatan setelah matahari berada di titik terendah di selatan pada 22-24 Desember (winter solstice) yang menyebabkan bumi berada di titik terdingin.
Karena itulah orang Yunani pada masa awal merayakan lahirnya Dewa Mithra pada 25 Desember, dan orang Latin merayakan hari yang sama sebagai kelahiran kembaliSol Invictus (Dewa Matahari pula)
Singkatnya, Bila kelahiran Yesus disangka 25 Desember, maka itu adalah kesalahan yang nyata
Namun, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah bahwa umat Kristen telah menjadikan tanggal 25 bukan hanya sebagai peringatan, tapi perayaan kelahiran ‘Tuhan Yesus’ bagi mereka. Sehingga permasalahannya berubah menjadi permasalahan aqidah.
Karena itulah dalam Islam, kita pun dilarang ikut-ikutan merayakan Natal, karena itu adalah perayaan aqidah. Termasuk ikut memberikan ‘selamat natal’ atau sekadar ucapan ‘selamat’ saja. Karena sama saja kita mengakui bahwa Natal adalah hari lahir ‘Tuhan Yesus’ bagi mereka
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih (TQS al-Maaidah [5] : 73)
Seringkali kita beralasan, “Tapi kan nggak enak, dia bos saya / teman saya / dll, masak saya nggak ngucapin, kalo dalam hati mengingkari kan gak papa, yang penting niatnya! Toleransi dong!”
Perlu kita sampaikan, niat apapun yang kita punya, apabila kita melakukan hal itu, maka sama saja hukumnya. Dan toleransi bukanlah mengikuti perayaan aqidah umat lain. Oleh karena itu harusnya kita lebih takut kepada Allah dibanding kepada manusia.
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (TQS al-Maaidah [5] : 44)
Lalu bagaimana toleransi Islam terhadap agama lain? Toleransi kita hanya membiarkan mereka melakukan apa yang mereka yakini tanpa kita ganggu. Itulah toleransi kita.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (TQS al-Kaafiruun [109] : 6)
Toleransi bukannya ikut-ikutan dengan kebablasan dan justru terjebak dalam kekufuran. Sebagai Muslim harusnya kita menyampaikan bahwa perayaan semacam ini adalah salah. Dan kalaupun toleransi, bukan berarti mengorbankan aqidah kita, mari kita ingat pesan Rasulullah
”Sungguh kamu akan mengikuti (dan meniru) tradisi umat-umat sebelum kamu bagaikan bulu anak panah yang serupa dengan bulu anak panah lainnya, sampai kalaupun mereka masuk liang biawak niscaya kamu akan masuk ke dalamnya pula”. Sebagian sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasrani-kah?” Beliau menjawab: ”Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)
Walhasil sekali lagi kita mengingatkan bahwa haram hukumnya di dalam Islam mengikuti perayaan Natal, juga termasuk mengucapkan ‘Selamat Natal/Selamat’ ataupun yang semisalnya. Mudah-mudahan Allah menunjuki kita dan mereka
Felix Siauw
follow me on twitter @felixsiauw
Share:

BBM Naik, Takdir dan Rezeki, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

BBM Naik, Takdir dan Rezeki, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

BBM Naik, Takdir dan Rezeki, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
“jangan panik, saat BBM naik, Allah sudah mengatur rezeki pada hamba-Nya”
“tenang saja, Allah tidak akan menimpakan beban lebih daripada yang mampu kita tanggung”
Kita tentu menemui pernyataan serupa diatas, terlepas apapun maksudnya, kita coba menangkap baik sajalah. Maksudnya mungkin, kenaikan BBM ini sudah terjadi, yang berlalu ya sudah, yang penting bagaimana kita menyikapinya
Namun, sebagai seorang Muslim, kita pun khawatir ada pemahaman yang salah mengenai konsep rezeki yang dicampuradukkan pemahamannya dengan konsep dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar, khawatir dengan logika semisal ini ummat jadi berpikir seperti kaum fatalis jabariyyah atau murji’ah yang menganggap bahwa kemunkaran dan kedzaliman pun sudah ditakdirkan Allah
Pertama, keyakinan seorang Muslim terhadap jatah rezeki tentu bagian daripada keimanan, bahwa bila dia masih hidup, maka Allah pasti akan mencukupinya, pasti masih ada jatah perutnya. Ini bagian keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang Muslim, karena dalam Al-Qur’an Allah hanya menisbatkan rezeki pada diri-Nya yang menanggungnya.
Namun berbeda dengan menyikapi kemunkaran, ini pun bagian daripada kewajiban kaum Muslim yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, termasuk menasihati pemimpin, ini adalah bagian daripada perintah agama
“Rasulullah bersabda, “Agama adalah nasihat”, kami bertanya : “Bagi siapa?” Rasulullah menjawab : “bagi Allah, bagi kitabNya, bagi Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum Muslimin dan kaum muslimin pada umumnya” (HR Muslim)
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim” (HR Abu Dawud)
Artinya saat kita menasihati penguasa bahwa kenaikan BBM ini adalah kedzaliman dan bertentangan dengan cara Islam mengatur sumberdaya alam, dan menyusahkan ummat, bukan berarti kita tidak beriman dengan rezeki Allah, namun melaksakan sebagaian kewajiban dari Allah dan Rasulullah, yaitu menasihati penguasa.
