PERJALANAN dari Riyadh ke Makkah cukup memakan waktu dan tenaga, kurang lebih 1000 kilometer atau 10 jam lamanya jika ditempuh dengan mobil. Selama perjalanan saya dan keluarga beristirahat dua kali, pertama di wadi Hilban dan yang kedua ditengah-tengah antara kota Thaif dan Makkah yaitu (Qarnul Manazil) Sair Kabir, atau yang lebih tenar lagi disebut Miqot orang-orang yang ingin berbuat umrah atau haji dari Riyadh atau dari negara lainnya yang melewati tempat itu sesuai dengan hadist Nabi kita: “Tempat itu merupakan miqat bagi ahlinya dan bagi yang melewati tempat itu”
Foto pemandangan antara Riyadh dan Makkah
Selama perjalanan, tentu yang saya dapatkan hanyalah lembah-lembah, wadi-wadi, yang dikitari oleh gunung-gunung batu, pasir dan kerikil yang sangat silau dipandang mata. Dan yang lebih aneh dari itu, lalat, nyamuk dan semut sulit ditemukan, mungkin karena suhu negeri penuh batu itu 2° hingga 59°. Tapi, Masya Allah, justru memberi kemakmuran tiada tara kepada penduduk yang hidup di dalamnya.
Untuk kita yang belum pernah ke negeri ini, jangan sekali kali membayangkan, bahwa gunung gunung itu ditumbuhi pepohonan yang menyejukan mata. Tapi, semua yang bernama gunung di negri ini hanyalah gundukan batu yang menyilaukan mata apalagi kalau dilihat di siang bolong atau di terik matahari.
Dulu saya pernah dengar cerita dari ulama Makkah, ada sebuah gunung berapi yang boleh jadi bisa menumbuhkan rumput dan pepohonan. Gunung itu bernama gunung Al-Harrah Al-Syarqiyyah, letaknya tidak berjauhan dengan kota Madinah yang meletus pada tahun 654 H (1258 M) dan asapnya bisa terlihat sampai kota Makkah.
Sekarang semua yang bernama gunung adalah batu, melulu batu. Apalagi kalau kita lewati kota Thaif melalui jalan Al-Hada atau Sair Kabir, semuanya dikelilingi gunung-gunung batu yang menjulang tinggi. Di samping gunung-gunung batu, pula kita dapatkan angin sahara yang garing dan kering yang menampar muka seperti tamparan serikaan panas di musim kemarau dan tamparan salju di waktu musim dingin.
Tapi, Allah yang Maha Adil dan Bijaksana, justru di balik batu dan tanah yang gersang itu, telah mengeluarkan air yang berlimpah-limpah. Tidak sedikit kita dapatkan mata-mata air dan bir-bir (sumur-sumur) air yang memuncrat tak henti hentinya, seperti Bir Ali, pedasan yang letaknya tidak berjauhan dengan kota Madinah, bir Wadi Fatimah di Makkah, bir tepian lembah Alaqiq dan tentu yang paling top adalah bir Zam Zam di Makkah, yang memiliki kantung-kantung air yang berlimpah-limpah yang tidak akan pernah surut sampai hari kiamat.
Ini semua, kalau kita teliti dengan seksama, berkat doa nabi Ibrahaim, datok Rasulallah saw yang pernah berdiri di kaki gunung disaat akan meninggalkan anaknya Ismail dan istrinya Hajar di lembah yang tandus tidak berumput dan berpohon sambil berdoa “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan solat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur“ Ibrahim 37
Miqat Tani’m Makkah Miqat Sair Kabir Taif Perbatasan Taif
Di miqat Sair Kabir, saya dan keluarga, berhenti beberapa saat untuk berihram. Waktu sudah mulai senja. Tak lama kemudian terdengar suara adhan Magrib dari menara Masjid Miqat. Disitu kami melalukan solat Maghrib dan Isya jam’a dan Qasr. Setelah itu kami mulai bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan berangkat ke Makkah Al-Mukarramah yang jaraknya dari Sair Kabir kurang lebih 75 Km atau satu jam lamanya jika ditempuh dengan mobil. Tepatnya, adhan Isya kami sudah bisa melihat tanda-tanda memasuki kota Makkah yang diawali dengan pemandangan 9 menara Masjid teragung di dunia. Baru kali itulah kami merasai keindahan ruhaniah pada sebuah kota kelahiran Nabi saw. “Labaika Allahuma Labaik”. Dia yang telah berkehendak membawa kami ke kota suci yang penuh berkah, Makkah Al-Mukarramah.
Pemandangan Haram Makkah di waktu malam
Beberapa saat kemudian Masjid yang bermandikan cahaya lampu dan dihiasi dengan 9 menara terasa semakin dekat dari pandangan kami. Bulan sabit (permulaan bulan Jumadil Akhir) nampak jelas di atas masjid. Sambil berulang-ulang menyebut nama Allah “Labaika Allahuma Labaik”, kami tak lepas memandangnya yang membuat kami hanyut ke dalam lautan keindahan dan keberkahan.
Pintu gerbang utama masjid al-Haram yang lebih popular disebut Bab As-Salam, pintu utama yang selalu dilewati Rasulallah saw, tampak anggun dan indah. Pintu itu memiliki keistimewaan dan keutamaan dari pintu pintu yang lain. Pintu itu diberi tanda yang berbeda dari pintu-pintu yang lain. Dari situlah saya dan keluarga memasuki masjid Al-Haram untuk memulai ibadah thawaf.
