MOTIVASI HIDUP ISLAM

Visit Namina Blog

Wednesday, 7 January 2015

3+4=7

3+4=7

3+4=7
Berapa 3+4? Tentu 7! Dan tentu semua orang yang pernah sekolah mampu menjawabnya, ini kemampuan yang sangat mendasar yang dipelajari dalam logika Matematika.
Kebenaran itu adalah suatu hal yang dapat dibuktikan, sesuatu hal yang memiliki dasar. Bila dasarnya cukup kuat dan tidak dapat dibantah, maka dengan sendirinya kebenaran itu tidak dapat dibantah.
Namun, walau kita hidup di abad  segala sesuatu yang serba teknologi ini, terkadang kita masih saja tidak bisa menjangkau suatu logika sederhana, yaitu menerima kebenaran. Seringkali kita malah menolak kebenaran, padahal telah jelas bukti dan dasarnya bagi kita.
Kebenaran tidak bisa ditolak, tapi kebenaran bisa dibuat relatif, salah satunya adalah dengan menyerang orang yang menyampaikan kebenaran padanya. Bahasa ilmiahnya ad hominem.
Misalnya,
Profesor           : “Dari teori ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa 3+4 = 7”
Murid               : “Berarti 3+4 pasti samadengan 7?”
Profesor           : “Begitulah menurut hukum Matematika”
Murid               : “Anda salah Prof, di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali ketidakpastian itu sendiri, Anda saja bercerai, anak Anda saja menderita narkoba, lalu bagaimana Anda bisa memastikan 3+4 = 7?”
Orang bijak selalu mencari kebenaran baginya dalam sebuah nasihat, sementara orang yang pandir selalu menyalahkan orang yang menasihatinya. Padahal kebenaran tidak akan berubah sepandai apapun dia mengelak dan seburuk apapun celaannya pada penasihat. Nasihat yang benar tetap berharga siapapun yang menyampaikannya. Sebagaimana permata tetap berharga walau datang dari seorang penjahat.
Kebenaran juga bisa dikaburkan dengan mengalihkan pembahasan dari pembahasan yang sebenarnya
Profesor           : “Dari teori ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa 3+4 = 7”
Murid               : “Berarti 3+4 pasti samadengan 7?”
Profesor           : “Begitulah menurut hukum Matematika”
Murid               : “Anda salah Prof, 3+4 tidak selalu samadengan 7, bila 3+4 lalu dikurangi 2 jadinya malah 5, malahan 7 juga bisa didapat dari 9 dikurangi 2.
Orang pandir selalu mencari alasan untuk mendebat, karena yang mereka inginkan bukanlah kebenaran tapi mendebat kebenaran. Mereka sulit menjalani kebenaran, lalu megalihkan kebenaran itu menjadi sesuatu yang relatif yang tampaknya masuk akal. Padahal apa yang disampaikan tidak ada hubungan sama sekali dengan pembahasan.
Pernah mendengar ungkapan semisal diatas?
Ustadz             : “Alhamdulillah, dari QS 24:31 dan QS 33:59 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Allah mewajibkan hijab bagi setiap Muslimah dan telah memberikan ketentuan bagaimana hijab yang syar’i dalam kedua ayat ini”
Liberalis           : “Berarti dalam Islam Muslimah berhijab itu wajib?”
Ustadz             : “Begitulah menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits”
Liberalis           : “Anda salah Tadz, itu kan penafsiran Anda? Belum tentu yang lain memiliki penafsiran seperti itu, itu kan hanya budaya orang-orang Arab saja. Kalau begitu anda terlalu men-judge orang lain, apa bedanya Anda dengan Hitler kalau begitu? Lagipula orangtua Anda juga masih Non-Muslim, seharusnya Anda dakwah dulu sama mereka, bukan sama orang-orang Muslim. Bahasa Arab saja baru belajar, sudah sok mendakwahi orang!”
Atau yang begini,
Ustadz             : “Alhamdulillah, dari QS 24:31 dan QS 33:59 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Allah mewajibkan hijab bagi setiap Muslimah, hijab itu adalah ketaatan, dan setiap ketaatan adalah baik”
Liberalis           : “Berarti Muslimah berhijab itu pasti baik?”
Ustadz             : “Begitulah menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits”
Liberalis           : “Anda salah Tadz, belum tentu orang yang berhijab itu lebih baik daripada yang tidak berhijab. Saya kemarin melihat ada orang yang berhijab tapi justru lisannya kasar dan kotor, sebaliknya ada orang yang tidak berhijab tapi sopan dan sedekahnya banyak. Anda terlalu men-judge! Kebaikan bukan ditentukan oleh pakaian, tapi lebih dari hati, nggak perlu berlebihan dalam segala sesuatu, Allah tidak suka yang berlebih-lebihan”
Lihat alasan-alasan semisal ini, lalu renungkanlah firman Allah Swt.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS Al-An’am [6]: 112)