Maka dalam konteks kenaikan BBM lalu meminta agar rakyat beriman pada takdir Allah, agaknya kurang pas. Karena hal ini akan diterima sebagai “menerima kedzaliman” bukan “menerima takdir”, karena yang harus dilakukan tatkala melihat kemunkaran hanya 3 hal: 1) mengubah dengan tangan (kekuasaan), 2) menasihati dengan lisan, atau 3) mengingkari dengan hati.
Inilah jalan para salafus salih saat menghadapi kemunkaran
Maka mendiamkan kemunkaran padahal kita tahu dan mampu untuk menyampaikan dakwah adalah perbuatan yang tidak dicontohkan para sahabat dan ulama salaf.
Hanya saja, memang penting sekali bagi para penyampai ayat Allah dan peringatan ini untuk berucap santun dan bijak, menasihati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang bukan malah mencela, melaknat, berkata kotor dan menghina yang justru menjauhkan para pemimpin ini dari mendengar nasihat
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS 20: 43-44)
“Qaulan layyina” menurut Ibnu Katsir adalah “perkataan yang lemah lembut, santun, mudah dimengerti, dan bersahabat, agar lebih mudah meresap ke dalam jiwa serta lebih tepat dan pas”
Kita berdakwah bukan karena tidak beriman pada takdir, bukan pula memprovokasi, tapi inilah kewajiban menasihati penguasa, yang Allah wajibkan saat kita melihat kemunkaran, termasuk kemunkaran yang jelas saat BBM naik seperti ini.
Kita berdakwah bukan tersebab benci tapi karena peduli, bukan karena berang namun karena kasih sayang
Maka kita pun menyampaikan kepada penguasa, nasihat Nabi saw, dalam doanya,
doa Nabi saw, “Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia” (HR Muslim)
Share:

Dracula Untold; Upaya Stigmatisasi Negatif Islam

Dracula Untold; Upaya Stigmatisasi Negatif Islam

Dracula Untold; Upaya Stigmatisasi Negatif Islam
Terus terang sampai saat saya menulis artikel ini, saya sama sekali belum pernah menyaksikan film yang “Dracula: Untold” yang dirilis industri film terbesar dunia Hollywood itu. Yang jelas sebelum saya menyaksikan sebenarnya saya pun sudah mendapat kabar bahwa film tersebut akan ditayangkan pada bulan Oktober ini.
Bagi saya, Dracula punya tempat tersendiri dalam benak. Bukan karena saya fans Dracula, tapi lebih kepada secara historis, banyak sekali tokoh-tokoh yang terdistorsi, dan akhirnya berujung pada penggambaran tidak sebenarnya, termasuk Dracula yang sebenarnya punya kelindan sejarah dengan sejarah Islam.
Sebagai seorang Muslim yang menggemari sejarah, khususnya sejarah Khilafah Utsmani, lebih khusus lagi rentang waktu masa kebangkitan dan kejayaan Utsmani (1453 – 1571), nama Dracula semakin penting bagi saya, karena berkaitan erat dalam rentang waktu yang saya dalami sejarahnya. Dracula berkaitan dengan tokoh sentral yang membawa Utsmani ke masa kegemilangannya yaitu Sultan Mehmed II Al-Fatih, juga berkaitan dengan serentetan peristiwa yang terjadi di masa pemerintahannya.
Bila ada yang paling bertanggung jawab atas distorsi Dracula maka Bram Stoker adalah orangnya, dari novel yang dibesutnya, Dracula diingat oleh orang tidak ada ubahnya seperti setan, kastil mengerikan, vampire, dan tokoh-tokoh mengerikan lainnya. Walaupun Bram Stoker tidak salah secara total, Dracula memang sadis dan mengerikan aslinya, bahkan kesadisannya melewati kesadisan yang pernah ada dalam sejarah manusia, namun tetap Dracula versi Bram Stoker bukanlah Dracula yang sebenarnya.
Karenanya tatkala menyaksikan trailer “Dracula: Untold”, setengah diri saya merasa bergembira, sontak saya berkata kepada Sayf Muhammad Isa, rekan penulis saya di buku Novel Serial “The Chronicles Of Ghazi”
“Sa, akhirnya ada film yang menggambarkan sosok Dracula yang benar sebagaimana sejarah! Walaupun tau sendiri lah, Hollywod akhirnya mencampurkannya dengan takhayul untuk kepentingan komersial, pake bisa berubah jadi kelelawar segala, kayak betmen aja..”.
Saya tidak berharap banyak pada Hollywood, dan saya sudah menebak bahwa film ini akan penuh dengan twist sejarah sebagaimana film Hollywood yang sudah-sudah, secara mereka memang bukan lembaga penelitian sejarah, namun pembuat hiburan. Dan Hiburan sebagaimana yang kita ketahui, jarang yang memperhatikan efek edukasi dan kebenaran sejarah.