Pemandangan di saat Toaf
Thawaf adalah mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali dimulai dari memberi salam kepada Hajar Aswad dan diakhiri dengan salam pula kepadanya. Untuk mencium batu hitam Hajar Aswad yang terletak di salah satu pojok dinding Ka’bah, tidak semudah yang kita duga, apa lagi di bulan Haji dan di hari-hari terakhir bulan puasa. Karena ribuan jamaah berdesak-desak yang sama-sama ingin memangfaatkan waktu untuk menciumnya.
Adapun kubus hitam (Ka’bah) tersusun dari batu-batu hitam yang diambil dari bukit bukit di dekat Makkah kemudian dilekatkan dengan semen putih. Kalau kiswah (kelambu) Ka’bah tidak diangkat, batu itu hanya terlihat di lubang kecil sudut Yamani. Ka’bah yang membentuk bangunan segi empat ini, panjangnya sekitar 12 meter, lebarnya kurang lebih 10 meter dan tingginya 16 meter. Sedangkan Ka’bah yang kita lihat sekarang ini merupakan hasil renovasi Sultan Murad Al Utsmani pada tahun 1630. Sebelumnya terjadi pula pemugaran oleh Nabi Ibrahim 4000 tahun lalu, pula pernah dipugar oleh Abdullah bin Zubair ra.
Setelah Thawaf, kami solat dua raka’at di muka Maqam Ibrahim dan berdoa dengan penuh kekhusyuan di muka Multazam (pintu Ka’bah). Ditempat itulah semua Muslim nampak dengan khusyu’ bersyukur kepada Allah, memohon ampun kepada Nya, serta berdoa untuk segala bentuk kebaikan di hari hari mereka yang mendatang.
Tempat minum air Zam Zam
Lagi-lagi kebaikan yang muncul dalam hati ketika saya dan keluarga duduk bersila untuk memanjatkan doa dengan pandangan lurus ke arah Ka’bah. Sambil minum air Zam Zam yang berselerakan di mana-mana baik di dalam atau di luar Masjid, semua pikiran terkonsentrasi ke arah doa dan ibadah, lupa dengan hirup pikuk kota Jakarta.
Selesai thawaf, saya dan keluarga melaksanakan sa’i, yaitu berlari kecil dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah sebanyak tujuh kali. Lokasi sa’i saat ini sudah berupa lorong yang panjangnya sekitar 375 meter. Sa’i dalam bahasa Arab artinya usaha atau jerih payah, dan yang dimaksud disini adalah usaha Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim, untuk mencari air demi menyelamatkan anaknya Ismail yang baru saja lahir di pinggiran Ka’bah. Ia berusaha sekuat tenaga naik ke bukit Shofa. Di atas bukit ia melihat kekiri dan kekanan. Harapanya penuh melihat kafilah datang yang bisa membantunya. Kemudia ia berlari lagi ke bukit Marwah. Di sana ia melakukan sama seperti dilakukannya di bukit Shafa. Demikian seterusnya tujuh kali ia berlari bulak balik dari Shofa ke Marwah. Kisah ini merupakan kudwah atau teladan bagi kita untuk melakukan apa yang telah dilakukan Siti Hajar sesuai dengan perintah Allah “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya“ – al-Bakarah, 158.
Pemandangan Sa’i antara Shofa dan Marwah dan mencukur
Selesai sa’i di bukit Marwah, kamii mengarah ke Ka’bah untuk berdoa tanda berakhirnya ibadah Umrah. Setelah itu kami bertahalul yaitu menggunting rambut atau mencukurnya. Maka selesailah ibadah Umrah, Ucapan syukur tak henti hentinya kami lakukan yang mana Allah telah berkehendak membawa saya dan keluarga ke kota yang penuh berkah, Makkah Al-Mukaramah.
Bersama-sama dengan lautan manusia kami keluar dari Masjid Agung itu seusai melakukan ibadah umrah dan tentulah pulang ke tempat pemondokan yang letaknya tidak berjauhan dari Haram atau sekitar empat kilometer dari Masjid. Selama tiga hari saya dan keluarga tinggal di kota Makkah, dua kali ibadah umrah saya lakukan dan berkali-kali thawaf dan i’tikaf di Masjid hingga larut malam yang membuat saya tenggelam kedalam lautan keindahan dan keberkahan kota Makkah. Alhamdulillah.
Pemandangan Jabal Nur (Gua Hira’) tempat Nabi menerima Wahyu
Pada malam terakhri sebelum pulang, saya dan keluarga sempat duduk i’tikaf berjam jam sambil mengarahkan pandangan kami ke arah Ka’bah dan setelah itu kami melakukan thawaf wada’ dan mengucapkan selamat tinggal kepada kota kelahiran Nabi yang tercinta. Disana saya sempat memandang Ka’bah berulang ulang kali. Masjid dan 9 menara berdiri tegak dihiasi dengan sinar lampu yang cemerlang. Sementara ribuan bintang berkedip-kedip bagaikan berlian dan nampak jelas bulan sabit di atas Ka’bah mulai membesar yang ikut serta membuat suasana menjadi indah.
Wallahu’alam
0 komentar:
Post a Comment