Syaitan itu sifat yang bisa mewujud pada jin ataupun manusia. Bisikan-bisikan syaitan memang indah, terkadang berdalil pula atas nama Allah, namun semua keindahan itu adalah tipuan palsu nan menyesatkan, karena pada ujung dari bisikan-bisikan itu, mereka ingin mengajak manusia untuk mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar.
Tidakkah kita belajar dari Adam dan Hawa tatkala ditipu syaitan? Syaitan berkata ingin menasihati keduanya, seolah-olah menginginkan kebaikan pada keduanya, seolah-olah dia adalah hamba Allah yang memberi bisikan kebaikan, padahal tidak sama sekali.
Padahal Allah telah menurunkan para Nabi dan Rasul-Nya untuk menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun syaitan mengelabui seolah-olah perbuatan buruk itu seperti terlihat baik, sehingga manusia bukan lagi mengikuti petunjuk dari Allah, namun malah menjadikan bisikan syaitan sebagai penentu.
Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka setan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih. (QS An-Nahl [16]: 63)
Bila syaitan sudah tidak mampu lagi menipu manusia dengan penyesatan dan penipuan seperti dua cara yang mereka lakukan diatas, maka mereka akan mencoba cara yang ketiga, yaitu menakut-nakuti dengan sesuatu yang belum pasti. Terutama dengan harta dan anak.
“Lihat saja para ustadz dan para ustadzah, semua dari mereka miskin-miskin. Itu yang terjadi kalau kamu terlalu dalam mempelajari ilmu agama, fanatik dengan hijabmu. Hijab tidak bisa memberimu makan, taat tidak bisa membuatmu kenyang!”
Padahal yang kita cari di kehidupan ini ada ridha Allah Swt, dan ridha Allah bisa didapatkan baik oleh orang yang kaya ataupun yang miskin selama mereka menaati Allah Swt. Rasulullah saw malah memilih hidup menjadi seorang yang miskin walaupun beliau sangat mungkin menjadi kaya-raya. Lebih daripada itu, kehidupan bukan hanya di dunia bagi yang meyakininya, dunia ini hanya persiapan untuk kehidupan yang panjang setelahnya. Jadi letak pembahasannya bukan kaya atau miskin namun taat atau tidak taat.
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah [2]: 268)
“Kalau kamu berhijab, lantas bagaimana dengan pekerjaanmu nanti? Kantormu tidak akan mentolerir simbol-simbol Islam, dan kamu harus ingat bahwa kamu punya anak dan keluarga yang harus diberi makan. Allah pasti mengerti kok, Allah pasti memaklumi!
Padahal dalam keimanan kita sudah jelas bahwa Allah-lah yang memberikan rezeki kepada setiap manusia, hewan, bahkan semua yang ada di dunia ini, bukan manusia. Namun syaitan menakut-nakuti manusia dengan kesusahan-kesusahan di dunia yang belum pasti terjadi, dan membuat maksiat di dunia menjadi aman, dan kesengsaraan akhirat terasa ringan. Syaitan juga merinci janji-janji yang bukan datang dari Allah, mengatakan perkataan yang tidak ada dalilnya, mengadakan kebohongan kepada Allah, seolah-olah Allah mentolerir kemaksiatan hamba-Nya.
Dan hasutlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka. (QS Al-Israa [17]: 64)
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS Ali Imraan [3]:  175)
Padahal pada setiap insan beriman yang meyakini Allah dan janji-Nya untuk menolong kaum Muslim. Maka Allah mewajibkan diri-Nya menolong orang-orang yang beriman.
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. (QS Ar-Ruum [30]: 47)
Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (QS Fathir [35]: 5)
Hal seperti ini ramai kita temukan dalam alasan-alasan seseorang yang enggan menetapi kebenaran. Tapi yakinlah bahwa alasan semisal ini hanya ada di dunia, dan tidak akan terpakai di hadapan Allah Swt.
Bagi saya, kebenaran Islam itu sama seperti 3+4 = 7. Memiliki bukti dan dasar yang sangat kuat yang tidak bisa tergoyahkan. Karenanya apapun yang tertulis di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits pastilah suatu kebenaran yang tak hilang kebenarannya walau banyak yang mendebat.
Khususnya bagi Muslimah yang sedang berusaha menetapi jalan Allah Swt dengan ketaatan-ketaatan mereka, halangan dan alasan pasti silih berganti dan bisikan syaitan pasti membanjiri dada. Namun berfikirlah jernih, alasan tidak bisa menghilangkan kebenaran yang ada.
Berhijab dan berdakwah itu wajib, Allah yang menjaminnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jangan sampai karena manusia kita meninggalkannya, apalagi kita sekarang memahami bahwa syaitan tidak ada kuasa sama sekali, melainkan Allah yang Maha Kuasa.
Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS An-Nahl [16]: 98-100)
audzubillahi minasysyaithani rajiim
3+4=7.
akhukum, @felixsiauw
Share:

Insya Allah atau In Shaa Allah?

Insya Allah atau In Shaa Allah?

Insya Allah atau In Shaa Allah?
lebih dari ratusan kali saya ditanya tentang perkara ini, berkaitan dengan penulisan transliterasi bahasa Arab, mudah-mudahan status ini jadi penjelas sebagaimana seharusnya.
pertama-tama, bahasa Arab dan bahasa Indonesia tentu berbeda, bila bahasa Indonesia disusun berdasarkan huruf alfabet A-B-C dan seterusnya, sama seperti bahasa Inggris, tidak dengan bahasa Arab. Bahasa Arab tersusun dari huruf hijaiyah semisal ا (alif), ب (ba), ت (ta) dan seterusnya.
perbedaan inilah yang akhirnya mengharuskan adanya transliterasi (penulisan bahasa asing kedalam bahasa Indonesia), misalnya, kata الله dalam bahasa Arab, bila di-transliterasikan ke dalam bahasa Indonesia bisa jadi “Allah”, “Alloh”, “Awloh” atau apapun yang senada dengan bacaan asli Arabnya, tergantung kesepakatan transliterasi
bila orang Indonesia sudah nyaman membaca tulisan الله dengan transliterasi “Allah” ya tidak perlu diganti dengan “Alloh” atau “Awloh”, toh bacanya juga sama walau tulisannya beda :)
by the way, bahkan kalo orang nulis Allah dengan huruf kecil juga nggak dosa, karena dalam bahasa Arab aslinya الله pun nggak ada huruf besar dan huruf kecil :D
hanya kembali lagi, karena transliterasi dan penghormatan kepada Dzat Yang Maha Agung, ya sejatinya sudah kita tulis dengan “Allah”
ok, sekarang, Insya Allah atau In Shaa Allah?
yang bener إن شاء الله hehe..
jadi kita bedah begini ceritanya
إن = bila
شاء = menghendaki
الله = Allah
jadi artinya إن شاء الله = bila Allah berkehendak
nah, balik lagi ke transliterasi, terserah kesepakatan kita mau mentransliterasikan huruf ش jadi apa? “syaa” atau “shaa”?,
kalo di negeri berbahasa Inggris sana, kata ش diartikan jadi “shaa”, kalo di Indonesia jadi “syaa”
masalahnya di Indonesia, huruf ص sudah ditransliterasikan jadi “shaa”, kalo disamain jadi tabrakan deh..
saya pribadi lebih suka mentransliterasikan إن شاء الله jadi “InsyaAllah”, lebih simpel dan sesuai transliterasi bahasa Indonesia :)
nah, bagaimana katanya kalo ada yang bilang “InsyaAllah” berarti artinya “menciptakan Allah?”, naudzubillahi min dzalik…
karena yang satu ini beda lagi masalahnya :)
karena إنشاء (menciptakan/membuat) beda dengan إن شاء (bila menghendaki)
dan pemakaiannya dalam kalimat berdasarkan kaidah bahasa Arab pun berbeda bunyinya,
bila إن شاء الله dibacanya “InsyaAllahu” (bila Allah menghendaki)
bila إنشاء الله dibacanya “Insyaullahi” (menciptakan Allah)
Kesimpulannya? :)
jadi kalo kita nulis pake “InsyaAllah”, atau “In Syaa Allah”, atau “In Shaa Allah” bacanya sama aja dan artinya sama aja, yaitu “bila Allah menghendaki”, jadi nggak ada arti lainnya :)
yang paling bagus, ya udah, nulis dan ngomong pake bahasa Arab aja sekalian, lebih aman hehe..
(tapi yang nulis pun bakal kesulitan hehehe..)
Share:

Catatan Safar Ke Bumi Syam bersama SahabatAlAqsha.com

Catatan Safar Ke Bumi Syam bersama SahabatAlAqsha.com

Catatan Safar Ke Bumi Syam bersama SahabatAlAqsha.com
Mohon maaf sepekan ini tak banyak menjumpai teman-teman di twitter dan Facebook dikarenakan ada undangan dari www.SahabatAlAqsha.com untuk rihlah bepergian bersama ulama-ulama. Tim Sahabat AlAqsha mengajak kami mengikat hati dengan yatim-yatim pengungsi Suriah, hasil kekejian luar biasa rezim pembunuh Bashar Asad dan pasukannya yang memerangi pengikut Allah dan Rasul-Nya. Selain itu dalam safar kali ini kami juga beruntung bisa bertamu dan menggali ilmu dengan “Rabithah Ulama Syam”, ikatan ulama-ulama di tanah Syam guna menyerap informasi dan nasihat dari ulama-ulama Syam.
Bersama kami dalam safar ini ada ust @AbdullahHadrami dan ust Dr. Mustafa Umar, keduanya adalah guru, panduan, panutan, juga penolong bahasa arab kami yang terbatas. Lalu apa yang kami dapat dalam sepekan perjalanan ini? Tidak lain tidak bukan semangat dalam perjuangan, terutama rasa malu hati, atas ilmu, perjuangan dan pengorbanan yang jauh dibanding mereka.
Dalam safar ini kami jumpai para yatim syuhada, yang tetap tegar dan bangga atas perjuangan dan pengorbanan ayah-ayah mereka dalam jihad fii sabilillah, padahal ayah mereka tak lebih tukang supir dan tukang batu. Kami dengarkan cerita mereka, yang walau ayah mereka hanyalah tukang supir dan tukang batu, namun penuh keyakinannya pada syariah Allah itu harga mati.
Kami juga mendengar banyak pemuda-pemuda Syam yang muda dan tampan, banyak yang masih berumur belasan, dan banyak juga yang diawal dua puluhan, namun enggan menikah sebelum menang dalam jihad di jalan-Nya. Saat kami menanyakan apakah mereka sudah menikah, maka jawabannya membuat kami mematung. Mereka mengatakan “kami ingin menikah, namun urusan ummat ini lebih besar dan lebih penting, kami ingin dinikahkan di surga saja dengan para bidadari, insyaAllah”
Anak-anak di Syam dilatih dengan hafalan Al-Qur’an karena mereka tahu itulah nyawa sebenarnya sebaik perlindungan dan senjata yang hakiki. Saat orangtua mereka dibunuh dengan gas racun oleh Bashar Asad, yang lain oleh hujan bom dari pesawat dan muntahan peluru, anak-anak ini tetap berpegang dan yakin pada Allah. Mereka adalah anak-anak yang dididik langsung oleh Allah, generasi yang tak ada lagi takutnya selain pada Allah. Sedang pengorbanan kita disini? masyaAllah, jauhnya..
Kami mendengar dari mereka banyak cerita-cerita para mujahid yang lebih takut Allah ketimbang takutnya pada mati. Mereka berlomba untuk memenuhi janji mereka pada Allah untuk syahid atau menunggu gilirannya untuk syahid. Mereka menagih janji Allah dalam jihad fii sabilillah, untuk mendapatkan hidup dalam kemenangan atau mati dalam kemuliaan.
Jumlah pengungsi akibat kekejaman Syiah Alawi yang dikepalai Bashar Asad ini mencapai 2.000.000 di luar negeri, 5.000.000 di dalam negeri. Revolusi yang terus bergulir ini sudah memakan lebih dari 200.000 jiwa. Bagi penduduk Suriah ini bukan revolusi oposisi dan perang biasa. Ini adalah langkah bagi mereka untuk melawan kedzaliman yang sudah mengakar selama 40 tahun, dan memperjuangkan hukum Allah untuk diterapkan.
Mungkin ada yang berkomentar, “Untuk apa mengurus urusan luar negeri? sementara yang di dalam negeri masih banyak yang perlu?
Mohon maaf, bagi kami tidak terpisah antara satu ummat dan ummat lain, semuanya “ibarat satu tubuh” begitu pesan Nabi saw. Bagi kami negara tidak memisahkan akidah, jauh dekat bukan masalah, urusan kaum Muslim di satu tempat itu urusan ummat Musim semuanya. Islam tak mengakui batas-batas yang diberikan penjajah untuk memisahkan ummat Muslim, termasuk ikatan-ikatan selain ukhuwah Islam. Maka urusan Suriah adalah urusan kita, urusan Palestina juga urusan kita. luar dan dalam negeri sama saja nilainya.
Apalagi urusan bumi Syam yang sangat penting bagi ummat, tanah yang diberkahi Allah dan disebut-sebut oleh Nabi, tanahnya para Nabi. Para mujahid berbaris mengaliri berkahnya Syam dengan darah mereka, sementara ada segolongan pengecut mencibir, masyaAllah.
Dari yatim-yatim Suriah kami belajar bahwa urusan ummat, penyatuan ummat dalam syariah ini benar-benar masalah yang penting. Bahwa urusan perjuangan ummat ini lebih layak mendapat perhatian, lebih dari yang mencari perhatian dengan banyaknya janji tanpa bukti
Mereka yang ada di garis terdepan di Syam, Suriah dan Palestina itulah yang menginspirasi kita untuk terus berjuang dan berkorban, bahwa hitam tinta ulama dan merah darah syuhada itulah yang menjadi campuran bagi kejayaan ummat Muslim
Di safar ini pula kami banyak belajar dari kedua guru kami, ustadz Mustafa Umar dan ustadz Abdullah Hadrami, semoga Allah sayangi keduanya. Walau banyak kekurang ajaran kami pada beliau berdua, tentu tidak menghalagi kami mencuri ilmu dari kedua syaikh ini.
Apa yang terjadi di bumi Syam, di Palestina, di Suriah, adalah kemuliaan Allah bagi penduduknya dan ujian keimanan bagi kita disini, agar kita belajar mementingkan tanah yang dipentingkan Allah dan Rasul-Nya, agar kita berani membela bagian yang satu dari diri kita
Lalu apa yang harus kita lakukan? saat terpisah jarak dan tempat? Maka apapun, apapun yang mampu kita lakukan maka lakukanlah. Simak hadits berikut
“Siapa yang menyiapkan kebutuhan seorang yang berperang fii sabilillah maka sungguh ia telah ikut berperang, dan siapa mengurus keluarga orang yang berperang fii sabilillah dengan baik, sungguh ia telah ikut berperang” (HR Bukhari Muslim)
Ada banyak anak-anak yatim syuhada yang perlu bantuan kita disini, mungkin lebih daripada yang kita pikir kepentingannya. “Keperluan bantuan kemanusiaan di Suriah seperti tidak terbatas” begitu ucap pengurus pengungsi Suriah pada kami, masyaAllah.
Sebagian anak-anak yatim syuhada ini lalu didata oleh tim www.SahabatAlAqsha.com yang menjadi fasilitator penyalur dana kita, dan saya sudah melihat secara langsung kerja tim www.SahabatAlAqsha.com yang amanah, tak memotong sedikitpun untuk operasional mereka, insyaAllah
Urusan Syam ini lebih dari urusan kemanusiaan, ini urusan iffah dan izzah kaum Muslim, jangan sampai sesal datang belakangan, sebagaimana firman Allah dalam QS 63:10, karena kita menunda sedekah sampai datang kematian
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS 63:10)
Bukan ahlu-Syam yang perlu kita, kitalah yang perlu doa mereka, semoga dengan membantu mereka kita terbebas dari sikap munafik. Informasi lengkap untuk bantuan ke anak yatim syuhada Suriah, boleh follow @sahabatalaqsha di twitter atau klik www.SahabatAlAqsha.com
Share:

Antara Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah

Antara Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah

Antara Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah
Dalam Islam ada yang namanya fiqh hukum dan ada fiqh dakwah, dan pendekatan keduanya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adapun fiqh hukum itu hanya ada hitam-putih dan jelas, bila terkait hukum benda maka hukumnya halal atau haram, bila terkait amal perbuatan maka hukumnya ada 5 (ahkamu-khamsah) yaitu wajib-sunnah-mubah-makruh-haram.
Lain lagi dengan fiqh dakwah, dia lebih fleksibel karena mengajak manusia menuju kebaikan, dan sebagaiman yang kita pahami, dakwah itu memerlukan proses dan waktu yang tidak singkat.
Keduanya, baik pendekatan fiqh maupun pendekatan dakwah tetap harus dilandaskan pada dalil Islam yang disepakati oleh para ulama, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas
Misalnya ketika ada seorang Muslimah bertanya “Apa hukumnya melepas hijab karena pekerjaan?”, maka pendekatan fiqh dan dakwah bisa berbeda untuk menjawab pertanyaan ini.
Secara pendekatan fiqh hukum, jawabannya jelas “haram” bagi wanita tidak berhiijab atau melepas hijab selain kepada mahramnya, namun pendekatan dakwahnya bisa dijawab dengan menyemangati dan diajak pelan-pelan untuk memahami kewajiban berhijab. Secara dakwah kita sampaikan tentang “meyakini bahwa rezeki adalah dari Allah bukan dari bos” atau “bahwa Allah pasti membantu hambanya yang taat” misalnya.
Pendekatan secara dakwah ini intinya menguatkan, memotivasi dan memberikan harapan agar pelaku maksiat tak lari dari pendakwah, mau terus belajar agar pemahamannya meningkat, dan bila pemahamannya sudah meningkat, insyaAllah kemaksiatannya akan ditinggalkan.
Tapi bagaimanapun juga tidak boleh bagi kita melegitimasi kesalahan seseorang hanya dengan alasan itu adalah bagian dari fiqh dakwah, apalagi memberikan kalimat bercabang sehingga membuat bias hukum suatu hal yang sudah jelas, dengan dalih dilakukan untuk menyampaikan dakwah
Misalnya ada yang berkata “Saya mau ikut kajian, tapi masih pacaran, boleh nggak?”
kita tak bisa menjawab, “ah nggak papa” ikut aja dulu, karena merasa tak enak atau karena ingin dia ikut pada kita terlebih dahulu, karena kita justru melegitimasi pacaran yang maksiat tanpa menjelaskan hukumnya padanya. akan tetapi kita harus jelaskan haramnya pacaran, sambil tetap mengajaknya ikut kajian, itu baru fiqh hukum dan fiqh dakwah yang benar.
Jadi saat ditanya “Apa hukum membuka hijab bagi wanita?”, jawabannya harus tegas “ya haram”, tidak boleh dibiaskan, karena itu sangat berbahaya. Apalagi menjawab dengan kalimat multi intepretasi seperti “Hijab itu kan pilihan, seperti iman atau kafir itu pilihan”. Jawaban semisal ini hanya akan membingungkan ummat
Islam memang tak memaksa dan memberi pilihan untuk menjadi seorang Muslim atau tidak, menjadi beriman atau malah kufur ingkar, namun bila seseorang sudah memilih menjadi seorang Muslim, maka ia wajib terikat hukum Islam. Analoginya, “saya tidak memaksa anda masuk rumah saya, tapi bila anda sudah memilih masuk, ya harus ikut aturan saya”. Logis.
Karena itulah selepas Rasul wafat ada kaum yang menolak melaksanakan kewajiban zakat. Maka Khalifah Abu Bakar nan lembut itu lalu memerangi mereka agar mereka mau melaksanakan kewajibannya. Mereka tidak dipaksa masuk Islam, namun bila sudah memilih Islam ya kewajibannya membayar zakat.
Maka dalam Islam, harus ditegaskan betul bahwa hukum berhijab itu adalah suatu keharusan – “hukumnya wajib” bukan pilihan – “hukumnya mubah” adapun cara dakwah, bisa banyak macam dan gaya yang bisa digunakan. Ada yang dengan menyentuh logika, ada yang menyentuh emosional, sah-sah saja. Namun hukum fiqhnya harus disampaikan bahwa hijab itu wajib. Jangan sampai kita mengubah status hukum karena ingin manusia ridha dengan ucapan kita, lalu menyesatkan banyak orang dari hukum Allah
Santun berdakwah, halus tutur bahasa, memikat amalnya, itulah fiqh dakwah, yakni sampaikan kebenaran dengan cara yang lebih baik
Juga saat ditanya “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng kepribadian?”, maka kita harusnya meneliti kalimat pertanyaan sebelum menjawab, karena pertanyaan semisal ini bukan pertanyaan biasa melainkan pertanyaan menjebak, yang menuntun penjawab agar sesuai kehendak penanya
Maka tak elok bila kita menjawab, “Oh iya, sekarang banyak orang menggunakan simbol agama untuk mencapai popularitas, uang, dsb..” Sangat-sangat tak elok
Lalu bagaimana kesimpulan pendengar saat mendengar jawaban semisal itu? Kira-kira begini “Ohh orang berhijab banyak parah ya? mendingan hijab hati deh” atau “Iya bener, mendingan kita nggak usah simbol-simbol agama deh, yang penting baik”
Lalu makin banyaklah orang beralasan saat ditanya kenapa belum tunaikan kewajiban hijab? “Ah itu si fulanah aja berhijab, tapi ancur”
Seharusnya pertanyaan “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng kepribadian” yang menjebak itu dijawab dengan kalimat, “Muslimah berhijab memang belum tentu baik, tapi yang baik tentulah berhijab”. Ini jawaban yang menguatkan, dan insyaAllah jadi kebaikan berterusan
Betul bahwa kemauan dari dalam itu lebih kuat dibanding paksaan, namun bukan berarti selama menunggu kemauan, kewajiban jadi hilang. Jadi tidak berarti ketika seorang Muslimah belum memiliki kemauan diri, lantas dosanya tidak berhijab menjadi hilang. Karena ada manusia yang mendapat hidayah dari paksaan, terpaksa lalu biasa, dan biasa jadi istimewa. Awalnya terpaksa dan akhirnya ikhlas
Terkait paksaan ini, simak hadits Rasulullah saw
“Menangislah kamu semua, dan bila kamu tidak dapat menangis maka paksakan menangis!” (HR Ibnu Majah)
Perintah paksaan menangis ini terkait banyaknya perintah dari Allah dan Rasul, agar kita menangis karena takut akan Allah, karena airmata yang jatuh dari mata yang menangis karena takut Allah, insyaAllah diharamkan dari api neraka.
Maka Muslimah yang belum bisa berhijab pun seharusnya “memaksakan” diri dalam ketaatan, pasti Allah mudahkan dalam jalan taatnya. Bukan malah beralasan “tidak mau memaksakan” lantas menunda kewajiban, padahal hanya bagian kemalasan dan kelalaian saja.
Sampaikan kebenaran pada ummat agar mereka mengetahuinya dan sampaikan dengan cara yang baik pula, setelah itu tuntaslah tugas sebagai penyampai peringatan dan kabar gembira lalu semuanya sempurnakan dengan tawakal
Buat yang sudah berhijab, semoga istqamah dalam kewajiban, dan menikmatinya. Bagi yang belum, selamat “memaksakan” diri untuk taat. Allah mendekat pada orang yang mendekat pada-Nya. Allah selalu memudahkan orang yang mau taat pada-Nya
akhukum,
@felixsiauw
Share:

Imperialisme Barat dan Khilafah Islam

Ghazwul Fikri, Imperialisme Barat dan Khilafah Islam

Ghazwul Fikri, Imperialisme Barat dan Khilafah Islam
Bagi kaum Muslim, konsep nasionalisme sebagai pemersatu antarmanusia sebenarnya konsep yang baru karena baru diperkenalkan kurang dari 100 tahun yang lalu. Karena sebelumnya kaum Muslim hanya mengenal konsep ukhuwah Islam, yaitu ikatan yang muncul dari aqidah yang sama diantara kaum Muslim
Dengan ikatan ukhuwah yang lahir dari aqidah ini Islam menyatukan baik etnis, bahasa, bangsa, kelompok. Kesemuanya semua diikat oleh Islam tanpa melihat lagi perbedaan pada manusia, karena sudah sama aqidahnya. Dalam konsep ukhuwah Islamiyyah, tidak ada kaum yang dianggap lebih mulia dari yang lain, apakah dia Arab atau Ajam (selain Arab), maka semua sama dihadapan Allah, yang membedakan hanya ukuran takwanya.
Sebagaimana hadits Rasulullah,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb kalian satu, bapak kalian juga satu. Sesungguhnya tidak ada kelebihan pada orang Arab atas orang Ajam, tidak pula orang Ajam atas orang Arab, atau orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit putih; kecuali karena ketakwaannya.”
(HR Ahmad)
Berbeda dengan konsep nasionalisme yang muncul dari ikatan persamaan ancaman dan persamaan tempat hidup. Munculnya ikatan nasionalisme ini didasarkan atas kekauman dan kebangsaan, dan ikatannya biasanya disatukan oleh kesamaan etnis, bahasa atau bangsa. Maka sentimen kesamaan nasib adalah yang paling menonjol, begitu pula dengan kesamaan tempat tinggal, kesamaan asal, kesamaan bentuk fisik dan lain-lainnya. Karenanya banyak konflik muncul karena nasionalisme ini padahal agamanya sama, bahkan etnis dan bangsanya sama. Begitulah yang kita lihat pada Indonesia-Malaysia, Indonesia-Timor Timur dan perpecahan yang terjadi pada negara-negara Arab saat ini yang notabene atas nama nasionalisme dan kekauman
Dalam Islam, ikatan-ikatan selain aqidah Islam, yang dimuliakan lebih daripada aqidah Islam adalah ashabiyah (fanatisme) jahiliyyah.
Rasulullah bersabda, “Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah” (HR Abu Dawud)
Mengomentari hadits ini, Dr. Yusuf Qardhawi menulis dalam kitabnya “Halal dan Haram dalam Islam”
“Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta’asshub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain. Dan tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena ta’asshub baik dalam kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan”
Dr. Yusuf Qardhawi menyimpulkan setelah pembahasan beberapa hadits yang senada dalam kitabnya “Halal dan Haram dalam Islam”
“Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di kalangan kaum muslimin kepada fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan untuk fanatik kepada golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda jahiliah yang samasekali tidak diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh Al-Quran”
Sangat jauh berbeda nasionalisme dengan ikatan ukhwah Islam yang lahir dari aqidah, yang dulu pernah menyatukan ratusan juta kaum Muslim dalam 1 kekuatan kepemimpinan; Khilafah. Selama 1300 tahun semenjak dimulai Rasulullah di Madinah, ukhuwah Islam telah sukses menjadikan ummat satu tubuh, satu pemikiran dan satu perasaan yaitu Islam. Dengan ukhuwah Islam mereka bersatu karena sama-sama menyembah pada Tuhan yang satu, membaca kitab yang satu, meneladani Muhammad yang satu, shalat menghadap kiblat yang satu, bersatu dalam satu kepemimpinan dengan pemimpin yang satu.
Lalu bagaimana kaum Muslim yang awalnya disatukan ukhuwah atas aqidah dalam satu kepemimpinan Khilafah lalu terpecah jadi lebih 58 negara (nations) layaknya sekarang?
Semua dimulai pada 1683 saat Khilafah Utsmani menderita kekalahan di gerbang Vienna-Austria, kekalahan itu menandai jihad yang terakhir yang dilancarkan oleh kaum Muslim sekaligus sebagai simbol daripada akhir masa-masa kejayaan kaum Muslim di dunia, dan selanjutnya memasuki babak baru yaitu keruntuhannya.
