MOTIVASI HIDUP ISLAM

Visit Namina Blog

Wednesday, 7 January 2015

Antara Hawa Nafsu dan Syariat Allah

Antara Hawa Nafsu dan Syariat Allah

Antara Hawa Nafsu dan Syariat Allah
Pernah denger nggak sih, kalimat semisal ini?
“Jangan kayak gitulah, kalo gitu sih terlalu ekstrim”
“Islam itu kan toleran, mudah, nggak nyusah-nyusahin, fleksibel”
Kalimat yang begini, bila diucapkan oleh seorang ulama yang mengerti tentang agama tentu sesuatu yang baik, sesuatu yang benar. Tapi seringnya kalimat-kalimat semisal ini keluar dari lisan orang-orang yang malas dan nggak serius mempelajari Islam, untuk membenarkan kesalahan yang dia lakukan, untuk memilah-memilih hukum mana yang dia suka dan mengabaikan hukum yang tidak dia suka atau bertentangan dengan perbuatannya.
Misalnya, seringkali saya menyampaikan tentang haramnya riba dan turunannya seperti KPR, leasing, kartu kredit, serta haramnya beberapa transaksi ekonomi lain seperti asuransi dan perdagangan saham, biasanya yang keluar dari orang yang begini,
“Jangan kayak gitulah, kalo gitu sih terlalu ekstrim”
Tidak terjadi hal semisal itu ketika saya menjelaskan pada masyarakat tentang keutamaan berpuasa sunnah, rajin bersedekah, semangat dalam menghapal Al-Qur’an, memperbanyak shalat malam dan sunnah-sunnah nawafil lainnya.
Mengapa bisa begitu?
Memang kita hidup dalam masyarakat yang menjadikan dirinya sendiri dan nafsunya menjadi standar atas baik dan buruk, atas halal dan haram, bukan Allah yang menentukannya.
Sesuatu yang menurut dia baik lantas dikatakan baik, sesuatu yang dia belum melakukannya atau dia belum mau melakukannya, maka dikatakan ekstrim. Sayangnya dia sendiri malas dan lalai dalam mempelajari agama.
Lucunya, terkadang ulama yang jelas lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari agama Islam, dan jelas lebih mengetahui apa yang kebanyakan manusia tidak mengetahui tentang perkara agama, bisa dihukumi “sesat” atau “tidak sesat” oleh segolongan manusia berdasarkan hawa nafsunya.
Hampir-hampir mirip dengan sifat kaum Yahudi yang ketika didatangkan seorang Rasul bagi mereka, bila Rasul itu menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka, maka mereka mendebat bahkan membunuh Rasul itu. Bedanya dengan sekarang, baru sebatas pembunuhan karakter.
Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh (QS Al-Maaidah [5]: 70)
Ceritanya, ada orang yang masih berkutat dengan riba, bahkan hidup dari sana. Sudah umum juga diketahui bahwa seringkali dia melibatkan suap dalam melancarkan bisnisnya. Dan, suatu waktu ada ulama yang menyampaikan haramnya riba dan suap, maka dia katakan
“Wah, itu ustadz ekstrim, salah tuh, terlalu menghakimi dan terlalu keras”
Nah, jadi sekarang yang “Ustadz” yang mana sih, dia atau yang sudah belajar? Jadi, yang “terlalu menghakimi” dan “terlalu keras” siapa?
Agama Islam ini memang agama yang mengatur seluruh kehidupan manusia, karena datang dari Allah yang Maha Mengatur. Memang ada beberapa hal di dalam Islam yang hukumnya syubhat (abu-abu) atau ada ikhtilaf (perbedaan) ulama dalam memandang hukumnya. Namun lebih banyak lagi di dalam agama ini yang sudah jelas-jelas hukumnya didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah qalbu (HR Bukhari Muslim)
Semua tertulis jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kalau saja kita mau belajar mengerti dan memahami hal tersebut.
“Tapi kan nggak semua orang yang bisa paham itu? Baca Al-Qur’an dan As-Sunnah pun harus ada penjelasannya kan?”
