MOTIVASI HIDUP ISLAM

Visit Namina Blog

Sunday 2 August 2015

MENINGGIKAN RASA SYUKUR


Manusia, di alam fana ini perlu meninggikan rasa syukur ke hadirat Allah Suhanahu wa ta’ala (Swt), karena rahmat-Nya tiada mampu kita hitung. Sayangnya, di antara manusia banyak yang kufur nikmat atas rahmat-Nya. Terhadap mereka yang kufur nikmat lagi enggan bersyukur, Allah memberikan ancaman dengan siksa yang amat pedih.
MUQADDIMAH
Terdapat di dalam sebuah ayat Alqur-an yang mengingatkan manusia agar selalu mensyukuri nikmat dan rahmat yang telah Allah berikan dalam hidup dan kehidupan ini. Sebagai pencipta, Allah juga telah membekali semua makhluq ciptaan-Nya, termasuk manusia, dengan rahmat-Nya. Dengan bekal dari-Nya, makhluq melata di bumi ini pun dapat melanjutkan hidup dalam dinamika kehidupan alam fana dan seterusnya.

Tanpa pembekalan berupa rahmat dari-Nya, sangat mungkin, kehidupan di alam fana ini tidak seperti yang dapat kita saksikan dan rasakan sekarang. Bahkan sangat dimungkinkan, tiada lagi kehidupan makhluq melata di muka bumi bila tanpa bekal berupa rahmat dari Allah Yang Mahapencipta.
Oleh karenanya, meninggikan rasa syukur ke hadirat-Nya menjadi terasa amat penting. Sedangkan kufur atau ingkar terhadap rahmat-Nya hanya akan membawa kerugian belaka, karena Allah menjanjikan adzab yang pedih bagi orang-orang laknat yang enggan bersyukur.
PERINGATAN AGAR BERSYUKUR
Sebuah ayat yang mengingatkan agar manusia selalu bersyukur atas nikmat kerahmatan dari Alkhaliq, antara lain sebagai berikut;

“…Apabila kamu bersyukur maka akan Aku (Allah) tambah nikmat-Ku, jika kamu kufur (ingkar atas nikmat Allah) maka ketahuilah adzab-Ku sangat pedih….” (QS. Ibrahim; 7 ).
Peringatan melalui ayat di atas, merupakan rujukan ideal karena Allah jua yang menurunkan ayat tersebut ke dalam Alqur-an untuk peringatan. Oleh karena itu, untuk terfokusnya pembahasan, kata bersyukur perlu menjadi key word (kata kunci). Ada argumentasi yang kuat pada kata bersyukur guna ditemukannya pengaplikasian searah dengan kehendak Alkhaliq.
Sementara permasalahan kufur nikmat dari curahan rahmat -Nya, merupakan persoalan tersendiri. Allah Yang Mahapencipta tidak suka bila rahmat-Nya diingkari. Oleh karenanya, Allah melaknat mereka yang kufur nikmat dengan ancaman siksa yang pedih.
JAUHI KUFUR NIKMAT
Allah Mahapencipta, sekaligus Mahapenguasa di seluruh alam raya. Seluruh alam beserta isinya, tiada yang luput dari rahmat-Nya. Sedangkan manusia, hanyalah sebagian kecil dari makhluq ciptaan-Nya. Manusia tak akan pernah ada tanpa proses penciptaan dari-Nya, dan tidak ada dinamisasinya tanpa rahmat-Nya.