Karenanya menjadi sebuah tanggung jawab bagi saya seorang penggemar sejarah Islam, untuk mengkritisi film ini, dan menyajikan fakta-fakta yang sebenarnya, agar kaum Muslim memiliki opsi tentang sejarah Dracula yang sebenarnya, dan bahkan mengetahui sejarah yang sebenarnya.
Sedikit Jalan Cerita “Dracula: Untold”
Mengambil setting pada abad ke-15 lebih tepatnya sekitar tahun 1461, dikisahkan Vlad III (Dracula) yang sedang berkuasa di Transylvania kedatangan utusan dari Kesultanan Turki Utsmani yang dipimpin oleh Hamza Bey untuk menyerahkan 1.000 laki-laki untuk dijadikan pasukan khusus bagi Sultan Mehmed II.
Mengetahui bahwa 1.000 anak laki-laki yang diminta akan dilatih menjadi pasukan khusus Turki sebagaimana dirinya, Vlad tidak ingin anak muda Transylvania dilatih seperti dirinya, yang menjadi mesin pembunuh sempurna tanpa kode etik dan moral. Dia menolak permintaan itu, dan dari sinilah masalahnya dimulai.
Singkat cerita, karena kekurangan jumlah pasukan dan infrastruktur, Vlad menjual jiwanya pada Master Vampire yang memberinya kekuatan malam, kekuatan terlarang yang dengannya dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan, termasuk menghancurkan pasukan Turki hanya dengan kekuatannya saja.
Dus, pertempuran antara Vlad dan Mehmed tidak bisa dielakkan, demi melindungi putranya dan juga keluarganya, serta seluruh Transylvania dan juga Eropa yang berada dalam bahaya invasi Mehmed yang bengis, Vlad harus menjual jiwanya, dia harus menjadi jahat untuk punya kekuatan dan menang. Dan begitulah akhirnya, Vlad berhasil mengalahkan Mehmed dan membunuhnya dengan cara menghisap darahnya, cerita pun berakhir. Dan Vlad telah mati, dan Dracula pun lahir.
Dan tanpa sadar, sekali lagi Hollywood menyesatkan dunia, menjadikan Islam dan Muslim sebagai antagonis, dan kekejaman Vlad seolah dihumanisasi, dianggap wajar demi melindungi keluarganya, dan mempertahankan dunia Barat, Kristen sebagai protagonis.
Dan sekali lagi, dengan mengorbankan fakta-fakta sejarah yang sebenarnya.
Sejarah Sebenarnya Tentang Vlad III Dracul (Dracula)
Pada faktanya, Vlad III tidak pernah menguasai Transylvania, namun wilayah yang diwariskan kepadanya adalah wilayah Wallachia, Rumania. Dia adalah anak dari Vlad II yang menyerah pada kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani pada masa Murad II, ayah Mehmed II. Mehmed II dan Dracula memang berseteru, namun Mehmed tidak pernah mati di tangan Dracula, yang terjadi justru sebaliknya, Dracula yang kalah dalam perseteruannya dengan Mehmed II.
Ilustrasi Vlad III Dracul yang sesungguhnya berbanding Dracula yang ada di Hollywood
“Dracul-ae” itu sebutan bahasa Rumania untuk bangsawan Ordo Naga (Rumania; Draco = Naga), dan akhiran “-ae” bermakna “putranya dari”. Adapun “Ordo Naga” ini sendiri adalah salah satu kelompok ksatria yang disiapkan oleh Sigismund sang Raja Suci Romawi sebagai ksatria khusus dalam perang salib
Nama Dracula sendiri merujuk pada Vlad III “Tepes”, anak dari Vlad II voivode (gubernur) Wallachia, Rumania. Pada masa Vlad II ayahnya, Wallachia dikuasai oleh Kesultanan Utsmani, dan sebagai jaminan kesetiaan, Vlad III (Dracula) kemudian dikirimkan untuk disekolahkan di Kesultanan Utsmani
Dracula/Vlad III lalu dididik di kesatuan Yeniseri, tempat pasukan khusus militer Kesultanan Turki bersama adiknya Radu Cel Frumos. Disitulah mereka belajar di kesatuan militer terbaik pada masanya. Usia Dracula waktu itu masih belia, 13 tahun saja, hanya selisih satu tahun lebih tua dari Mehmed II putra Murad II Sultan Turki pada saat itu.
Namun walau masih belia, Dracula sudah disumpah dalam Ordo Naga yang dibentuk untuk memerangi kaum Muslim, dan itulah yang jadi niatnya. Karenanya dia sangat membenci Mehmed dan Islam, walau adiknya Radu Cel Frumos menjadi Muslim dan panglima Yeniseri kepercayaan Mehmed pada gilirannya saat memangku jabatan Sultan Turki.
Saat ayahnya Vlad III Dracul, yaitu Vlad II dibunuh dan dikudeta pada 1447 oleh John Hunyad dari Hungaria, Kesultanan Utsmani lalu membantu membebaskan Wallachia dari cengkeraman John Hunyad. Selepas itu Sultan Murad II, ayah Mehmed II, lalu meminta pada Vlad III untuk menggantikan ayahnya memimpin di Wallachia.