Betul sekali, karena itu mulailah belajar. Minimal sediakan tafsir Al-Qur’an sebagai teman dalam membaca Al-Qur’an, setelah tilawah, lanjut dengan merenungi arti serta tafsirnya, dan diskusikan dengan ahli ilmunya bila masih ada yang kurang memahami.
Beli buku yang berkaitan dengan masalah yang kita ingin kuasai, datangi majlis-majlis ilmu yang membahasnya, atau bahkan undanglah yang memiliki ilmunya untuk membahasnya bersama-sama.
Tapi tidak dengan mengatakan,
“Islam itu kan toleran, mudah, nggak nyusah-nyusahin, fleksibel”
Lalu dia menyerahkan definisi “toleran-mudah-nggak susah-fleksibel” itu sesuai dengan dia, tanpa ilmu, tanpa pengetahuan, sehingga sudah pasti akan menuju jalan kesesatan.
Terus terang, saya lebih kagum dan respek pada beberapa teman yang masih bermaksiat namun sadar bahwa mereka bermaksiat, sadar bahwa mereka salah. Hanya perlu dukungan dan waktu saja, dan tentu izin dan hidayah Allah agar mereka mau berubah ke arah yang baik. Karena kesadaran akan kebenaran itu sudah setengah dari kebaikan.
Ada yang tahu kerudung punuk unta itu dilarang, tapi masih menggunakannya, tapi dia sadar betul dan mau untuk mengubah penampilannya, hanya masih belum yakin, hanya masih perlu waktu.
Ada yang masih pacaran, tapi kemana-mana bilang haramnya pacaran. Bukan karena niat yang salah atau sengaja, tapi mungkin masih belum yakin, setan munafik masih ada di dalam hatinya, mungkin masih perlu waktu dan dukungan.
Ada yang masih makan riba, tapi sadar perbuatannya salah, lalu mengundang para asatidz datang ke kantornya, untuk ceramah haramnya transaksi riba. Niatnya sudah ada namun perlu penguatan. Mungkin dia ingin sama-sama karyawanya keluar dari kantor yang penuh riba.
Semua yang begini, kita hormati dan respek, kita dukung dan kita dampingi. Karena kesadaran dan niat sudah ada, kita tinggal memperbesar kesadaran dan niatan itu.
Yang jelas, beda dengan yang kita bahas di depan. Sudahlah salah, malah menyalahkan hukumnya Allah, malah menyalahkan ulama yang membawakan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan malah menuntut agar syariat Islam disesuaikan dengan nafsunya.
Lalu yang jadi Tuhan siapa? Allah atau manusia?
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS Al-Furqaan [25]: 43)
Hanya kepada Allah tentu kita menyembah, artinya hanya pada Allah seluruh ketaatan atas peraturan. Kalaulah kita belum bisa melaksanakannya, maka berdoalah semoga kita diberi kemampuan untuk melaksanakannya, dan keseriusan dalam melaksanakannya.
Janganlah kita jadi orang yang menentang, bahkan menjadikan diri kita sebagai pembuat aturan setelah Allah menurunkan syariat yang jelas yaitu Islam. Tugas kita memahami aturan Allah bukan membuat aturan, mencari dalil halal-haram bukan membuat dalil halal-haram.
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (QS Al-Jaatsiyah [45]: 18)
Untuk beberapa pembahasan tentang transaksi ekonomi yang saya sebutkan diatas, boleh membaca beberapa artikel dibawah ini, atau silakan cari referensi-referensi lain yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
http://konsultasi.wordpress.com/2008/11/20/riba-definisi-hukum-dan-macamnya/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/leasing-sepeda-motor/
http://konsultasi.wordpress.com/2010/01/29/bolehkah-memanfaatkan-kartu-kredit/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/09/14/jual-beli-saham-dalam-pandangan-islam/
http://konsultasi.wordpress.com/2012/05/22/hukum-asuransi-syariah/
untuk mendapatkan buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.com atau ke pages Facebook alfatihbookstore
akhukum @felixsiauw
Share:

“Siapa Pemimpin” Tidak Lebih Penting Dari “Dengan Apa Dia Memimpin”

“Siapa Pemimpin” Tidak Lebih Penting Dari “Dengan Apa Dia Memimpin”

“Siapa Pemimpin” Tidak Lebih Penting Dari “Dengan Apa Dia Memimpin”
Allah telah menurunkan agama Islam sebagai agama yang benar, sempurna dan paripurna. Mengatur segala hal termasuk di dalamnya adalah urusan kepemimpinan dan sistem kepemimpinan, tentang siapa yang layak menjadi pemimpin dan dengan apa dia harus memimpin.
Bila kita melihat di dalam Kitabullah dan Sunnah, ada beberapa syarat dan panduan bagi seseorang agar layak menjadi seorang pemimpin. Disingkat menjadi 7 syarat yaitu, Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan budak), adil (bukan orang fasik) serta mampu memikul tugas-tugas dan tanggung jawab kepala negara.
Allah misalnya dengan tegas menggariskan bahwa tidak boleh bagi kaum Muslim memiliki pemimpin seorang selain Muslim, karena pasti akan terjadi mudharat di dunia.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin atau peindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS An-Nisaa [4]: 144)
Dan tentu banyak lagi dalil lain di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merinci bagaimana syarat dan keutamaan seorang pemimpin di dalam Islam. Tidak hanya memberikan batasan, Islam pun memberikan contoh nyata pemimpin amanah ini semisal Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khaththab, Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abu Thalib dan tentu saja Rasulullah Muhammad saw.
Namun Islam tidak hanya merinci pemimpin seperti apa yang harus ada diantara kaum Muslim. Lebih daripada itu, Islam lebih banyak merinci seperti apa seorang pemimpin harus memimpin, dengan apa dia memimpin. Dengan kata lain, Islam justru lebih menekankan pentingnya sistem kepemimpinan dibandingkan dengan pemimpin. Sistem kepemimpinan inilah yang harus berdasar Kitabullah dan Sunnah, sedangkan pemimpin di dalam Islam adalah orang yang tinggal menjamin pelaksanaan hukum Allah dan Rasul semata.
Misalnya, tatkala Allah memerintahkan ketaatan terhadap ulil amri (empunya urusan atau pemimpin), maka Allah menggandengkan perintah ketaatan tersebut dengan Kitabullah dan Sunnah sebagai syarat wajib ketaatan pada pemimpin.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS An-Nisaa [4]: 58)
Muhammad bin Ka’ab, Za’id bin Aslam, dan Syahr bin Hausyab berkata “Sesungguhnya ayat ini diturunkan untuk para umara’ (para pemimpin), yaitu mereka yang berwenang memutuskan hukum diantara manusia”. Ibnu Katsir menanambahkan dalam tafsirnya, “Artinya, Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah, menetapkan hukum diantara manusia dengan adil dan hal lainnya, yang mencakup perintah-perintah dan syariat-syariat-Nya yang sempurna, agung dan lengkap”.
Lalu Allah melanjutkan ayat diatas dengan ayat yang lebih khusus lagi, yaitu perintah ketaatan pada pemimpin, dan kewajiban pemimpin dalam menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An-Nisaa [4]: 59)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa “Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah yang diutus oleh Rasulullah saw pada sebuah pasukan”.
Imam Ali menceritkan, bahwa Rasulullah saw mengutus sebuah pasukan dan mengangkat seorang Anshar sebagai pimpinan pasukan itu. Ketika mereka keluar, maka ia marah karena suatu hal kepada mereka seraya berkata, “Bukankah Rasulullah telah memerintahkan kalian untuk taat kepadaku?”. Mereka menjawab, “Betul”. Dia berkata lagi, “Kumpulkanlah kayu bakar untukku”. Kemudian dia meminta api, lalu membakarnya, seraya berkata, “Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya”. Maka nyaris saja mereka masuk ke dalamnya. Maka seorang pemuda diantara mereka berkata, “Sesungguhnya (jika kalian lari, maka) kalian lari menuju Rasulullah saw untuk menghindarkan diri dari api ini. Jangan kalian terburu-buru hingga kalian bertemu Rasulullah saw. Apabila beliau memerintahkan kalian untuk masuk ke dalam api itu maka masuklah”. Maka mereka pun kembali kepada Rasulullah saw mengabarkan hal itu. Maka Rasulullah pun bersabda,
“Seandainya kalian masuk ke dalam api iu, pasti kalian tidak akan keluar lagi darinya selama-lamanya. Ketaatan itu hanyalah (berlaku) pada sesuatu yang ma’ruf”(HR Ahmad)
Dalam lafadz lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
“Sama sekali tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, ketaatan itu dalam kebaikan” (HR Bukhari)
Dalam ayat ini juga secara jelas disampaikan agar setiap pemimpin dan yang dipimpin senantiasa menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pemutus atas semua pertikaian dan perselisihan. Karena wajib bagi manusia untuk menerapkan hukum-hukum Allah.
Elok kiranya kita membaca uraian Ibnu Katsir berkaitan dengan ayat ini.