Puncak masa keemasan Islam dimulai sejak masa Sultan Muhammad Al-Fatih yang ditandai dengan penaklukkan Konstantinopel pada 1453, sampai pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman Al-Qanuni yang membawa kekuasaan Khilafah Utsmaniyyah sampai pada luasan yang paling besar pada 1566. Adapun kaum Muslim yang memimpin setelahnya kurang memperhatikan Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah dan lebih tergiur pada nikmatnya dunia hingga melupakan tujuan hidup mereka yaitu mengabdi pada Allah, dan lebih suka harta dan kemewahan yang berlimpah.
Kelemahan internal itu pun diikuti serangan eksternal. Di sebelah Barat Khilafah Utsmani, bangsa Eropa yang mulai bangkit pemikirannya pasca Rennaisance meninggalkan abad gelap dan melancarkan perang babak baru kepada kaum Muslim dengan serangan pemikiran (ghazwul fikri) dan di sebelah Timur, Kerajaan Rusia menjajah wilayah Utara Khilafah yang berdekatan dengan Laut Hitam dengan serangan fisik dan menaklukkan sebagian besar wilayah-wilayah kaum Muslim.
Inti daripada perang pemikiran kaum Eropa yang dikepalai Inggris pada masanya bukanlah ingin memurtadkan kaum Muslim, tapi bertujuan agar kaum Muslim tetap berada dalam agamanya, namun dengan isi kepala yang berbeda, dengan pemikiran yangjauh dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Karenanya mereka menyebarkan pemikiran semisal nasionalisme dan demokrasi, untuk menggantikan ukhuwah Islam dan aqidahnya.
Dengan itu Inggris berhasil menguasai Mesir pada 1888 dan India pada 1857. Sementara lewat perang fisik, Rusia juga membantu Bulgaria, Rumania, Serbia dan Montenegro memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyyah, juga dengan menyuntikkan pemikiran semisal nasionalisme, hingga rakyat-rakyatnya menuntut pemisahan diri dari Khilafah.
Begitulah wilayah Khilafah Islam Utsmaniyyah menyusut secara drastis, karena secara internal Islam ditinggalkan dan diserang secara eksternal
Keadaan semakin parah saat di internal Khilafah sendiri, gerakan-gerakan nasionalis-liberalis-sekuler pun bermunculan. Dimulai dari sekolah-sekolah misionaris di Libanon dan juga cendekiawan-cendekiawan muda yang mulai silau dengan kemajuan Barat, gerakan ini berubah menjadi Revolusi “Young Turk” pada 1908
Gerakan “Young Turk” ini sesungguhnya tak lain adalah gerakan Freemasonry yang di-inisiasi di loji-loji Freemason di Italia dan Yunani, mendapatkan dukungan penuh dari Inggris dan Prancis, lalu menggulingkan Khalifah terakhir, Sultan Abdul Hamid II pada 1908. Gerakan sekulerisasi Khilafah Utsmani pun dimulai segera, “Young Turk” bekerjasama dengan majikannya Inggris untuk memulai rencana guna mengakhiri Khilafah. Utsmani
Pada 1914-1918 pecah Perang Dunia I. Inggris, Prancis dan Rusia menyatu sebagai Blok Sekutu melawan Blok Sentral yang disusun oleh Jerman, Austria dan Hungaria. Awalnya Khilafah Utsmani tak berniat ikut perang dan tetap netral, namun wilayahnya yang berada ditengah-tengah konflik antarnegara itu tak memungkinkan Khilafah Utsmani untuk tetap netral.
Setelah ditolak bergabung bersama Blok Sekutu, Khilafah Utsmani bergabung dengan Blok Sentral, dari sini tampak upaya konspirasi untuk meniadakan Utsmani dengan cara menjebak Khilafah agar turut serta dalam Perang Dunia I, padahal keadaan Khilafah Utsmani sedang dalam kondisi yang sangat lemah secara internal maupun eksternal, dengan hutang yang banyak, teknologi tertinggal dan banyak intrik politik.
Sebagai bagian dari pelaksanaan perang, Inggris yang sangat bernafsu menguasai dunia saat itu memulai menyusup ke negeri-negeri Muslim untuk memisahkannya dari Utsmani. Hasilnya, Syarif (Gubernur) Makkah Hussein bin Ali berkenan untuk mengadakan perjanjian dengan Inggris untuk memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyyah.
Selepas mendapatkan doktrin Barat tentang Nasionalisme dan dibakar semangat kekauman Arab, seolah-olah betapa mulia kaum Arab bila dibandingkan kaum Turki yang menjadi Khalifah. Hussein bin Ali menjanjikan akan memimpin pemberontakan terhadap Khilafah Utsmani sementara Inggris memasok senjata-senjata dan menjanjikan kemerdekaan negara Arab seusai Perang Dunia I. Inggris menjanjikan wilayah Arab-Iraq-Syam kepada Hussein bin Ali. Perjanjian mereka terkenal dengan korenspondensi “Hussein-McMahon”