Diluar dugaan Sultan Murad II, inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Vlad III Dracul, yang sedari awal pun membenci ayahnya karena mau tunduk pada kaum Muslim. Berbekal bahasa Arab, Turki dan pengetahuan militer di Yeniseri, Dracula menyamar menjadi bagian dari kaum Muslim di setiap benteng-benteng kaum Muslim dan menghabisi benteng-benteng Islam di Rumania dari dalam.
Pasca 1453 Sultan Mehmed II yang bergelar Al-Fatih karena berhasil menaklukkan Konstantinopel, mengutus beberapa utusannya untuk memastikan semua hal baik-baik saja di Wallachia pada tahun 1459. Tanpa ampun Vlad III Dracul membunuh utusan-utusan dari Kesultanan Turki yang datang untuk menagih jizyah (pajak bagi orang kafir) yang seharusnya dibayarkan setiap tahun. Mencari masalah, Vlad III membunuh para utusan ini dengan memaku surban mereka ke kepalanya. Dengan dalih bahwa utusan itu bertindak kurang ajar, tidak menghormatinya dengan tidak mau melepas surbannya, dan hanya ingin membuka surbannya dihadapan Allah.
Mendengar hal ini Sultan Mehmed II lalu menanggapi masalah Wallachia secara khusus. Pada 1461 Sultan Mehmed II memerintahkan panglimanya Hamzah Bey membawa 1.000 pasukan untuk menangkap Dracula dan mengembalikan kestabilan di wilayah Wallachia, dan nasib 1.000 pasukan ini berakhir tragis.
Dracula menggunakan kemampuan infiltrasinya dengan apa yang dia pelajari di Yeniseri, dia benar-benar memahami taktik dan strategi berperang ummat Muslim, lalu dengan gerakan-gerakan yang efektif, Dracula kemudian mengalahkan dan membantai 1.000 pasukan Muslim itu. Dracula menyula (menusuk dengan kayu dari anus hingga tembus ke kerongkongan) 1.000 pasukan ini, hingga jadi hutan mayat manusia. Hamza Bey, komandan pasukan ini, ditempatkan ditengah hutan mayat dan ditaruh di kayu paling tinggi sebagai simbol.
Sejak itu Vlad III Dracul mendapat gelar “Tepes” atau “The Impaler” – “Sang Penyula”, kekejamannya dikenal dan diakui dunia
Mendapati hal ini, Sultan Mehmed II lalu menugaskan Radu Cel Frumos, adik dari Vlad III Dracula untuk memimpin 90.000 pasukan guna menghentikan Dracula. Perlu serigala untuk hentikan serigala, Mehmed paham bahwa Radu orang yang tepat karena dataran Rumania hanya bisa dipahami orang aslinya
Radu Cel Frumos (Radu The Handsome), adik dari Vlad III Dracul
Berbeda dengan kakaknya Vlad III Dracula, adiknya Radu Cel Frumos (The Handsome) ini memeluk Islam dan menjadi Muslim serta pemimpin pasukan khusus Yeniseri. Radu memimpin 90.000 menerobos hutan dan tanah berbukit Rumania untuk menyerang kakaknya Dracula yang bertahan di benteng ‘Poenari’ miliknya
Catatea Poenari, Benteng Vlad III Dracula
Pertempuran ini sangat tidak mudah, mengingat Cetatea Poenari (Benteng Poenari), sangat terjal tanahnya dan sulit ditembus. Akhirnya serangan Radu pada 1462 puncaknya di Benteng Poenari terjadi malam hari yang dikenal “Atacul de Noapte” – “The Night Attack”
Radu Cel Frumos menggantikan Dracula jadi pemimpin Wallachia setelah mengalahkannya. Dracula yang kalah dalam peperangan menyelamatkan diri dan lari meminta perlindungan pada John Hunyad Raja Hungaria. Dracula menghabiskan sisa hidupnya dibawah kekuasaan pembunuh ayahnya, John Hunyad yang juga rival Sultan Mehmed lainnya, sebelum akhirnya Dracula meninggal pada 1478 ditebas pedang pasukan Utsmani juga.
Namun warisan Dracula tetap kekal bagi dunia, kekejaman tiada banding yang dia contohkan, dan kebiadaban tanpa batas. Sampai saat ini Rumania mengakuinya sebagai pahlawan negara dalam perang salib, dan patung-patungnya bertebaran di Rumania. Bagi kaum Muslim, Dracula adalah simbol kekejaman musuh kemanusiaan, penusuk manusia, dan penghisap darah. Namun saat ini konsep Dracula, Vampir, dibuat dan dibungkus dengan bagus hingga memikat ummat Muslim dan melupakan wajah aslinya
Hollywood memang pintar berpropaganda dengan memelintir sejarah, dan menjadikan Kesultanan Turki yang Muslim seolah beringas, barbar kejam dan tak berprikemanusiaan. Padahal dalam kenyataan justru sebaliknya, pasukan Muslim adalah pasukan yang penuh kebaikan, kekesatriaan dan mempertunjukkan nilai-nila dasar seperti keberanian, kejujuran, kasih-sayang dan pengampun.