Jadi apapun yang ditetapkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, serta terdapat dalil tentang kebenarannya (dalam Al-Kitab dan As-Sunnah), maka itulah kebenaran. Selain kebenaran itu, tidak ada lagi kecuali kesesatan. Karena itu Allah berfirman “Jika kamu beriman pada Allah dan Hari Akhir”, maksudnya, hendaklah kalian kembalikan berbagai pertengkaran dan ketidaktahuan kalian kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Berhukumlah kalian kepada keduanya, pada berbagai hal yang kalian sengketakan. “Jika kamu beriman pada Allah dan Hari Akhir”, artinya, orang yang tidak berhukum pada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam setiap pertikaian, serta tidak merujuk pada keduanya, maka ia tidak termasuk orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka tugas kaum Muslim tidak selesai hanya pada memilih pemimpin, namun juga harus memilih pemimpin yang menjamin penerapan Kitabullah dan Sunnah sebagai pertanda iman dan perlindungan terhadap iman.
Mengenai lebih pentingnya sistem kepemimpinan ini, telah diindikasikan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummul Hushain, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda dalam khutbah haji Wada’,
“Sekalipun yang memerintah kalian adalah seorang budak (sementara) ia memimpin kalian dengan Kitabullah. Maka dengar dan taatlah kepadanya” (HR Muslim)
Maka “siapa yang memimpin” tidak lebih penting dibanding “dengan apa dia memimpin”. Karena benar dan salahnya pemimpin tergantung “dengan apa dia memimpin”. Bila dia memimpin dengan menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka dia benar dan mulia. Maka taat kepada pemimpin yang menerapkan Kitabullah ini menjadi suatu kewajiban, walaupun dia secara pribadi bermaksiat dan berbuat dosa.
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?” maka beliau bersabda: “Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka” (HR Muslim)
Imam An Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:
Rasulullah saw memerintahkan untuk menaati ulil amri meski pun pada dirinya terdapat kekurangan tersebut selama ia memimpin dengan Kitabullah. Para ulama berkata, “maksudnya selama ia berpegang teguh kepada Islam dan menyeru kepada Kitabullah Ta’ala walau bagaimana pun keadaan diri mereka, agama mereka dan akhlak mereka” (Imam Nawawi)
Lalu bagaimana dalam keadaan seperti saat ini, ketika kita tidak memiliki pemimpin yang amanah dan menerapkan sistem amanah berupa Kitabullah dan Sunnah? Maka kewajiban kita adalah mengadakannya, mendidik dan memahamkan pada ummat Muslim kewajiban yang agung yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bukan hanya lalu memilih pemimpin yang paling sedikit mudharatnya, lalu mengabaikan kewajiban yang mengharuskan pemimpin untuk berhukum pada hukum-hukum Allah.
Disinilah pentingnya para ulama, dalam mencerahkan ummat Muslim, bahwa tiada kebenaran dan kebaikan kecuali itu datang dari Allah Swt, dan tiada yang bisa menyelamatkan dan membangkitkan ummat Islam kecuali penerapan syariat Islam. Karena kebangkitan itu telah dicontohkan Rasulullah dengan Islam, dan dengan Islam itu pula semua manusia diselamatkan dan menjadi mulia.
Sehingga tidak adil, bila kita mendukung satu calon pemimpin dengan mengusung ke-Islam-an dirinya yang bisa jadi benar bisa jadi tidak, lalu mengelu-elukannya atas calon pemimpin yang lain yang diposisikan tidak Islami, tapi kita tidak mewajibkan dia untuk menerapkan syariat Islam. Lebih daripada itu malah mendukung agenda-agenda yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Islam.
Tidak pantas bagi kita mengusung “pemimpin yang ini Islami, yang disana tidak”, sementara hukum-hukum Allah tidak pernah dibicarakan dan tidak pernah disampaikan, lantas dimana letak “Islami”nya?
Mengenai pendapat “akhaffu adh-dhararain” atau “memilih yang paling rendah mudharatnya diantara dua mudharat” tentu masih bisa diperdebatkan dalam sebuah diskusi. Tapi yang sangat berbahaya adalah apabila ummat merasa puas hanya dengan memilih pemimpin, namun santai-santai saja dalam hal “dengan apa pemimpin itu memimpin”. Yang sangat berbahaya adalah apabila ummat merasa sudah melaksakan kewajibannya hanya dengan memilih, namun merasa ringan saat pemimpin itu meninggalkan dan melalaikan hukum Allah.
Padahal mereka mengaku beriman pada Allah dan Hari Akhir.
Karenanya kami berlepas pada hingar bingar pesta yang bukan pesta kami, namanya pesta demokrasi yang terjadi tentu bukan berdasarkan aturan Allah. Satu pihak sibuk mencela dan mencari kesalahan pihak lain dan sibuk mempromosikan dan memuja calon yang dijagokannya. Mencela hal yang belum ada dan menampakkan aib jadi trend, begitupula memuji yang berlebihan dan memuja hal yang tidak ada.
Padahal manusia bisa berubah, apalagi pada masa kini, sangat mudah berubah. Tahun lalu masih berpasangan tahun depan sudah saling mencela. Kemarin masih gandengan sekarang sudah musuhan. Tanpa Islam dan komitmen terhadap Kitabullah dan Sunnah, tidak ada jaminan keselamatan dan kebangkitan.
Tapi tentu dalil bisa didebat dengan dalil yang lebih baik, namun seburuk-buruk sikap dalam perbedaan adalah saling mencela. Dan semoga kita semua yang berjuang mencari ridha Allah —apapun dalil dan caranya— mampu menahan diri dari mencela sesama. Karena perjuangan seseorang dalam berdakwah bisa jadi berpahala atau tidak berpahala, tapi mencela sesama Muslim sudah pasti salah dan dosa.
Semoga Allah segera karuniakan persatuan dan ukhuwah bagi ummat Muslim di seluruh dunia, dan mengaruniakan mereka pemimpin yang tidak hanya siap mati demi bangsa dan rakuyat, tapi siap mati dalam ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
akhukum fil Islam
@felixsiauw
Share:

3+4=7

3+4=7

3+4=7
Berapa 3+4? Tentu 7! Dan tentu semua orang yang pernah sekolah mampu menjawabnya, ini kemampuan yang sangat mendasar yang dipelajari dalam logika Matematika.
Kebenaran itu adalah suatu hal yang dapat dibuktikan, sesuatu hal yang memiliki dasar. Bila dasarnya cukup kuat dan tidak dapat dibantah, maka dengan sendirinya kebenaran itu tidak dapat dibantah.
Namun, walau kita hidup di abad  segala sesuatu yang serba teknologi ini, terkadang kita masih saja tidak bisa menjangkau suatu logika sederhana, yaitu menerima kebenaran. Seringkali kita malah menolak kebenaran, padahal telah jelas bukti dan dasarnya bagi kita.
Kebenaran tidak bisa ditolak, tapi kebenaran bisa dibuat relatif, salah satunya adalah dengan menyerang orang yang menyampaikan kebenaran padanya. Bahasa ilmiahnya ad hominem.
Misalnya,
Profesor           : “Dari teori ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa 3+4 = 7”
Murid               : “Berarti 3+4 pasti samadengan 7?”
Profesor           : “Begitulah menurut hukum Matematika”
Murid               : “Anda salah Prof, di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali ketidakpastian itu sendiri, Anda saja bercerai, anak Anda saja menderita narkoba, lalu bagaimana Anda bisa memastikan 3+4 = 7?”
Orang bijak selalu mencari kebenaran baginya dalam sebuah nasihat, sementara orang yang pandir selalu menyalahkan orang yang menasihatinya. Padahal kebenaran tidak akan berubah sepandai apapun dia mengelak dan seburuk apapun celaannya pada penasihat. Nasihat yang benar tetap berharga siapapun yang menyampaikannya. Sebagaimana permata tetap berharga walau datang dari seorang penjahat.
Kebenaran juga bisa dikaburkan dengan mengalihkan pembahasan dari pembahasan yang sebenarnya
Profesor           : “Dari teori ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa 3+4 = 7”
Murid               : “Berarti 3+4 pasti samadengan 7?”
Profesor           : “Begitulah menurut hukum Matematika”
Murid               : “Anda salah Prof, 3+4 tidak selalu samadengan 7, bila 3+4 lalu dikurangi 2 jadinya malah 5, malahan 7 juga bisa didapat dari 9 dikurangi 2.
Orang pandir selalu mencari alasan untuk mendebat, karena yang mereka inginkan bukanlah kebenaran tapi mendebat kebenaran. Mereka sulit menjalani kebenaran, lalu megalihkan kebenaran itu menjadi sesuatu yang relatif yang tampaknya masuk akal. Padahal apa yang disampaikan tidak ada hubungan sama sekali dengan pembahasan.
Pernah mendengar ungkapan semisal diatas?
Ustadz             : “Alhamdulillah, dari QS 24:31 dan QS 33:59 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Allah mewajibkan hijab bagi setiap Muslimah dan telah memberikan ketentuan bagaimana hijab yang syar’i dalam kedua ayat ini”
Liberalis           : “Berarti dalam Islam Muslimah berhijab itu wajib?”
Ustadz             : “Begitulah menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits”
Liberalis           : “Anda salah Tadz, itu kan penafsiran Anda? Belum tentu yang lain memiliki penafsiran seperti itu, itu kan hanya budaya orang-orang Arab saja. Kalau begitu anda terlalu men-judge orang lain, apa bedanya Anda dengan Hitler kalau begitu? Lagipula orangtua Anda juga masih Non-Muslim, seharusnya Anda dakwah dulu sama mereka, bukan sama orang-orang Muslim. Bahasa Arab saja baru belajar, sudah sok mendakwahi orang!”
Atau yang begini,
Ustadz             : “Alhamdulillah, dari QS 24:31 dan QS 33:59 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Allah mewajibkan hijab bagi setiap Muslimah, hijab itu adalah ketaatan, dan setiap ketaatan adalah baik”
Liberalis           : “Berarti Muslimah berhijab itu pasti baik?”
Ustadz             : “Begitulah menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits”
Liberalis           : “Anda salah Tadz, belum tentu orang yang berhijab itu lebih baik daripada yang tidak berhijab. Saya kemarin melihat ada orang yang berhijab tapi justru lisannya kasar dan kotor, sebaliknya ada orang yang tidak berhijab tapi sopan dan sedekahnya banyak. Anda terlalu men-judge! Kebaikan bukan ditentukan oleh pakaian, tapi lebih dari hati, nggak perlu berlebihan dalam segala sesuatu, Allah tidak suka yang berlebih-lebihan”
Lihat alasan-alasan semisal ini, lalu renungkanlah firman Allah Swt.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS Al-An’am [6]: 112)