Kehidupan manusia di permukaan bumi, pun tidak luput dari peran-Nya. Udara, air, api, hamparan tetumbuhan, hewan, serta beragam kebutuhan kehidupan bagi manusia telah disediakan-Nya. Agar manusia tiada tersesat menjalani kehidupan di alam fana, Allah berikan juga tuntunan; Mulai dari diturunkan para nabi dan rasul-Nya (terakhir, Muhammad Saw) hingga kepada tuntunan berupa kitab suci (terakhir, Alqur-an).
Semua yang Allah sediakan dan berikan tersebut, tidaklah terpisahkan dari rahmat-Nya. Oleh karena itu, suatu hal amat wajar, manakala Alkhaliq mengingatkan agar manusia bersyukur ke hadirat-Nya dan memberikan ancaman berupa siksa yang pedih bagi mereka yang ingkar atas nikmat rahmat-Nya.
Mengaji hal terkait betapa besar serta banyaknya rahmat yang telah Allah sediakan dan berikan kepada kita semua, tiada jalan lain yang mesti dihadapi manusia pada akhir zaman kelak, yakni berhadapan dengan Alkhaliq, Allah Yang Mahakuasa. Bagi orang-orang yang senantiasa meninggikan rasa syukurnya ke hadirat Allah, punya harapan akan mendapatkan tambahan nikmat. Akan tetapi, bagi mereka yang ingkar lagi kufur nikmat (tidak bersyukur) kepada-Nya, niscaya Allah tepati janji berupa siksa yang amat pedih.
Pada kehidupan alam fana, memang memungkinkan orang yang kufur nikmat lolos dari jeratan siksa hingga ia wafat. Akan tetapi, dalam kehidupan sesudah mati, tidak seorang pun yang akan lolos dari janji Allah, karena Allah menjadi satu-satunya penguasa bahkan selaku penentu.
Oleh karena itu, alangkah bijaknya manusia yang berupaya menjauhi kufur nikmat. Satu-satunya cara untuk menjauhi kufur nikmat adalah dengan mengupayakan semaksimal mungkin agar menjadi orang yang senantiasa berusaha meninggikan rasa syukur ke hadirat Alkhaliq.
MEMETIK HIKMAH BERSYUKUR
Rasa syukur hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan merasakan betapa besar dan banyaknya rahmat yang Allah curahkan dalam kehidupan ini. Itu pun tak dapat lepas bahwa pribadi tersebut telah mendasari jiwa dan raganya dengan iman kepada Allah, sesuai persyaratan keimanan yang digariskan-Nya.

Selanjutnya, pribadi tersebut juga selalu membuktikan rasa syukurnya melalui aktivitas yang bernilai ibadah kepada-Nya. Tanpa adanya aktivitas yang bernilai ibadah, rasa syukur seseorang sulit diukur, karena aktivitas yang bernilai ibadah merupakan argumentasi baku; Ketetapannya oleh Allah melalui keteladanan yang diperankan rasul-Nya.
Melalui ibadah, rasa syukur seseorang akan terukur. Itu artinya, tata cara pengejawantahan rasa syukur memiliki cerminan logis, masuk akal, serta tidak mengada-ada. Dan, dalam upaya pembuktian rasa syukur bukanlah dengan cara akal-akalan; Misalnya, mengaku bersyukur ke hadirat Allah namun tidak menggunakan tata cara yang telah ditentukan dalam tuntunan-Nya. Rasa syukur seperti ini, boleh jadi batal adanya.
Sedangkan tuntunan Allah untuk hamba-Nya, termasuk tatkala mensyukuri nikmat-Nya, mestilah bermuatan ibadah. Berarti pula, ada tata cara bersyukur atas segala nikmat dan rahmat-Nya dengan berpedoman kepada tuntunan-Nya. Dan, tatkala seseorang merasa bersyukur ke hadirat-Nya segera dapat diukur, karena aktivitas atau pengejawantahan bersyukurnya tidak terpisahkan dari nilai-nilai ibadah.
Dengan demikian, ukuran bersyukur atas segala nikmat dan rahmat Allah berada pada jalur ibadah. Apabila demikian halnya, upaya seseorang untuk meninggikan rasa syukur ke hadirat-Nya memiliki ukuran pada skala kebenaran menurut Alqur-an, sebagai kitab yang menjadi tuntunan bagi mukmin mina al duniya ila al akhirat.
Ciri khas seseorang sebagai makhluq, mestilah serba terukur. Mulai dari keberadaan fisik, jiwa, pikiran, hingga perilaku serta beragam kemampuannya berbuat, memiliki ukuran-ukuran. Ukuran fisik berada pada bobot, tinggi, batas usia, jiwa pada kekuasaan-Nya, pikiran pada kecerdasan serta ilmu dan pengetahuan yang terbatas juga, perilaku terukur pada benar atau salah di hadapan Allah, dan kemampuan-kemampuan lain punya ketergantungan (terukur) pada faktor sehat, gerak, penalaran, hingga pengamalan yang berkandungan ibadah.
Kemampuan pada diri seseorang, boleh jadi, dapat menjangkau berbagai aspek dalam upaya penyelesaian masalah terkait hidup dan kehidupan alam fana. Akan tetapi, hal yang sangat perlu diyakini, kemampuan bersyukur ke hadirat-Nya memiliki hikmah yang amat besar, karena Allah yang akan memberikan ukurannya.
Bagi orang yang pandai bersyukur, Allah janjikan tambahan nikmat kehidupan dalam ukuran-Nya. Maka, selaku makhluq-Nya, kita dianjurkan untuk selalu meninggikan rasa syukur kepada-Nya. Semoga kita mau dan berkemampuan meninggikan rasa syukur sesuai tuntunan dari-Nya….
Share:

0 komentar:

Total Pageviews

Archive