Karena itulah, saya dan Sayf Muhammad Isa, membesut kisah sebetulnya dari para pejuang Islam dari Turki Utsmani ini, yang bangga menyebut dirinya pejuang Allah, Ghazi. Dimana Dracula juga menjadi bagian penting daripada penceritaan ini. Dan secara sejarah, isi novel ini juga mampu dipertanggungjawabkan, karenanya kami menyebutnya Novel Sejarah, menghibur secara benar, menanamkan karakter mulia pada anak tanpa menipu.
Bagi yang tidak puas dengan film “Dracula: Untold” silakan cek karya yang kami besut dalam Trilogi “The Chronicles of Ghazi”yang diterbitkan oleh AlFatihPress, kisah Kesultanan Turki Utsmani termasuk Dracula yang sebenarnya berdasar sejarah. Akan ada 3 buku yang akan ditulis tentang kisah para Ghazi ini, dan baru dua buku yang sudah diap dinikmati di pasaran. Buku pertama bertema “The Rise of The Ottomans” dan buku kedua bertema “The Clash of Cross and Crescent”, buku ketiga nanti bertema “The Conquest”.
Kami mengisahkan Sultan Mehmed yang sudah dinubuwwahkan oleh Rasulullah sebagai “pemimpin terbaik” yang menaklukkan Konstantinopel. Kami mengisahkannya sehingga karakter ksatria dapat mendarah daging pada kaum Muslim. These are the real untold.
@felixsiauw
Penulis
Share:

Antara Hawa Nafsu dan Syariat Allah

Antara Hawa Nafsu dan Syariat Allah

Antara Hawa Nafsu dan Syariat Allah
Pernah denger nggak sih, kalimat semisal ini?
“Jangan kayak gitulah, kalo gitu sih terlalu ekstrim”
“Islam itu kan toleran, mudah, nggak nyusah-nyusahin, fleksibel”
Kalimat yang begini, bila diucapkan oleh seorang ulama yang mengerti tentang agama tentu sesuatu yang baik, sesuatu yang benar. Tapi seringnya kalimat-kalimat semisal ini keluar dari lisan orang-orang yang malas dan nggak serius mempelajari Islam, untuk membenarkan kesalahan yang dia lakukan, untuk memilah-memilih hukum mana yang dia suka dan mengabaikan hukum yang tidak dia suka atau bertentangan dengan perbuatannya.
Misalnya, seringkali saya menyampaikan tentang haramnya riba dan turunannya seperti KPR, leasing, kartu kredit, serta haramnya beberapa transaksi ekonomi lain seperti asuransi dan perdagangan saham, biasanya yang keluar dari orang yang begini,
“Jangan kayak gitulah, kalo gitu sih terlalu ekstrim”
Tidak terjadi hal semisal itu ketika saya menjelaskan pada masyarakat tentang keutamaan berpuasa sunnah, rajin bersedekah, semangat dalam menghapal Al-Qur’an, memperbanyak shalat malam dan sunnah-sunnah nawafil lainnya.
Mengapa bisa begitu?
Memang kita hidup dalam masyarakat yang menjadikan dirinya sendiri dan nafsunya menjadi standar atas baik dan buruk, atas halal dan haram, bukan Allah yang menentukannya.
Sesuatu yang menurut dia baik lantas dikatakan baik, sesuatu yang dia belum melakukannya atau dia belum mau melakukannya, maka dikatakan ekstrim. Sayangnya dia sendiri malas dan lalai dalam mempelajari agama.
Lucunya, terkadang ulama yang jelas lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari agama Islam, dan jelas lebih mengetahui apa yang kebanyakan manusia tidak mengetahui tentang perkara agama, bisa dihukumi “sesat” atau “tidak sesat” oleh segolongan manusia berdasarkan hawa nafsunya.
Hampir-hampir mirip dengan sifat kaum Yahudi yang ketika didatangkan seorang Rasul bagi mereka, bila Rasul itu menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka, maka mereka mendebat bahkan membunuh Rasul itu. Bedanya dengan sekarang, baru sebatas pembunuhan karakter.
Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh (QS Al-Maaidah [5]: 70)
Ceritanya, ada orang yang masih berkutat dengan riba, bahkan hidup dari sana. Sudah umum juga diketahui bahwa seringkali dia melibatkan suap dalam melancarkan bisnisnya. Dan, suatu waktu ada ulama yang menyampaikan haramnya riba dan suap, maka dia katakan
“Wah, itu ustadz ekstrim, salah tuh, terlalu menghakimi dan terlalu keras”
Nah, jadi sekarang yang “Ustadz” yang mana sih, dia atau yang sudah belajar? Jadi, yang “terlalu menghakimi” dan “terlalu keras” siapa?
Agama Islam ini memang agama yang mengatur seluruh kehidupan manusia, karena datang dari Allah yang Maha Mengatur. Memang ada beberapa hal di dalam Islam yang hukumnya syubhat (abu-abu) atau ada ikhtilaf (perbedaan) ulama dalam memandang hukumnya. Namun lebih banyak lagi di dalam agama ini yang sudah jelas-jelas hukumnya didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah qalbu (HR Bukhari Muslim)
Semua tertulis jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kalau saja kita mau belajar mengerti dan memahami hal tersebut.