Syaitan itu sifat yang bisa mewujud pada jin ataupun manusia. Bisikan-bisikan syaitan memang indah, terkadang berdalil pula atas nama Allah, namun semua keindahan itu adalah tipuan palsu nan menyesatkan, karena pada ujung dari bisikan-bisikan itu, mereka ingin mengajak manusia untuk mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar.
Tidakkah kita belajar dari Adam dan Hawa tatkala ditipu syaitan? Syaitan berkata ingin menasihati keduanya, seolah-olah menginginkan kebaikan pada keduanya, seolah-olah dia adalah hamba Allah yang memberi bisikan kebaikan, padahal tidak sama sekali.
Padahal Allah telah menurunkan para Nabi dan Rasul-Nya untuk menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun syaitan mengelabui seolah-olah perbuatan buruk itu seperti terlihat baik, sehingga manusia bukan lagi mengikuti petunjuk dari Allah, namun malah menjadikan bisikan syaitan sebagai penentu.
Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka setan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih. (QS An-Nahl [16]: 63)
Bila syaitan sudah tidak mampu lagi menipu manusia dengan penyesatan dan penipuan seperti dua cara yang mereka lakukan diatas, maka mereka akan mencoba cara yang ketiga, yaitu menakut-nakuti dengan sesuatu yang belum pasti. Terutama dengan harta dan anak.
“Lihat saja para ustadz dan para ustadzah, semua dari mereka miskin-miskin. Itu yang terjadi kalau kamu terlalu dalam mempelajari ilmu agama, fanatik dengan hijabmu. Hijab tidak bisa memberimu makan, taat tidak bisa membuatmu kenyang!”
Padahal yang kita cari di kehidupan ini ada ridha Allah Swt, dan ridha Allah bisa didapatkan baik oleh orang yang kaya ataupun yang miskin selama mereka menaati Allah Swt. Rasulullah saw malah memilih hidup menjadi seorang yang miskin walaupun beliau sangat mungkin menjadi kaya-raya. Lebih daripada itu, kehidupan bukan hanya di dunia bagi yang meyakininya, dunia ini hanya persiapan untuk kehidupan yang panjang setelahnya. Jadi letak pembahasannya bukan kaya atau miskin namun taat atau tidak taat.
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah [2]: 268)
“Kalau kamu berhijab, lantas bagaimana dengan pekerjaanmu nanti? Kantormu tidak akan mentolerir simbol-simbol Islam, dan kamu harus ingat bahwa kamu punya anak dan keluarga yang harus diberi makan. Allah pasti mengerti kok, Allah pasti memaklumi!
Padahal dalam keimanan kita sudah jelas bahwa Allah-lah yang memberikan rezeki kepada setiap manusia, hewan, bahkan semua yang ada di dunia ini, bukan manusia. Namun syaitan menakut-nakuti manusia dengan kesusahan-kesusahan di dunia yang belum pasti terjadi, dan membuat maksiat di dunia menjadi aman, dan kesengsaraan akhirat terasa ringan. Syaitan juga merinci janji-janji yang bukan datang dari Allah, mengatakan perkataan yang tidak ada dalilnya, mengadakan kebohongan kepada Allah, seolah-olah Allah mentolerir kemaksiatan hamba-Nya.
Dan hasutlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka. (QS Al-Israa [17]: 64)
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS Ali Imraan [3]:  175)
Padahal pada setiap insan beriman yang meyakini Allah dan janji-Nya untuk menolong kaum Muslim. Maka Allah mewajibkan diri-Nya menolong orang-orang yang beriman.
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. (QS Ar-Ruum [30]: 47)
Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (QS Fathir [35]: 5)
Hal seperti ini ramai kita temukan dalam alasan-alasan seseorang yang enggan menetapi kebenaran. Tapi yakinlah bahwa alasan semisal ini hanya ada di dunia, dan tidak akan terpakai di hadapan Allah Swt.
Bagi saya, kebenaran Islam itu sama seperti 3+4 = 7. Memiliki bukti dan dasar yang sangat kuat yang tidak bisa tergoyahkan. Karenanya apapun yang tertulis di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits pastilah suatu kebenaran yang tak hilang kebenarannya walau banyak yang mendebat.
Khususnya bagi Muslimah yang sedang berusaha menetapi jalan Allah Swt dengan ketaatan-ketaatan mereka, halangan dan alasan pasti silih berganti dan bisikan syaitan pasti membanjiri dada. Namun berfikirlah jernih, alasan tidak bisa menghilangkan kebenaran yang ada.
Berhijab dan berdakwah itu wajib, Allah yang menjaminnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jangan sampai karena manusia kita meninggalkannya, apalagi kita sekarang memahami bahwa syaitan tidak ada kuasa sama sekali, melainkan Allah yang Maha Kuasa.
Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (QS An-Nahl [16]: 98-100)
audzubillahi minasysyaithani rajiim
3+4=7.
akhukum, @felixsiauw
Share:

Insya Allah atau In Shaa Allah?

Insya Allah atau In Shaa Allah?

Insya Allah atau In Shaa Allah?
lebih dari ratusan kali saya ditanya tentang perkara ini, berkaitan dengan penulisan transliterasi bahasa Arab, mudah-mudahan status ini jadi penjelas sebagaimana seharusnya.
pertama-tama, bahasa Arab dan bahasa Indonesia tentu berbeda, bila bahasa Indonesia disusun berdasarkan huruf alfabet A-B-C dan seterusnya, sama seperti bahasa Inggris, tidak dengan bahasa Arab. Bahasa Arab tersusun dari huruf hijaiyah semisal ا (alif), ب (ba), ت (ta) dan seterusnya.
perbedaan inilah yang akhirnya mengharuskan adanya transliterasi (penulisan bahasa asing kedalam bahasa Indonesia), misalnya, kata الله dalam bahasa Arab, bila di-transliterasikan ke dalam bahasa Indonesia bisa jadi “Allah”, “Alloh”, “Awloh” atau apapun yang senada dengan bacaan asli Arabnya, tergantung kesepakatan transliterasi
bila orang Indonesia sudah nyaman membaca tulisan الله dengan transliterasi “Allah” ya tidak perlu diganti dengan “Alloh” atau “Awloh”, toh bacanya juga sama walau tulisannya beda :)
by the way, bahkan kalo orang nulis Allah dengan huruf kecil juga nggak dosa, karena dalam bahasa Arab aslinya الله pun nggak ada huruf besar dan huruf kecil :D
hanya kembali lagi, karena transliterasi dan penghormatan kepada Dzat Yang Maha Agung, ya sejatinya sudah kita tulis dengan “Allah”
ok, sekarang, Insya Allah atau In Shaa Allah?
yang bener إن شاء الله hehe..
jadi kita bedah begini ceritanya
إن = bila
شاء = menghendaki
الله = Allah
jadi artinya إن شاء الله = bila Allah berkehendak
nah, balik lagi ke transliterasi, terserah kesepakatan kita mau mentransliterasikan huruf ش jadi apa? “syaa” atau “shaa”?,
kalo di negeri berbahasa Inggris sana, kata ش diartikan jadi “shaa”, kalo di Indonesia jadi “syaa”
masalahnya di Indonesia, huruf ص sudah ditransliterasikan jadi “shaa”, kalo disamain jadi tabrakan deh..
saya pribadi lebih suka mentransliterasikan إن شاء الله jadi “InsyaAllah”, lebih simpel dan sesuai transliterasi bahasa Indonesia :)
nah, bagaimana katanya kalo ada yang bilang “InsyaAllah” berarti artinya “menciptakan Allah?”, naudzubillahi min dzalik…
karena yang satu ini beda lagi masalahnya :)
karena إنشاء (menciptakan/membuat) beda dengan إن شاء (bila menghendaki)
dan pemakaiannya dalam kalimat berdasarkan kaidah bahasa Arab pun berbeda bunyinya,
bila إن شاء الله dibacanya “InsyaAllahu” (bila Allah menghendaki)
bila إنشاء الله dibacanya “Insyaullahi” (menciptakan Allah)
Kesimpulannya? :)
jadi kalo kita nulis pake “InsyaAllah”, atau “In Syaa Allah”, atau “In Shaa Allah” bacanya sama aja dan artinya sama aja, yaitu “bila Allah menghendaki”, jadi nggak ada arti lainnya :)
yang paling bagus, ya udah, nulis dan ngomong pake bahasa Arab aja sekalian, lebih aman hehe..
(tapi yang nulis pun bakal kesulitan hehehe..)
Share:

Catatan Safar Ke Bumi Syam bersama SahabatAlAqsha.com

Catatan Safar Ke Bumi Syam bersama SahabatAlAqsha.com

Catatan Safar Ke Bumi Syam bersama SahabatAlAqsha.com
Mohon maaf sepekan ini tak banyak menjumpai teman-teman di twitter dan Facebook dikarenakan ada undangan dari www.SahabatAlAqsha.com untuk rihlah bepergian bersama ulama-ulama. Tim Sahabat AlAqsha mengajak kami mengikat hati dengan yatim-yatim pengungsi Suriah, hasil kekejian luar biasa rezim pembunuh Bashar Asad dan pasukannya yang memerangi pengikut Allah dan Rasul-Nya. Selain itu dalam safar kali ini kami juga beruntung bisa bertamu dan menggali ilmu dengan “Rabithah Ulama Syam”, ikatan ulama-ulama di tanah Syam guna menyerap informasi dan nasihat dari ulama-ulama Syam.
Bersama kami dalam safar ini ada ust @AbdullahHadrami dan ust Dr. Mustafa Umar, keduanya adalah guru, panduan, panutan, juga penolong bahasa arab kami yang terbatas. Lalu apa yang kami dapat dalam sepekan perjalanan ini? Tidak lain tidak bukan semangat dalam perjuangan, terutama rasa malu hati, atas ilmu, perjuangan dan pengorbanan yang jauh dibanding mereka.
Dalam safar ini kami jumpai para yatim syuhada, yang tetap tegar dan bangga atas perjuangan dan pengorbanan ayah-ayah mereka dalam jihad fii sabilillah, padahal ayah mereka tak lebih tukang supir dan tukang batu. Kami dengarkan cerita mereka, yang walau ayah mereka hanyalah tukang supir dan tukang batu, namun penuh keyakinannya pada syariah Allah itu harga mati.
Kami juga mendengar banyak pemuda-pemuda Syam yang muda dan tampan, banyak yang masih berumur belasan, dan banyak juga yang diawal dua puluhan, namun enggan menikah sebelum menang dalam jihad di jalan-Nya. Saat kami menanyakan apakah mereka sudah menikah, maka jawabannya membuat kami mematung. Mereka mengatakan “kami ingin menikah, namun urusan ummat ini lebih besar dan lebih penting, kami ingin dinikahkan di surga saja dengan para bidadari, insyaAllah”
Anak-anak di Syam dilatih dengan hafalan Al-Qur’an karena mereka tahu itulah nyawa sebenarnya sebaik perlindungan dan senjata yang hakiki. Saat orangtua mereka dibunuh dengan gas racun oleh Bashar Asad, yang lain oleh hujan bom dari pesawat dan muntahan peluru, anak-anak ini tetap berpegang dan yakin pada Allah. Mereka adalah anak-anak yang dididik langsung oleh Allah, generasi yang tak ada lagi takutnya selain pada Allah. Sedang pengorbanan kita disini? masyaAllah, jauhnya..
Kami mendengar dari mereka banyak cerita-cerita para mujahid yang lebih takut Allah ketimbang takutnya pada mati. Mereka berlomba untuk memenuhi janji mereka pada Allah untuk syahid atau menunggu gilirannya untuk syahid. Mereka menagih janji Allah dalam jihad fii sabilillah, untuk mendapatkan hidup dalam kemenangan atau mati dalam kemuliaan.
Jumlah pengungsi akibat kekejaman Syiah Alawi yang dikepalai Bashar Asad ini mencapai 2.000.000 di luar negeri, 5.000.000 di dalam negeri. Revolusi yang terus bergulir ini sudah memakan lebih dari 200.000 jiwa. Bagi penduduk Suriah ini bukan revolusi oposisi dan perang biasa. Ini adalah langkah bagi mereka untuk melawan kedzaliman yang sudah mengakar selama 40 tahun, dan memperjuangkan hukum Allah untuk diterapkan.
Mungkin ada yang berkomentar, “Untuk apa mengurus urusan luar negeri? sementara yang di dalam negeri masih banyak yang perlu?
Mohon maaf, bagi kami tidak terpisah antara satu ummat dan ummat lain, semuanya “ibarat satu tubuh” begitu pesan Nabi saw. Bagi kami negara tidak memisahkan akidah, jauh dekat bukan masalah, urusan kaum Muslim di satu tempat itu urusan ummat Musim semuanya. Islam tak mengakui batas-batas yang diberikan penjajah untuk memisahkan ummat Muslim, termasuk ikatan-ikatan selain ukhuwah Islam. Maka urusan Suriah adalah urusan kita, urusan Palestina juga urusan kita. luar dan dalam negeri sama saja nilainya.
Apalagi urusan bumi Syam yang sangat penting bagi ummat, tanah yang diberkahi Allah dan disebut-sebut oleh Nabi, tanahnya para Nabi. Para mujahid berbaris mengaliri berkahnya Syam dengan darah mereka, sementara ada segolongan pengecut mencibir, masyaAllah.
Dari yatim-yatim Suriah kami belajar bahwa urusan ummat, penyatuan ummat dalam syariah ini benar-benar masalah yang penting. Bahwa urusan perjuangan ummat ini lebih layak mendapat perhatian, lebih dari yang mencari perhatian dengan banyaknya janji tanpa bukti
Mereka yang ada di garis terdepan di Syam, Suriah dan Palestina itulah yang menginspirasi kita untuk terus berjuang dan berkorban, bahwa hitam tinta ulama dan merah darah syuhada itulah yang menjadi campuran bagi kejayaan ummat Muslim
Di safar ini pula kami banyak belajar dari kedua guru kami, ustadz Mustafa Umar dan ustadz Abdullah Hadrami, semoga Allah sayangi keduanya. Walau banyak kekurang ajaran kami pada beliau berdua, tentu tidak menghalagi kami mencuri ilmu dari kedua syaikh ini.
Apa yang terjadi di bumi Syam, di Palestina, di Suriah, adalah kemuliaan Allah bagi penduduknya dan ujian keimanan bagi kita disini, agar kita belajar mementingkan tanah yang dipentingkan Allah dan Rasul-Nya, agar kita berani membela bagian yang satu dari diri kita
Lalu apa yang harus kita lakukan? saat terpisah jarak dan tempat? Maka apapun, apapun yang mampu kita lakukan maka lakukanlah. Simak hadits berikut
“Siapa yang menyiapkan kebutuhan seorang yang berperang fii sabilillah maka sungguh ia telah ikut berperang, dan siapa mengurus keluarga orang yang berperang fii sabilillah dengan baik, sungguh ia telah ikut berperang” (HR Bukhari Muslim)
Ada banyak anak-anak yatim syuhada yang perlu bantuan kita disini, mungkin lebih daripada yang kita pikir kepentingannya. “Keperluan bantuan kemanusiaan di Suriah seperti tidak terbatas” begitu ucap pengurus pengungsi Suriah pada kami, masyaAllah.
Sebagian anak-anak yatim syuhada ini lalu didata oleh tim www.SahabatAlAqsha.com yang menjadi fasilitator penyalur dana kita, dan saya sudah melihat secara langsung kerja tim www.SahabatAlAqsha.com yang amanah, tak memotong sedikitpun untuk operasional mereka, insyaAllah
Urusan Syam ini lebih dari urusan kemanusiaan, ini urusan iffah dan izzah kaum Muslim, jangan sampai sesal datang belakangan, sebagaimana firman Allah dalam QS 63:10, karena kita menunda sedekah sampai datang kematian
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS 63:10)
Bukan ahlu-Syam yang perlu kita, kitalah yang perlu doa mereka, semoga dengan membantu mereka kita terbebas dari sikap munafik. Informasi lengkap untuk bantuan ke anak yatim syuhada Suriah, boleh follow @sahabatalaqsha di twitter atau klik www.SahabatAlAqsha.com
Share:

Total Pageviews