Pemberontakan Hussein bin Ali dimulai pada 1916 atas bantuan Inggris mulai dari antuan senjata, informasi sampai informan “Lawrence of Arabia” yang ditugaskan mendampingi Hussein bin Ali. Inggris juga membekali bendera “Revolusi Arab” yang menjadi simbol ashabiyah (fanatisme) kepada pasukan-pasukan pemberontak ini. Pada gilirannya, bendera ini pula yang akan digunakan oleh negara-negara Arab di Timur Tengah pasca runtuhnya Khilafah Islam.
Khilafah Utsmani kewalahan menghadapi serangan luar dan dalam ini. Selama 1917-1918 Yerusalem dan Baghdad direbut Inggris, sementara Amman dan Damaskus direbut pasukan Revolusi Arab dibawah pimpinan Hussein bin Ali. Perang Dunia I ini pun diakhiri pada 1918 dengan kekalahan Blok Sentral, dan Khilafah Utsmani-lah yang paling menderita kerugian akibat perang ini, iapun dikuasai Inggris dan Perancis sebagai pemenang
Pengkhianat memang tak mendapat selain pengkhianatan. Seusai Perang Dunia I, Inggris pun mengkhianati perjanjiannya dengan Hussein bin Ali dengan perjanjian baru yang dibuat dengan sekutunya Prancis. Lewat perjanjian Sykes-Picot pada 1917, Inggris dan Perancis punya rencana sendiri membagi tanah Khilafah kaum Muslim. Dalam perjanjian ini Inggris mendapat Iraq, Kuwait dan Yordan, sementara Prancis mendapat Suriah, Libanon dan Turki Selatan. Sedangkan wilayah Palestina dan Gaza ditangguhkan Inggris dan Prancis, untuk diberikan pada Zionis Yahudi lewat Deklarasi Balfour yang disepakai Ratu Elizabeth di tahun 1917
Begitulah kemudian Inggris dan Perancis menaklukkan Khilafah Islam lalu membagi-baginya menjadi negara kecil yang terpisah-pisah. Inggris lalu mengajarkan nasionalisme dan memerdekakan Arab. Inggris memberikan wilyah Iraq dan Syria kepada Raja Faisal keturunan dari Hussein bin Ali, dan wilayah Yordan diberikan pada Raja Abdullah atas jasanya memihak pada Inggris
Lewat tangan agennya yang berketurunan yahudi, Mustafa Kemal, Inggris mengakhiri Khilafah dengan menjadikan Mustafa Kemal pahlawan Turki, yang berujung pada penghapusan Khilafah Islam pada 1923. Saat itu tidak ada lagi naungan dan pelindung bagi kaum Muslim diseluruh dunia.
Selanjutnya, setalah memastikan pemerintahan di negeri-negeri Muslim agar berdasarkan sekulerisme dan liberalisme, satu demi satu wilayah Islam dimerdekakan khususnya pasca Perang Dunia II. Mesir pada 1922, Iraq pada 1932, Libanon pada 1943, Pakistan pada 1947, Suriah pada 1946, India pada 1947 dan menyusul wilayah-wilayah Islam lainnya.
Wilayah yang dahulunya satu Khilafah Islam, terpecah belah menjadi 58 negara kecil, dan masing-masing bangga pada dirinya sendiri. Selepas Khilafah dibubarkan, tiada pula perlindungan bagi kaum Muslim, misalnya saat 1948 negara Israel didirikan oleh PBB dan US, dan sampai sekarang melakukan pembantaian-pembantaian tak beradab terhadap saudara kita di tanah Palestina. Sejak Khilafaj itu sirna, pembantaian nyawa, perusakan pemikiran dan aqidah, semua masuk tanpa terbendung kecuali oleh kelompok kecil dan individu.
Begitulah Allah dan Rasul mewajibkan pada seluruh kaum Muslim seorang pemimpin yang menerapkan Islam dan membela urusan mereka. Sabda Nabi saw berkaitan dengan ini,
“Imam (Khalifah) layaknya perisai, di belakangnya umat berperang, dan kepadanya umat berlindung” (HR Muslim)
Imam yang dimaksud bukan pemimpin sekelompok Muslim, tapi pemimpin seluruh Muslim yang menerapkan Islam, bukan yang lain. Yaitu Imam yang menyatukan seluruh Muslim atas dasar aqidah bukan nasionalisme dan menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah pada mereka
Amirul Mukminin Khalifah Umar Bin Khaththab ra berkata, “Tidak ada Islam tanpa persatuan, tiada persatuan tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan”
Karena bila pemimpin tidak menerapkan apa yang diperintah Allah, maka kita akan melihat dia pasti akan mengabaikan urusan ummat dan agama Islam. Karena itulah pemimpin yang amanah memang mutlak harus ada dalam Islam namun dia haruslah menerapkan sistem kepemimpinan yang amanah. Karena hanya dengan sistem amanah yaitu Khilafah maka ummat akan dipersatukan dan hanya dengan ukhuwah yang lahir dari akidah kita memiliki kekuatan
Untuk diskusi dan info lebih lanjut, silakan dapatkan di buku Khilafah* tulisan @felixsiauw atau follow akun @bukukhilafah
buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.comatau ke pages Facebook alfatihbookstore
Share:

Total Pageviews