“Tapi kan nggak semua orang yang bisa paham itu? Baca Al-Qur’an dan As-Sunnah pun harus ada penjelasannya kan?”
Betul sekali, karena itu mulailah belajar. Minimal sediakan tafsir Al-Qur’an sebagai teman dalam membaca Al-Qur’an, setelah tilawah, lanjut dengan merenungi arti serta tafsirnya, dan diskusikan dengan ahli ilmunya bila masih ada yang kurang memahami.
Beli buku yang berkaitan dengan masalah yang kita ingin kuasai, datangi majlis-majlis ilmu yang membahasnya, atau bahkan undanglah yang memiliki ilmunya untuk membahasnya bersama-sama.
Tapi tidak dengan mengatakan,
“Islam itu kan toleran, mudah, nggak nyusah-nyusahin, fleksibel”
Lalu dia menyerahkan definisi “toleran-mudah-nggak susah-fleksibel” itu sesuai dengan dia, tanpa ilmu, tanpa pengetahuan, sehingga sudah pasti akan menuju jalan kesesatan.
Terus terang, saya lebih kagum dan respek pada beberapa teman yang masih bermaksiat namun sadar bahwa mereka bermaksiat, sadar bahwa mereka salah. Hanya perlu dukungan dan waktu saja, dan tentu izin dan hidayah Allah agar mereka mau berubah ke arah yang baik. Karena kesadaran akan kebenaran itu sudah setengah dari kebaikan.
Ada yang tahu kerudung punuk unta itu dilarang, tapi masih menggunakannya, tapi dia sadar betul dan mau untuk mengubah penampilannya, hanya masih belum yakin, hanya masih perlu waktu.
Ada yang masih pacaran, tapi kemana-mana bilang haramnya pacaran. Bukan karena niat yang salah atau sengaja, tapi mungkin masih belum yakin, setan munafik masih ada di dalam hatinya, mungkin masih perlu waktu dan dukungan.
Ada yang masih makan riba, tapi sadar perbuatannya salah, lalu mengundang para asatidz datang ke kantornya, untuk ceramah haramnya transaksi riba. Niatnya sudah ada namun perlu penguatan. Mungkin dia ingin sama-sama karyawanya keluar dari kantor yang penuh riba.
Semua yang begini, kita hormati dan respek, kita dukung dan kita dampingi. Karena kesadaran dan niat sudah ada, kita tinggal memperbesar kesadaran dan niatan itu.
Yang jelas, beda dengan yang kita bahas di depan. Sudahlah salah, malah menyalahkan hukumnya Allah, malah menyalahkan ulama yang membawakan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan malah menuntut agar syariat Islam disesuaikan dengan nafsunya.
Lalu yang jadi Tuhan siapa? Allah atau manusia?
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS Al-Furqaan [25]: 43)
Hanya kepada Allah tentu kita menyembah, artinya hanya pada Allah seluruh ketaatan atas peraturan. Kalaulah kita belum bisa melaksanakannya, maka berdoalah semoga kita diberi kemampuan untuk melaksanakannya, dan keseriusan dalam melaksanakannya.
Janganlah kita jadi orang yang menentang, bahkan menjadikan diri kita sebagai pembuat aturan setelah Allah menurunkan syariat yang jelas yaitu Islam. Tugas kita memahami aturan Allah bukan membuat aturan, mencari dalil halal-haram bukan membuat dalil halal-haram.
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (QS Al-Jaatsiyah [45]: 18)
Untuk beberapa pembahasan tentang transaksi ekonomi yang saya sebutkan diatas, boleh membaca beberapa artikel dibawah ini, atau silakan cari referensi-referensi lain yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
http://konsultasi.wordpress.com/2008/11/20/riba-definisi-hukum-dan-macamnya/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/leasing-sepeda-motor/
http://konsultasi.wordpress.com/2010/01/29/bolehkah-memanfaatkan-kartu-kredit/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/09/14/jual-beli-saham-dalam-pandangan-islam/
http://konsultasi.wordpress.com/2012/05/22/hukum-asuransi-syariah/
untuk mendapatkan buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.com atau ke pages Facebook alfatihbookstore
akhukum @felixsiauw
Share:

“Siapa Pemimpin” Tidak Lebih Penting Dari “Dengan Apa Dia Memimpin”

“Siapa Pemimpin” Tidak Lebih Penting Dari “Dengan Apa Dia Memimpin”

“Siapa Pemimpin” Tidak Lebih Penting Dari “Dengan Apa Dia Memimpin”
Allah telah menurunkan agama Islam sebagai agama yang benar, sempurna dan paripurna. Mengatur segala hal termasuk di dalamnya adalah urusan kepemimpinan dan sistem kepemimpinan, tentang siapa yang layak menjadi pemimpin dan dengan apa dia harus memimpin.
Bila kita melihat di dalam Kitabullah dan Sunnah, ada beberapa syarat dan panduan bagi seseorang agar layak menjadi seorang pemimpin. Disingkat menjadi 7 syarat yaitu, Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan budak), adil (bukan orang fasik) serta mampu memikul tugas-tugas dan tanggung jawab kepala negara.
Allah misalnya dengan tegas menggariskan bahwa tidak boleh bagi kaum Muslim memiliki pemimpin seorang selain Muslim, karena pasti akan terjadi mudharat di dunia.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin atau peindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS An-Nisaa [4]: 144)
Dan tentu banyak lagi dalil lain di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merinci bagaimana syarat dan keutamaan seorang pemimpin di dalam Islam. Tidak hanya memberikan batasan, Islam pun memberikan contoh nyata pemimpin amanah ini semisal Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khaththab, Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abu Thalib dan tentu saja Rasulullah Muhammad saw.
Namun Islam tidak hanya merinci pemimpin seperti apa yang harus ada diantara kaum Muslim. Lebih daripada itu, Islam lebih banyak merinci seperti apa seorang pemimpin harus memimpin, dengan apa dia memimpin. Dengan kata lain, Islam justru lebih menekankan pentingnya sistem kepemimpinan dibandingkan dengan pemimpin. Sistem kepemimpinan inilah yang harus berdasar Kitabullah dan Sunnah, sedangkan pemimpin di dalam Islam adalah orang yang tinggal menjamin pelaksanaan hukum Allah dan Rasul semata.
Misalnya, tatkala Allah memerintahkan ketaatan terhadap ulil amri (empunya urusan atau pemimpin), maka Allah menggandengkan perintah ketaatan tersebut dengan Kitabullah dan Sunnah sebagai syarat wajib ketaatan pada pemimpin.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS An-Nisaa [4]: 58)
Muhammad bin Ka’ab, Za’id bin Aslam, dan Syahr bin Hausyab berkata “Sesungguhnya ayat ini diturunkan untuk para umara’ (para pemimpin), yaitu mereka yang berwenang memutuskan hukum diantara manusia”. Ibnu Katsir menanambahkan dalam tafsirnya, “Artinya, Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah, menetapkan hukum diantara manusia dengan adil dan hal lainnya, yang mencakup perintah-perintah dan syariat-syariat-Nya yang sempurna, agung dan lengkap”.
Lalu Allah melanjutkan ayat diatas dengan ayat yang lebih khusus lagi, yaitu perintah ketaatan pada pemimpin, dan kewajiban pemimpin dalam menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An-Nisaa [4]: 59)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa “Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah yang diutus oleh Rasulullah saw pada sebuah pasukan”.
Imam Ali menceritkan, bahwa Rasulullah saw mengutus sebuah pasukan dan mengangkat seorang Anshar sebagai pimpinan pasukan itu. Ketika mereka keluar, maka ia marah karena suatu hal kepada mereka seraya berkata, “Bukankah Rasulullah telah memerintahkan kalian untuk taat kepadaku?”. Mereka menjawab, “Betul”. Dia berkata lagi, “Kumpulkanlah kayu bakar untukku”. Kemudian dia meminta api, lalu membakarnya, seraya berkata, “Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya”. Maka nyaris saja mereka masuk ke dalamnya. Maka seorang pemuda diantara mereka berkata, “Sesungguhnya (jika kalian lari, maka) kalian lari menuju Rasulullah saw untuk menghindarkan diri dari api ini. Jangan kalian terburu-buru hingga kalian bertemu Rasulullah saw. Apabila beliau memerintahkan kalian untuk masuk ke dalam api itu maka masuklah”. Maka mereka pun kembali kepada Rasulullah saw mengabarkan hal itu. Maka Rasulullah pun bersabda,
“Seandainya kalian masuk ke dalam api iu, pasti kalian tidak akan keluar lagi darinya selama-lamanya. Ketaatan itu hanyalah (berlaku) pada sesuatu yang ma’ruf”(HR Ahmad)
Dalam lafadz lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
“Sama sekali tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, ketaatan itu dalam kebaikan” (HR Bukhari)
Dalam ayat ini juga secara jelas disampaikan agar setiap pemimpin dan yang dipimpin senantiasa menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pemutus atas semua pertikaian dan perselisihan. Karena wajib bagi manusia untuk menerapkan hukum-hukum Allah.
Elok kiranya kita membaca uraian Ibnu Katsir berkaitan dengan ayat ini.
Jadi apapun yang ditetapkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, serta terdapat dalil tentang kebenarannya (dalam Al-Kitab dan As-Sunnah), maka itulah kebenaran. Selain kebenaran itu, tidak ada lagi kecuali kesesatan. Karena itu Allah berfirman “Jika kamu beriman pada Allah dan Hari Akhir”, maksudnya, hendaklah kalian kembalikan berbagai pertengkaran dan ketidaktahuan kalian kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Berhukumlah kalian kepada keduanya, pada berbagai hal yang kalian sengketakan. “Jika kamu beriman pada Allah dan Hari Akhir”, artinya, orang yang tidak berhukum pada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam setiap pertikaian, serta tidak merujuk pada keduanya, maka ia tidak termasuk orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka tugas kaum Muslim tidak selesai hanya pada memilih pemimpin, namun juga harus memilih pemimpin yang menjamin penerapan Kitabullah dan Sunnah sebagai pertanda iman dan perlindungan terhadap iman.
Mengenai lebih pentingnya sistem kepemimpinan ini, telah diindikasikan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummul Hushain, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda dalam khutbah haji Wada’,
“Sekalipun yang memerintah kalian adalah seorang budak (sementara) ia memimpin kalian dengan Kitabullah. Maka dengar dan taatlah kepadanya” (HR Muslim)
Maka “siapa yang memimpin” tidak lebih penting dibanding “dengan apa dia memimpin”. Karena benar dan salahnya pemimpin tergantung “dengan apa dia memimpin”. Bila dia memimpin dengan menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka dia benar dan mulia. Maka taat kepada pemimpin yang menerapkan Kitabullah ini menjadi suatu kewajiban, walaupun dia secara pribadi bermaksiat dan berbuat dosa.
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?” maka beliau bersabda: “Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka” (HR Muslim)
Imam An Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:
Rasulullah saw memerintahkan untuk menaati ulil amri meski pun pada dirinya terdapat kekurangan tersebut selama ia memimpin dengan Kitabullah. Para ulama berkata, “maksudnya selama ia berpegang teguh kepada Islam dan menyeru kepada Kitabullah Ta’ala walau bagaimana pun keadaan diri mereka, agama mereka dan akhlak mereka” (Imam Nawawi)
Lalu bagaimana dalam keadaan seperti saat ini, ketika kita tidak memiliki pemimpin yang amanah dan menerapkan sistem amanah berupa Kitabullah dan Sunnah? Maka kewajiban kita adalah mengadakannya, mendidik dan memahamkan pada ummat Muslim kewajiban yang agung yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bukan hanya lalu memilih pemimpin yang paling sedikit mudharatnya, lalu mengabaikan kewajiban yang mengharuskan pemimpin untuk berhukum pada hukum-hukum Allah.
Disinilah pentingnya para ulama, dalam mencerahkan ummat Muslim, bahwa tiada kebenaran dan kebaikan kecuali itu datang dari Allah Swt, dan tiada yang bisa menyelamatkan dan membangkitkan ummat Islam kecuali penerapan syariat Islam. Karena kebangkitan itu telah dicontohkan Rasulullah dengan Islam, dan dengan Islam itu pula semua manusia diselamatkan dan menjadi mulia.
Sehingga tidak adil, bila kita mendukung satu calon pemimpin dengan mengusung ke-Islam-an dirinya yang bisa jadi benar bisa jadi tidak, lalu mengelu-elukannya atas calon pemimpin yang lain yang diposisikan tidak Islami, tapi kita tidak mewajibkan dia untuk menerapkan syariat Islam. Lebih daripada itu malah mendukung agenda-agenda yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Islam.
Tidak pantas bagi kita mengusung “pemimpin yang ini Islami, yang disana tidak”, sementara hukum-hukum Allah tidak pernah dibicarakan dan tidak pernah disampaikan, lantas dimana letak “Islami”nya?
Mengenai pendapat “akhaffu adh-dhararain” atau “memilih yang paling rendah mudharatnya diantara dua mudharat” tentu masih bisa diperdebatkan dalam sebuah diskusi. Tapi yang sangat berbahaya adalah apabila ummat merasa puas hanya dengan memilih pemimpin, namun santai-santai saja dalam hal “dengan apa pemimpin itu memimpin”. Yang sangat berbahaya adalah apabila ummat merasa sudah melaksakan kewajibannya hanya dengan memilih, namun merasa ringan saat pemimpin itu meninggalkan dan melalaikan hukum Allah.
Padahal mereka mengaku beriman pada Allah dan Hari Akhir.
Karenanya kami berlepas pada hingar bingar pesta yang bukan pesta kami, namanya pesta demokrasi yang terjadi tentu bukan berdasarkan aturan Allah. Satu pihak sibuk mencela dan mencari kesalahan pihak lain dan sibuk mempromosikan dan memuja calon yang dijagokannya. Mencela hal yang belum ada dan menampakkan aib jadi trend, begitupula memuji yang berlebihan dan memuja hal yang tidak ada.
Padahal manusia bisa berubah, apalagi pada masa kini, sangat mudah berubah. Tahun lalu masih berpasangan tahun depan sudah saling mencela. Kemarin masih gandengan sekarang sudah musuhan. Tanpa Islam dan komitmen terhadap Kitabullah dan Sunnah, tidak ada jaminan keselamatan dan kebangkitan.
Tapi tentu dalil bisa didebat dengan dalil yang lebih baik, namun seburuk-buruk sikap dalam perbedaan adalah saling mencela. Dan semoga kita semua yang berjuang mencari ridha Allah —apapun dalil dan caranya— mampu menahan diri dari mencela sesama. Karena perjuangan seseorang dalam berdakwah bisa jadi berpahala atau tidak berpahala, tapi mencela sesama Muslim sudah pasti salah dan dosa.
Semoga Allah segera karuniakan persatuan dan ukhuwah bagi ummat Muslim di seluruh dunia, dan mengaruniakan mereka pemimpin yang tidak hanya siap mati demi bangsa dan rakuyat, tapi siap mati dalam ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
akhukum fil Islam
@felixsiauw
Share:

Total Pageviews